25 Februari 2013

BEBAN, RESIKO DAN TANGGUNG JAWAB


“Sejujurnya, bukanlah begini hidup yang kukehendaki. Bukanlah begini hidup yang kusenangi. Dan harus aku akui bahwa aku tidak berbahagia karenanya. Tetapi, aku tetap harus menjalaninya. Bukan karena aku hanya pasrah dan menerima nasib saja. Tidak, bukan karena itu. Aku menjalaninya karena aku harus bertanggung-jawab atas pilihan yang telah kuambil. Aku pikir, dan pikiran memang kelebihan utama kita sebagai manusia, setiap keputusan yang telah kita buat dan laksanakan, haruslah kita jalani hingga tuntas. Dengan menanggung segala resiko atas akibat keputusan itu...”

Demikianlah, lelaki paruh baya itu bertutur dengan pelan. Ada raut kesedihan di wajahnya, tetapi juga nampak jelas keteguhan jiwanya. Aku tahu, dia tidak bahagia dalam menjalani hidupnya. Menurut cerita orang yang dekat dengannya, dulu dia adalah seorang yang amat cerdas dan juga sangat pandai melukis. Kabarnya, dia ingin menjadi seniman. Tetapi karena kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk menjalani keinginannya, dia hidup dalam keluarga tanpa ayah, sebagai kakak tertua dengan ibu yang kini sakit-sakitan, dia tahu bahwa ada tanggung-jawab besar yang dibebankan kepadanya.

Setamat SMA, yang dengan susah payah dibiayai oleh ibunya sebagai pegawai binatu, dia sadar kemana arah hidup yang harus dijalaninya. Maka dia bekerja di sebuah bengkel milik seorang teman sekolahnya, belajar memperbaiki motor hingga dia mampu untuk membuka bengkel kecil di sebuah lahan kosong dekat rumahnya. Dari hasil kerjanya, dia membeli kompressor udara dan melengkapi bengkel kecilnya dengan peralatan sederhana untuk memulai hidupnya serta menanggung biaya sekolah adik-adiknya serta ibunya yang, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk bekerja lagi. Suatu hari saat ban motorku kempes, yang kebetulan dekat dengan bengkelnya, disanalah aku mengenal dia.

Di waktu senggang, sesekali aku mampir ke tempatnya, sambil bercerita tentang apa saja. Atau kadang sambil bermain catur bersama. Bengkel kecil ini kelihatan sangat rapi dan tidak berantakan sebagaimana banyak bengkel lain. Nampaknya, jiwa seninya tetap menjadi sumber inspirasi dalam bentuk lain, dalam penataan dan keresikan tempat itu. Dia bekerja seorang diri sehingga kadang, jika banyak orang yang datang untuk memperbaiki motor mereka, dia bekerja seharian tanpa jeda untuk istirahat atau bahkan untuk makan sekali pun. Demikianlah hidup dijalaninya sehari-hari. Tanpa sesal. Walau apa yang diidamkannya tidak terwujud. Tidak akan terwujud.

Pernah dulu, ada yang mengatakan bahwa hidup ini mesti dijalani apa adanya. Sebagaimana mestinya. Nasehat yang baik. Tetapi dalam kenyataan tidaklah semudah itu. Mereka yang memiliki bakat dan kemampuan, apalagi perasaan seni, pasti mengetahui bagaimana rasanya jika luapan hati yang menggumpal dalam jiwa tidak tersalurkan keluar. Seperti talenta yang ditanam, menjadi sia-sia dan tak berguna. Bukan karena dia tak mau menggunakannya. Bukan. Tetapi lebih karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan hasrat yang ada dalam jiwa dimanfaatkan dan dipergunakan sebagai mestinya. Ada yang mengganjal. Ada yang terasa hilang. Ada yang terasa menyedihkan disana. Keresahan. Kesedihan. Kepahitan. Tetapi toh, akan selalu ada kesadaran tentang hidup. Dan bersama kesadaran itu, pada akhirnya kita semua memaklumi dan menerima kenyataan ini dengan sadar. Dan pasrah.

Memang kenyataan seringkali pahit. Namun bila kita mau menerimanya dengan penuh tanggung-jawab, jika kita mau menghadapinya dengan memaklumi kemampuan dan kelemahan diri kita, semuanya tetap berjalan dengan baik. Dan kita, sebagai manusia, selalu memiliki kesempatan untuk memakai kemampuan itu, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga dan terutama untuk orang lain. Untuk mereka yang kita sayangi. Untuk sesama kita. Kenyataan harus dihadapi, bukannya dihindari. Atau bahkan dilawan. Hidup bukanlah musuh melainkan saudara terkasih kita. Sahabat terakrab kita. Dengan demikian, kita bisa dan mampu menerima kenyataan itu sebagaimana adanya. Sebagaimana mestinya.

Dan siapakah diantara kita yang dapat dengan jujur mengatakan bahwa semua keinginannya dapat terlaksana dengan baik? Tidak aku, tidak kau, tidak kita, tidak mereka dan bahkan tidak siapa pun juga bila kita jujur, kita dapat memastikan bahwa sesungguhnya hidup ini sedikit banyak memiliki kekecewaannya sendiri-sendiri. Tetapi tak seorang pun mampu untuk menampik kenyataan itu. Tak seorang pun dapat dengan mudah menerima kenyataan itu. Namun, hidup berjalan terus. Dan kita semua memiliki beban dan tanggung-jawab masing-masing. Begitulah resiko yang harus kita hadapi. Harus kita terima. Harus kita jalani. Sepenuh diri. Sepenuh semangat.

Maka kita mungkin tidak merasa berbahagia. Kita mungkin merasa betapa tak berdayanya kita untuk mengekspresikan kemampuan kita. Tetapi kita selalu bisa menjadi berguna. Kita selalu mampu untuk membahagiakan orang lain. Mereka yang kita sayangi. Sesama kita. Sesungguhnya itulah pengurbanan yang dapat dan harus kita lakukan setiap saat. Kita memanggul salib kita sendiri. Kita menyangkal diri kita sendiri. Dan kadang kita bahkan harus mengurbankan segala-galanya demi sesama kita. Dengan rela dan sadar bahwa ada yang lebih besar dari hanya sekedar keinginan diri kita sendiri. Ada yang jauh lebih agung dari hanya sekedar kesenangan kita belaka. Kita tidak sendirian di dunia ini. Tidak pernah sendirian.

Ya, seringkali hidup yang kita jalani sekarang dan saat ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tetapi jelas pula bahwa kita bukannya tidak berguna. Kita bukannya menyia-nyiakan hidup kita. Tidak. Selama kita sadar atas segala resiko hidup ini, sadar akan beban yang harus kita panggul, dan sadar akan tanggung-jawab kita menghadapi kehidupan yang sedang kita jalani, kita selalu mampu menerima apa saja yang kita jalani. Sesal mungkin ada tetapi tak perlu berlarut-larut sehingga kita mengecewakan orang-orang lain. Mengecewakan dunia. Percayalah bahwa setiap pengurbanan selalu akan menghasilkan buah kemenangan. Hidup memang demikian adanya. Hidup memang sering demikian....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...