“Sejujurnya,
bukanlah begini hidup yang kukehendaki. Bukanlah begini hidup yang
kusenangi. Dan harus aku akui bahwa aku tidak berbahagia karenanya.
Tetapi, aku tetap harus menjalaninya. Bukan karena aku hanya pasrah
dan menerima nasib saja. Tidak, bukan karena itu. Aku menjalaninya
karena aku harus bertanggung-jawab atas pilihan yang telah kuambil.
Aku pikir, dan pikiran memang kelebihan utama kita sebagai manusia,
setiap keputusan yang telah kita buat dan laksanakan, haruslah kita
jalani hingga tuntas. Dengan menanggung segala resiko atas akibat
keputusan itu...”
Demikianlah, lelaki paruh baya itu
bertutur dengan pelan. Ada raut kesedihan di wajahnya, tetapi juga
nampak jelas keteguhan jiwanya. Aku tahu, dia tidak bahagia dalam
menjalani hidupnya. Menurut cerita orang yang dekat dengannya, dulu
dia adalah seorang yang amat cerdas dan juga sangat pandai melukis.
Kabarnya, dia ingin menjadi seniman. Tetapi karena kondisi keluarga
yang tidak memungkinkan untuk menjalani keinginannya, dia hidup dalam
keluarga tanpa ayah, sebagai kakak tertua dengan ibu yang kini
sakit-sakitan, dia tahu bahwa ada tanggung-jawab besar yang
dibebankan kepadanya.
Setamat SMA, yang dengan susah payah
dibiayai oleh ibunya sebagai pegawai binatu, dia sadar kemana arah
hidup yang harus dijalaninya. Maka dia bekerja di sebuah bengkel
milik seorang teman sekolahnya, belajar memperbaiki motor hingga dia
mampu untuk membuka bengkel kecil di sebuah lahan kosong dekat
rumahnya. Dari hasil kerjanya, dia membeli kompressor udara dan
melengkapi bengkel kecilnya dengan peralatan sederhana untuk memulai
hidupnya serta menanggung biaya sekolah adik-adiknya serta ibunya
yang, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk bekerja
lagi. Suatu hari saat ban motorku kempes, yang kebetulan dekat dengan
bengkelnya, disanalah aku mengenal dia.
Di waktu senggang, sesekali aku mampir
ke tempatnya, sambil bercerita tentang apa saja. Atau kadang sambil
bermain catur bersama. Bengkel kecil ini kelihatan sangat rapi dan
tidak berantakan sebagaimana banyak bengkel lain. Nampaknya, jiwa
seninya tetap menjadi sumber inspirasi dalam bentuk lain, dalam
penataan dan keresikan tempat itu. Dia bekerja seorang diri sehingga
kadang, jika banyak orang yang datang untuk memperbaiki motor mereka,
dia bekerja seharian tanpa jeda untuk istirahat atau bahkan untuk
makan sekali pun. Demikianlah hidup dijalaninya sehari-hari. Tanpa
sesal. Walau apa yang diidamkannya tidak terwujud. Tidak akan
terwujud.
Pernah dulu, ada yang mengatakan bahwa
hidup ini mesti dijalani apa adanya. Sebagaimana mestinya. Nasehat
yang baik. Tetapi dalam kenyataan tidaklah semudah itu. Mereka yang
memiliki bakat dan kemampuan, apalagi perasaan seni, pasti mengetahui
bagaimana rasanya jika luapan hati yang menggumpal dalam jiwa tidak
tersalurkan keluar. Seperti talenta yang ditanam, menjadi sia-sia dan
tak berguna. Bukan karena dia tak mau menggunakannya. Bukan. Tetapi
lebih karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan hasrat yang ada
dalam jiwa dimanfaatkan dan dipergunakan sebagai mestinya. Ada yang
mengganjal. Ada yang terasa hilang. Ada yang terasa menyedihkan
disana. Keresahan. Kesedihan. Kepahitan. Tetapi toh, akan selalu ada
kesadaran tentang hidup. Dan bersama kesadaran itu, pada akhirnya
kita semua memaklumi dan menerima kenyataan ini dengan sadar. Dan
pasrah.
Memang kenyataan seringkali pahit.
Namun bila kita mau menerimanya dengan penuh tanggung-jawab, jika
kita mau menghadapinya dengan memaklumi kemampuan dan kelemahan diri
kita, semuanya tetap berjalan dengan baik. Dan kita, sebagai manusia,
selalu memiliki kesempatan untuk memakai kemampuan itu, bukan hanya
untuk diri sendiri tetapi juga dan terutama untuk orang lain. Untuk
mereka yang kita sayangi. Untuk sesama kita. Kenyataan harus
dihadapi, bukannya dihindari. Atau bahkan dilawan. Hidup bukanlah
musuh melainkan saudara terkasih kita. Sahabat terakrab kita. Dengan
demikian, kita bisa dan mampu menerima kenyataan itu sebagaimana
adanya. Sebagaimana mestinya.
Dan siapakah diantara kita yang dapat
dengan jujur mengatakan bahwa semua keinginannya dapat terlaksana
dengan baik? Tidak aku, tidak kau, tidak kita, tidak mereka dan
bahkan tidak siapa pun juga bila kita jujur, kita dapat memastikan
bahwa sesungguhnya hidup ini sedikit banyak memiliki kekecewaannya
sendiri-sendiri. Tetapi tak seorang pun mampu untuk menampik
kenyataan itu. Tak seorang pun dapat dengan mudah menerima kenyataan
itu. Namun, hidup berjalan terus. Dan kita semua memiliki beban dan
tanggung-jawab masing-masing. Begitulah resiko yang harus kita
hadapi. Harus kita terima. Harus kita jalani. Sepenuh diri. Sepenuh
semangat.
Maka kita mungkin tidak merasa
berbahagia. Kita mungkin merasa betapa tak berdayanya kita untuk
mengekspresikan kemampuan kita. Tetapi kita selalu bisa menjadi
berguna. Kita selalu mampu untuk membahagiakan orang lain. Mereka
yang kita sayangi. Sesama kita. Sesungguhnya itulah pengurbanan yang
dapat dan harus kita lakukan setiap saat. Kita memanggul salib kita
sendiri. Kita menyangkal diri kita sendiri. Dan kadang kita bahkan
harus mengurbankan segala-galanya demi sesama kita. Dengan rela dan
sadar bahwa ada yang lebih besar dari hanya sekedar keinginan diri
kita sendiri. Ada yang jauh lebih agung dari hanya sekedar kesenangan
kita belaka. Kita tidak sendirian di dunia ini. Tidak pernah
sendirian.
Ya, seringkali hidup yang kita jalani
sekarang dan saat ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kita
harapkan. Tetapi jelas pula bahwa kita bukannya tidak berguna. Kita
bukannya menyia-nyiakan hidup kita. Tidak. Selama kita sadar atas
segala resiko hidup ini, sadar akan beban yang harus kita panggul,
dan sadar akan tanggung-jawab kita menghadapi kehidupan yang sedang
kita jalani, kita selalu mampu menerima apa saja yang kita jalani.
Sesal mungkin ada tetapi tak perlu berlarut-larut sehingga kita
mengecewakan orang-orang lain. Mengecewakan dunia. Percayalah bahwa
setiap pengurbanan selalu akan menghasilkan buah kemenangan. Hidup
memang demikian adanya. Hidup memang sering demikian....
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar