Suatu hari,
seseorang bertanya kepadaku, apa bedanya antara menulis renungan dan
menulis sajak? Ya, apa bedanya bagiku antara menulis renungan dan
menulis sajak? Bagiku, sajak adalah refleksi diri, sebuah sajak bisa
jauh lebih jujur menampilkan perasaanku sedangkan renungan lebih
banyak menampilkan pemikiranku. Sajak, yang ditulis dengan singkat,
padat dan umumnya, secara otomatis, kutulis nyaris tanpa perubahan
berarti. Tetapi renungan yang jauh lebih panjang, kuolah dan
kuperbaiki berkali-kali.
Maka sajak adalah nyanyian jiwaku
sedang renungan adalah pemikiran tentang pengalaman hidupku sendiri.
Setiap hari, setiap saat yang kujalani dan kualami selalu membuat aku
berpikir tentang apa sesungguhnya makna keberadaanku di dunia ini.
Mengapa aku harus hidup. Dan untuk apa aku mesti melakukan apa yang
sedang kulaksanakan sekarang. Dan di baliknya timbullah percik-percik
perenungan, suasana hati serta sesekali timbul nuansa rasa yang
sedemikian menyentuh kalbuku. Maka untuk itulah aku menulis. Puisi
lebih menggambarkan kejujuran dan kejernihan jiwa sedangkan renungan
lebih pada suasana pemikiranku saat menghadapi dan menerima situasi
tertentu.
Begitulah perbedaan antara puisi dan
renunganku di blog ini. Dan sejujurnya, puisi, karena lebih
menggambarkan suasana jiwaku dengan jujur, banyak yang tidak kumuat
disini. Rahasia perasaan yang hanya kusimpan demi kebebasanku dalam
berekspresi yang mirip dengan buku harian yang jauh lebih murni
tentang suasana hidupku. Entah merasa cemas, malu atau pun
kekhawatiran bahwa semua hanya akan membosankan bagi yang membacanya
karena lebih mirip keluh kesah atau curhat. Sedang renungan bagiku
adalah ide dan pemikiran menghadapi serta menerima kehidupan yang
pada umumnya tak pernah kusimpan dalam kotak.
Maka inilah pikiran-pikiran yang
meloncat, kadang beraturan kadang tidak, tetapi bagaimana pun membuat
beban yang kuhadapi menjadi ringan. Jauh lebih ringan. Dengan
menulis, dengan mengutarakan apa yang kupikirkan. Dengan menyampaikan
apa yang mengusik pemikiranku. Dengan menuturkan perasaanku tentang
jalannya hidup ini. Untuk apakah keberadaan kita di dunia ini jika
kita tidak nyata? Jika kita lebih suka menyembunyikan diri di balik
tembok privasi kita? Dan bukankah dalam setiap pengalaman yang kita
hadapi, setiap penglihatan yang kita alami, setiap perasaan atas
situasi yang terjadi, selalu dapat membuat kita untuk memikirkan
makna kehidupan kita?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar