“Hanya debulah aku,
di alas kaki-MU, Tuhan”
Demikian sebuah lagu indah yang
dinyanyikan oleh umat Katolik setiap memasuki masa PraPaskah. Setiap
mencoba untuk mengenang kembali sengsara Yesus demi keselamatan
manusia. Sebuah lagu yang dapat membuat kita tertunduk dalam
kepasrahan. Tetapi sungguhkah kita merasa hanya sebagai debu di alas
kaki Tuhan?
Sebuah lagu terkadang dapat membuat
kita terlena sejenak dan melupakan kenyataan sesungguhnya yang perlu
kita sadari. Sebab, jika kita sungguh merasa sebagai debu yang dapat
dengan tiba-tiba lenyap tertiup angin, seharusnya kita pun mampu
menyadari kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia yang tak berdaya
bahkan dalam menginginkan hasrat kita.
Tetapi kenyataannya, kita lebih sering
merasa sebagai gunung yang kokoh. Sebagai pusat kekuatan di bumi ini.
Kita sering menganggap Tuhan sebagai Tuhan yang lemah dan tak berdaya
sehingga perlu kita lindungi dan membela-NYA mati-matian. Bahkan jika
perlu dengan memakai kekerasan. Dan saat kita meminta permohonan
kepada-NYA, kita menjadi insan yang menakutkan karena sebenarnya kita
tidak memohon tetapi memaksa DIA untuk meluluskan semua keinginan
kita.
“Hanya debulah aku, di alas kaki-MU,
Tuhan” membuat kita tertunduk tetapi mungkin hanya sejenak saja.
Indah dalam nada. Indah dalam kata. Tetapi sejujurnya kita luput
menyadari kenyataan yang sesungguhnya kita lakoni dalam hidup ini.
Kelemahan kita bisa mendadak menjadi kekuatan penekan. Kelemahan kita
kita pakai sebagai alat pembenaran agar Tuhan mengabulkan semua
keinginan kita. Dan mungkin, inilah ironi yang dimiliki setiap
manusia yang percaya kepada-NYA.
Maka di saat mengenang kembali derita
Yesus, kita perlu merenung sejenak. Sungguhkah kita merasa hanya
sebagai debu? Sungguhkah kita menganggap Tuhan sebagai kekuasaan yang
tak terbatas? Sungguhkah kita meyakini bahwa Tuhan sungguh adalah
Sang Maha Pencipta? Sungguhkah kita menyadari kelemahan manusiawi
kita? Sungguhkah?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar