Dunia ini, panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah.....
Dunia ini memang panggung sandiwara.
Dengan cerita yang dapat berubah secara cepat. Dan batas antara yang
benar dan palsu semakin kabur. Dan tidak seperti kisah-kisah yang
dulu pernah dituturkan pada kita, kenyataan sekarang membuat kita
menjadi bingung dan semakin kehilangan arah. Seorang koruptor dapat
menjadi pahlawan karena telah memberikan sumbangan besar. Seorang
penjahat dapat tiba-tiba nampak alim dengan mengenakan simbol-simbol
keagamaan. Kejujuran ternyata juga dapat dibeli, bukan hanya dengan
materi tetapi juga dengan keyakinan. Seakan-akan, jika kita berbohong
demi, apa yang kita yakini, sebagai kehendak Tuhan misalnya, maka itu
dapat dibenarkan. Dan dalam kebingungan menerima segala kejadian
itulah, kejenuhan mulai menguasai perasaan kita. Kita lalu menjadi
apatis, tidak peduli dan membuat kita berasumsi bahwa apapun yang
terjadi, semua tidak punya kaitan dengan hidup kita sendiri.
Demikianlah kenyataan pahit yang mendera masyarakat kita sekarang.
Dunia ini memang
panggung sandiwara. Dan kita hidup bersama topeng-topeng diri yang
kian tebal. Masing-masing hanya memikirkan diri dan kepentingan
sendiri. Masing-masing berbuat seakan-akan semua berjalan baik dan
lancar, walau pun itu jelas tidak benar. Sikap hidup kita nampaknya
mengikuti kemajuan tehnologi yang telah membuat hidup menjadi lebih
ringan dan mudah. Serta cepat dan ringkas. Kita seakan-akan ingin
menjadi sebuah remote control yang hanya dengan sekali sentuh, maka
semua keinginan kita dapat tercapai. Dan dengan program-program dan
peralatan tehnik yang canggih, kita merasa mampu meraih semua hal
yang menjadi impian kita. Maka kita lalu mereguk semua hal yang
menyenangkan kita tanpa peduli lagi dari mana sumbernya. Nampaknya,
dengan kesadaran baru itulah kita hidup kini.
Namun toh, bagiku, tetap ada yang
salah. Hidup sesungguhnya tidak semudah itu. Walau kita memiliki
remote control, ternyata kita sendiri tidak memahami cara kerja alat
itu. Karena kita tidak mampu membuatnya sendiri. Demikian pula dengan
dengan semua program dan peralatan canggih yang kita miliki,
ternyata, tak mampu kita ciptakan sendiri. Kita kehilangan keaslian
diri. Kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencipta selain dari
hanya memakai. Kita terlena dalam segala kemudahan yang kita anggap
sudah menjadi milik kita padahal sesungguhnya bukan hasil pemikiran
kita. Kita ingin serba cepat tetapi sangat menggantungkan diri pada
kemampuan orang lain. Dan disinilah kegagalan kita. Kegagalan untuk
berpikir dan berkreasi. Dan sebab kita ingin serba cepat dan mudah,
maka segalanya bisa kita terima. Segalanya bisa kita anggap benar.
Yang buruk menjadi baik. Yang salah menjadi benar. Dan toh, tak
seorang pun merasa khawatir akan hal itu.
Dunia ini memang panggung sandiwara.
Ceritanya mudah berubah. Kisah lucu membuat kita tertawa. Kisah sedih
membuat kita menangis. Tetapi ternyata, ada juga kisah yang sama
sekali tidak lucu tetapi dapat membuat kita tertawa. Tertawa dengan
pahit. Dan ada kisah yang sama sekali tidak sedih tetapi bernuansa
kebanggaan ternyata dapat membuat kita sedih. Sedih yang pahit pula
karena kebodohan kita dalam menerima kebanggan yang tak sepatutnya.
Dan demikianlah kehidupan kita berjalan terus. Perlahan-lahan kita
kehilangan nurani kita. Perlahan-lahan kita menyangka bahwa semua
biasa dan normal saja. Dan ketika berita melintas dengan cepat susul
menyusul, ganti berganti, dengan perasaan bingung kita pun kehilangan
kepedulian. Dan pada akhirnya hanya mampu mengguman dalam kesepian.
Kehilangan suara. Kehilangan kata-kata. Kehilangan nurani.
Namun, seperti semua sandiwara, selalu
ada sutradara yang sedang mengawasi kita. Jadi ketika sandiwara yang
kita mainkan sudah keluar dari naskah yang ditulisnya, ketika kita
sebagai pelakon bermain seakan-akan semuanya hanya demi keuntungan
dan kesenangan diri kita saja, pernahkah kita memikirkan apa yang
akan dilakukannya kepada kita? Pernahkah kita merenungkan bahwa kita
ini sesungguhnya hanya memainkan lakon sesuai dengan naskahnya? Jadi
jika peran kita berjalan tanpa jalur yang benar, sadarkah kita bahwa
setiap sandiwara – bagaimana pun bagusnya – pasti akan usai juga.
Dan saat itu, bagaimana pertanggung-jawaban kita terhadap sang
sutradara? Bagaimana? Dan kupikir, di titik saat sandiwara telah
usai, kita telah terlambat untuk memperbaiki peran kita. Telah
terlambat.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar