“Membunuh orang
kafir bukanlah pembunuhan, melainkan jalan menuju surga” demikian
seruan yang mengawali sebuah film menarik, “Kingdom of Heaven”.
Sebuah film yang berkisah tentang salah satu episode dalam sejarah
perang salib yang berkepanjangan di Yerusalem. Cerita tentang seorang
pria yang bernama Balian dalam usahanya mencari penebusan dosa ke
tanah suci tetapi menemukan kenyataan bahwa apa yang disebut tanah
suci itu dimana menurut sangkaannya dapat mengampuni kesalahan yang
telah dilakukan hanya sekedar ‘sebuah perang demi kemakmuran dan
sejengkal tanah’ untuk ambisi-ambisi pribadi tertentu saja.
Apakah maksud kata kafir itu? Dan
siapakah yang dinamakan manusia kafir itu? Dapatkah manusia yang
berbeda dari kita disebut kafir? Dan jika memang ada manusia kafir,
mengapakah Tuhan menciptakan manusia demikian? Bukankah mereka juga
adalah ciptaan yang sama? Maka tiba-tiba pokok utama film itu tidak
lagi terletak pada perbedaan agama, perbedaan dalam cara memaknai apa
itu keinginan Sang Pencipta, tetapi pada nilai seorang manusia dalam
menjalani dan menghadapi hidup ini. Agama menjadi latar belakang
dalam kepercayaan manusia kepada Sang Pencipta tetapi pada akhirnya,
agama bukan hanya soal kita atau mereka, tetapi ‘aku bukan mereka.
Aku Saladin!’ seperti kata Sultan Saladin yang selama berhari-hari
mengepung kota Yerusalem dan siap untuk menghancurkannya tetapi
kemudian memberikan pengampunan dan kebebasan kepada semua orang yang
saat itu sedang berada dalam kota yang dianggap suci itu.
Yerusalem, kota yang menjadi rebutan,
kota yang dianggap suci itu, kemudian ‘tidak ada artinya tetapi
juga berarti segala-galanya’ bagi Sultan Saladin pada akhirnya
menampakkan keindahannya justru saat Sultan Saladin yang muslim
menegakkan salib di atas altar menggambarkan betapa Kerajaan Surga
justru ada dalam diri seorang manusia. Bukan pada gunung tertentu,
bukan pada lokasi tertentu dan juga bukan pada orang-orang tertentu
saja. Kita, manusia yang hidup dalam pusaran sejarah tetaplah seorang
manusia juga yang selalu memiliki cara pandang sendiri dalam
menghadapi kenyataan. Keadilan. Kebenaran. Dan seorang pahlawan belum
tentu seorang pemenang tetapi mereka yang telah bertarung demi
kemanusiaan, bukan demi kekayaan-keuasaan-kekayaan belaka, dan walau
kalah namun tetap tak dapat ditaklukkan. Demikianlah seorang Balian
yang berjuang setelah menolak permintaan Sang Raja untuk ‘melakukan
sedikit kejahatan demi kebaikan yang lebih mulia”. Karena baginya,
sedikit atau banyak, sebuah kejahatan tetaplah sebuah kejahatan. Dan
sekali sebuah kejahatan dilakukan, kejahatan lain akan dengan mudah
untuk dilaksanakan kembali. Seperti sebuah lingkaran yang tak
berujung pangkal.
Demikianlah, di akhir film tersebut,
Balin, sang pahlawan yang telah bertarung mempertahankan kota dengan
gigih, kembali menjalani hidupnya secara sederhana. Sebagai seorang
tukang besi. Bersama istrinya yang mantan Ratu dan telah meninggalkan
segala atribut kekuasaan-kekayaan-kakuatan itu. Pada akhirnya, hidup
yang berbahagia adalah hidup dalam kesederhaan. Tanpa kekerasan,
tanpa tipu daya dan ambisi pada kekuasaan-kekayaan-kekuatan. Pada
akhirnya seorang manusia tetaplah seorang manusia dengan kerajaan
surga yang berada dalam dirinya sendiri. Sebab apalah artinya
kejayaan dan ketenaran jika untuk itu harus mengurbankan banyak
jiwa-jiwa yang tak berdosa? Apalah artinya kerajaan surga jika itu
hanya sebuah lokasi di muka bumi yang luas ini? Apalah artinya Sang
Maha Pencipta jika Dia hanya mau mengakui kita, kelompok kita, kaum
kita sebagai satu-satunya yang memiliki kebenaran-Nya padahal Dia
telah menciptakan semuanya dengan ‘sangat senang’?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar