21 Februari 2013

KERAJAAN SURGA


“Membunuh orang kafir bukanlah pembunuhan, melainkan jalan menuju surga” demikian seruan yang mengawali sebuah film menarik, “Kingdom of Heaven”. Sebuah film yang berkisah tentang salah satu episode dalam sejarah perang salib yang berkepanjangan di Yerusalem. Cerita tentang seorang pria yang bernama Balian dalam usahanya mencari penebusan dosa ke tanah suci tetapi menemukan kenyataan bahwa apa yang disebut tanah suci itu dimana menurut sangkaannya dapat mengampuni kesalahan yang telah dilakukan hanya sekedar ‘sebuah perang demi kemakmuran dan sejengkal tanah’ untuk ambisi-ambisi pribadi tertentu saja.

Apakah maksud kata kafir itu? Dan siapakah yang dinamakan manusia kafir itu? Dapatkah manusia yang berbeda dari kita disebut kafir? Dan jika memang ada manusia kafir, mengapakah Tuhan menciptakan manusia demikian? Bukankah mereka juga adalah ciptaan yang sama? Maka tiba-tiba pokok utama film itu tidak lagi terletak pada perbedaan agama, perbedaan dalam cara memaknai apa itu keinginan Sang Pencipta, tetapi pada nilai seorang manusia dalam menjalani dan menghadapi hidup ini. Agama menjadi latar belakang dalam kepercayaan manusia kepada Sang Pencipta tetapi pada akhirnya, agama bukan hanya soal kita atau mereka, tetapi ‘aku bukan mereka. Aku Saladin!’ seperti kata Sultan Saladin yang selama berhari-hari mengepung kota Yerusalem dan siap untuk menghancurkannya tetapi kemudian memberikan pengampunan dan kebebasan kepada semua orang yang saat itu sedang berada dalam kota yang dianggap suci itu.

Yerusalem, kota yang menjadi rebutan, kota yang dianggap suci itu, kemudian ‘tidak ada artinya tetapi juga berarti segala-galanya’ bagi Sultan Saladin pada akhirnya menampakkan keindahannya justru saat Sultan Saladin yang muslim menegakkan salib di atas altar menggambarkan betapa Kerajaan Surga justru ada dalam diri seorang manusia. Bukan pada gunung tertentu, bukan pada lokasi tertentu dan juga bukan pada orang-orang tertentu saja. Kita, manusia yang hidup dalam pusaran sejarah tetaplah seorang manusia juga yang selalu memiliki cara pandang sendiri dalam menghadapi kenyataan. Keadilan. Kebenaran. Dan seorang pahlawan belum tentu seorang pemenang tetapi mereka yang telah bertarung demi kemanusiaan, bukan demi kekayaan-keuasaan-kekayaan belaka, dan walau kalah namun tetap tak dapat ditaklukkan. Demikianlah seorang Balian yang berjuang setelah menolak permintaan Sang Raja untuk ‘melakukan sedikit kejahatan demi kebaikan yang lebih mulia”. Karena baginya, sedikit atau banyak, sebuah kejahatan tetaplah sebuah kejahatan. Dan sekali sebuah kejahatan dilakukan, kejahatan lain akan dengan mudah untuk dilaksanakan kembali. Seperti sebuah lingkaran yang tak berujung pangkal.

Demikianlah, di akhir film tersebut, Balin, sang pahlawan yang telah bertarung mempertahankan kota dengan gigih, kembali menjalani hidupnya secara sederhana. Sebagai seorang tukang besi. Bersama istrinya yang mantan Ratu dan telah meninggalkan segala atribut kekuasaan-kekayaan-kakuatan itu. Pada akhirnya, hidup yang berbahagia adalah hidup dalam kesederhaan. Tanpa kekerasan, tanpa tipu daya dan ambisi pada kekuasaan-kekayaan-kekuatan. Pada akhirnya seorang manusia tetaplah seorang manusia dengan kerajaan surga yang berada dalam dirinya sendiri. Sebab apalah artinya kejayaan dan ketenaran jika untuk itu harus mengurbankan banyak jiwa-jiwa yang tak berdosa? Apalah artinya kerajaan surga jika itu hanya sebuah lokasi di muka bumi yang luas ini? Apalah artinya Sang Maha Pencipta jika Dia hanya mau mengakui kita, kelompok kita, kaum kita sebagai satu-satunya yang memiliki kebenaran-Nya padahal Dia telah menciptakan semuanya dengan ‘sangat senang’?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...