09 Desember 2009

AKIBAT KERUSUHAN

"Hancur! Semua hancur...." bisik lelaki paruh baya itu. Dengan sedih dia memandang ke tempat usahanya yang porak poranda akibat kerusuhan yang terjadi beberapa saat lalu. Beberapa laptop yang dipajangnya lenyap tanpa bekas. Pecahan kaca berserakan dimana-mana. Empat orang pegawainya nampak tertuduk lesu di sudut stand yang berukuran 4 X 6 meter itu. Kebingungan dan nampak tak berdaya. "Siapa yang harus menanggung semua ini? Siapa? Mengapa para perusuh itu tak mau tahu kesusahan orang lain? Modal yang terkumpul dengan susah payah, dan kredit yang telah kuambil dari suatu Bank, bagaimana aku harus mencari gantinya? Hanya dalam waktu sekejap semuanya lenyap tak berbekas. Tak berbekas. Apalagi yang harus kulakukan? Bagaimana lagi aku harus membayar gaji para pegawaiku? Mengapa para perusuh itu hanya memikirkan kepentingan diri mereka saja? Ya, sekarang hancurlah semua...."

Di lorong yang panjang dalam Mall ini, banyak orang yang lalu lalang tanpa tahu harus melakukan apa. Semua nampak bingung. Sebagian nampak frustrasi dan trauma atas peristiwa itu. Di suatu stand lain, seorang bapak tua duduk termenung. Matanya memandang ke etalase yang kini telah kosong dan tak berpelindung kaca lagi. Serakan kaca nampak berhamburan di lantai. Aku merasakan bahwa, walau matanya menatap ke arah etalase yang hancur itu, pikirannya melayang entah kemana. Dan para pegawai, dan para pekerja yang menggantungkan hidupnya, hidup anak-anaknya, hidup keluarganya pada kegiatan usaha itu nampak berkumpul dengan diam. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan, betapa kesunyian bisa muncul di tengah banyak orang. Di antara banyak orang.

Pernahkah kita merasa peduli pada kesusahan orang lain? Bisakah kita merasa prihatin dengan kehidupan orang lain? Ataukah kita hanya, dan selalu hanya, merasa bahwa kesusahan dan keperihan kitalah yang terasa berat, jauh lebih berat dari kesulitan orang lain? Bahwa kita ini sudah menderita, karena itu kita layak juga untuk membuat orang lain menderita? Bahwa kita ini adalah kurban dan sebab itu kita layak untuk mengurbankan orang lain? Apa yang kita alami, apa yang kita rasakan, memang akan selalu terasa jauh lebih menikam hidup kita, tetapi toh, kita tak bisa berpikir bahwa kita dan hanya kitalah yang mengalami kesulitan dan kepahitan hidup. Bahwa hanya kitalah yang paling menderita di dunia ini, karena itu kita pantas untuk berbuat apa saja demi membilas sakit hati kita. Tidak, bahkan jika pun kita memang merasakan derita yang amat sangat, percayalah bahwa mungkin saja ada orang lebih menderita, jauh lebih menderita dari kita. Hanya mereka berdiam diri. Dan jika kita hanya memusatkan perasaan pada diri kita, kita takkan pernah bisa merasakan derita orang lain. Takkan pernah....

Pecahan beling. Sobekan kain. Hancuran metal. Semua nampak berserakan di depanku. Dan jika kita mampu untuk turut merasakan kesedihan yang mengambang di jejeran stand dalam Mall ini, kita akan menemukan harapan-harapan yang sirna. Rencana-rencana yang mungkin tak akan terlaksana. Bahkan tangis anak-anak yang kelaparan. Perut-perut yang keroncongan. Biaya pendidikan yang tak terbayar. Hidup yang mandek dan bahkan mundur ke belakang. Mengapa kita tak pernah bisa peduli pada penderitaan orang lain? Mengapa kita tega untuk menjadikan orang lain sebagai kurban baru karena kita sendiri merasa telah dikurbankan? Mengapa? Marilah kita merenungkannya dengan hati yang terbuka. Dengan jiwa yang lapang. Dan temukanlah derita kita, kesengsaraan kita, keterpencilan kita, kehampaan kita pada diri sesama yang nampak seakan-akan memiliki sesuatu yang jauh lebih daripada kita. Dan jika kita gagal menemukan kesengsaraan kita pada diri sesama kita, maka nyata pula bahwa kita takkan berhasil untuk mengenal kehidupan ini. Kita gagal untuk hidup. Gagal....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...