18 Desember 2009

ESOK

Esok. Apa yang kita pikirkan saat ini tentang hari esok? Apakah kita merasakan adanya suatu harapan ataukah hanya dipenuhi dengan ketakutan dan kekhawatiran? Esok. Siapakah yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi? Mungkin kita saat ini sedang merencanakan banyak hal, memprediksikan banyak kemungkinan atau malah meyakini hasil yang akan memuaskan kita, tetapi siapa yang dapat memastikan hasilnya? Hidup penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terkadang jauh dari jangkauan pemahaman kita. Dan sering tak tertebak. Sering tak tertebak.

Apa yang kita rancang, apa yang kita bangun dan apa yang kelak ingin kita raih sebagai suatu keberhasilan, mungkin dalam sekejap bisa lenyap oleh suatu musibah yang tak terpikirkan sama sekali. Dan berapa besarkah dana yang telah kita keluarkan? Berapa banyakkah pengurbanan yang telah kita jalani? Bukankah semuanya itu nisbi belaka? Tetapi patutkah kita merasa marah, kecewa atau bahkan putus asa saat ditimpa musibah? Saat segala yang kita angankan sirna hanya dalam waktu sekejap. Saat pembangunan yang memakan waktu, berbulan atau malah bertahun-tahun, musnah hanya dalam hitungan menit? Kita memang dapat merencanakan sesuatu, tetapi bukan hak kita untuk memastikan apa yang akan kita raih kelak. Bukan hak kita sama sekali.

Demikianlah saat membaca berita tentang penghancuran sebuah gedung ibadah yang sedang dibangun sekejap aku merasa terperangah. Bingung dan sedih. Juga setelah mendengar dan membaca komentar-komentar tentang peristiwa itu. Ada apakah dengan kita? Mengapa sebagian dari kita demikian dipenuhi kebencian dan dendam? Apa bukan karena hilangnya keadilan? Apa bukan karena masalah-masalah yang ada sering dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian? Apa karena kita takut terbuka karena dapat menyakiti diri kita sendiri? Ataukah karena kita sering tak menyadari keadaan sekitar atau hanyut dalam kepentingan sepihak demi sesuap nasi hari ini? Siapa yang salah?

Esok. Masihkah kita punya harapan? Ataukah hanya dipenuhi kekhawatiran, ketakutan dan kebimbangan? Kesadaran kitalah yang dapat mengubah kondisi saat ini. Kesadaran untuk dapat bersikap adil, jujur dan terbuka. Untuk dapat menyelesaikan semua persoalan dengan terbuka dan tanpa memihak. Bahkan saat kita merasa salah, kita harus mengakui kesalahan tersebut dan tidak menyembunyikannya dengan beraneka macam alasan. Atau melipatnya dalam se gepok kekayaan yang kita miliki. Kita harus adil, adil terhadap diri sendiri, adil terhadap orang lain, adil terhadap Sang Pencipta. Sebab, lihat, demikian banyak persoalan yang terjadi dengan meng-atas namakan keadilan Tuhan, tetapi kita sendiri tak pernah berbuat adil terhadap sesama kita. Allah, Sang Pencipta, yang adalah Maha Esa.

Bukankah jika kita mempercayai dan meyakini ke-ESA-an Sang Pencipta, maka kita juga layak yakin bahwa semua insan di alam raya ini adalah ciptaan-Nya? Jadi tidakkah jika kita berbuat tidak adil terhadap alam raya ini, apalagi atas nama-Nya, berarti kita meragukan keadilan Tuhan sendiri? Kita yang sering menghukum orang atas nama-Nya, apalagi orang-orang yang sama sekali asing bagi kita, bukankah hanya mencederai hakekat keesaan-Nya? Sebab semua diciptakan oleh Allah yang sama. Semua akan diadili oleh Tuhan yang sama. Dan kita, insan ciptaan-Nya, tak punya hak untuk bertindak sebagai Sang Pencipta, apalagi bertindak seakan-akan kitalah sang penguasa yang harus menentukan benar salahnya seseorang. Sebagai ciptaan, kita semua berhak untuk hidup dan memuliakan nama-Nya. Dan apa pun yang kita lakukan, benar atau salah, biarlah Dia yang kelak mengadili kita. Dia Sang Maha Adil.

Esok. Mampukah kita mengubah diri kita sendiri? Mampukah kita menundukkan hasrat dan ambisi kita sendiri? Mampukah kita menerima kenyataan yang lain dari apa yang kita pikirkan? Mampukah kita percaya bahwa bukan hanya kita yang memiliki kebenaran itu? Mampukah kita saling memberi jalan, memberi ruang gerak, memberi kesempatan bagi orang lain yang berbeda dengan kita? Mampukah kita berbuat adil? Jujur dan terbuka? Serta mau menerima kesalahan-kesalahan kita dan menerima kesalahan-kesalahan sesama kita? Tetapi lebih dari itu, mampukah kita merasa tidak benar sendiri? Mampukah kita meyakini bahwa kita bukan satu-satunya pihak yang puhak untuk hidup di dunia ciptaan-Nya yang indah ini? Jika itu bisa kita lakukan, percayalah, bahwa ahri esok yang indah akan songsong bersama. Dengan kedamaian. Dengan ketentraman. Tuhan menyertai orang-orang yang saling menyayangi walau berbeda satu sama lain. Sebab Dia hanya Satu. Dia Esa.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...