16 Desember 2009

HUKUM

Lampu pengatur lalu lintas telah berubah, dari kuning ke merah. Namun, dua buah mobil, becak dan beberapa motor masih melaju lurus ke depan, berusaha dengan cepat melintasi perempatan jalan yang ramai itu. Tetapi, tepat saat berada di pertengahan jalan, kendaraan lain di arah kiri, dengan lampu pengatur lalu lintas yang telah menyala hijau pun mulai bergerak. Menerobos dengan cepat melaju ke depan. Sejenak, terjadilah kemacetan pas di tengah perempatan jalan. Nampak pengendara mobil ber plat merah yang tadi menerobos lampu merah membuka kaca kendaraannya, dan sambil membunyikan klakson dengan suara yang memekakkan telinga, marah-marah kepada kendaran yang menghalangi jalannya. Aku menyaksikan drama di siang hari yang cukup terik itu dengan bingung. Kok, sudah melanggar, marah lagi ketika merasa terhambat. Padahal, siapakah sebenarnya yang menghambat perjalanan orang lain?

Hukum dan peraturan dibuat untuk dilanggar, kata seorang temanku. Jika demikian adanya, mengapa hukum dan peraturan harus dibuat dengan susah payah? Dan memakan biaya besar pula? Betapa kerapnya kita baca dan saksikan sendiri, ada pelanggar hukum dan aturan, yang jika kepergok, lalu melindungi dirinya di balik hukum yang sebelumnya telah dilanggarnya sendiri. Hukum telah menjadi suatu arena permainan. Dan orang-orang merasa senang jika ternyata berhasil mengelabuinya. Namun jika gagal, dia akan berlindung di baliknya. Seperti sebuah permainan, hukum dibaca bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk dikelabui dan untuk melindungi kepentingan diri. Dan kita hidup dalam budaya jalan raya yang tidak teratur, lalu lintas yang semerawut, yang seakan dikejar kepentingan yang amat sangat mendesak, padahal kemudian, mungkin saja kita hanya duduk-duduk sambil menikmati secangkir kopi kental di sebuah kafe yang menyenangkan.

Sambil menunggu giliran saat lampu pengatur lalu lintas bernyala hijau, aku menyaksikan pertengkaran sesaat di tengah kemacetan yang terjadi karena kendaraan saling menyilang dan tak ada yang rela untuk mengalah. Dan mobil yang telah menerobos lampu merah itu tetap berdiri tepat di tengah perempatan sambil terus menerus membunyikan klaksonnya. Terperangkap bersama sebagian kendaraan lain yang berada di jalurnya tak bisa bergerak sama sekali. Namun beberapa motor dan becak yang tadi ikut melintas bersamanya telah menghilang entah kemana. Dan tak ada seorang pun polisi lalu lintas yang nampak di siang terik ini. Akhirnya, giliran di jalurku pun kembali tiba. Lampu hijau menyala dan aku melanjutkan perjalananku bersama mobil plat merah yang tadi terperangkap karena kesalahan sendiri. Selintas aku melihat wajah sang sopir yang nampak menggerutu namun sama sekali tidak memperlihatkan kesan bersalah. Menggerutu dan merasa tidak bersalah. Ah, bagaimana kita bisa mengatur orang lain jika kita sendiri tak sanggup mengatur diri sendiri? Bagaimana kita bisa mengatakan keadilan jika kita sendiri tak adil? Bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran jika kita sendiri tak berbuat benar?

Hukum dan peraturan dibuat untuk dilanggar. Jika tidak ada hukum dan peraturan, maka tidak akan ada pelanggaran. Apakah memang demikian? Kita melakukan banyak hal yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi saat kita terpojok, kita selalu berlindung dibalik undang-undang itu. Jadi, untuk apakah aturan itu dibuat? Untuk dibeli, kata temanku lagi. Untuk dibayar dan diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi bagaimana nasib mereka yang tidak mampu membeli? Mereka yang tidak berdaya membayar? Mungkin kita hanya bisa menunggu dengan sabar, menaati semua hukum dan aturan, karena sadar bahwa hukum dibuat untuk kita, untuk mereka-mereka yang tak memiliki kekuasaan-kekayaan dan kekuatan. Atau kita harus sama sekali tidak punya apa-apa, dan hanya seperti pengendara becak itu yang dengan leluasa melanggar aturan lalu lintas karena tak sesuatu pun yang dapat lagi diperas dari kita. Dengan perasaan letih dan sedih aku melanjutkan perjalananku sambil memikirkan apa yang telah terjadi saat ini. Letih dan sedih karena sadar betapa semerawutnya lalu lintas kehidupan kita. Betapa semerawutnya....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...