07 Desember 2009

HUJAN

Mendadak, hujan turun. Sangat deras. Dan aku pun buru-buru menepi. Aspal yang panas seakan mengeluarkan asap saat diterpa air. Trotoar depan deretan toko tepi jalan rappocini raya ini kini dipenuhi para pengendara motor yang enggan untuk basah kuyup. Namun, sekelompok anak-anak kulihat memenuhi jalan sambil berseru-seru dan bermain di bawah cucuran air hujan. Baju mereka telah basah kuyup, namun tak ada yang peduli. Kegembiraan nampak meluap-luap di wajah mungil mereka. Seorang anak malah nampak membuka bajunya sambil berjoget dan tertawa riang. Hujan turun. Deras sekali. Dan kami yang menghindarinya asyik menyaksikan anak-anak yang justru menikmati derasnya hujan itu.

Tetapi kemudian, seorang ibu nampak muncul. Lalu dengan wajah yang nampak kesal, dia menarik tangan seorang anak dan, sambil memukulinya, menyeretnya ke dalam sebuah rumah. "Sudah mama bilang, jangan main hujan, nanti kau sakit..." terdengar suara ibu itu sayup-sayup diantara suara kucuran air. Wajah anak itu tiba-tiba nampak ketakutan, lalu menangis. Dan beberapa temannya yang tadi asyik bermain di tengah derasnya hujan yang menerpa bumi, nampak berdiri kaku dan terdiam. "Sudah saya larang kau, anak nakal, sudah saya larang kau. Kenapa kau tidak ingat, eh? Masuk!" Dengan patuh anak itu mengikuti ibunya yang nampak sangat marah. Sambil menangis tersedu-sedu. Hujan turun dengan derasnya....

Aku menyaksikan kejadian itu, dan tiba-tiba teringat pada seorang penulis ternama, Mark Twain: "Jika anakku yang masih kecil ingin memegang seekor kucing, aku katakan, 'biarkanlah'. Pengalaman itu akan mengajari dia lebih dari beribu-ribu larangan". Seberapa banyakkah larangan yang telah kita ungkapkan kepada anak-anak kita? Apakah larangan itu sungguh memang sudah selayaknya kita buat, atau hanya untuk kepentingan kita saja yang tak ingin merasa susah akibat tindakan mereka? Tidakkah kita merasa, betapa seringnya kepentingan dan kesenangan kita amat bertentangan dengan keinginan anak-anak kita? Dalam perbedaan itu, bukankah sering terasa bahwa anak-anak kita seakan-akan tidak punya hak untuk menikmati kegembiraan mereka? Karena kita mau direpotkan. Karena kita menolak untuk disusahkan akibat kesenangan mereka.

Namun, kita hidup dengan belajar mengalami. Pengalaman yang bisa baik dan bisa buruk. Kita tahu dan memahami hidup ini justru dari apa yang telah kita alami sendiri. Bukan hanya karena kita telah belajar dari pengalaman orang lain. Maka, apa artinya hujan bagi kita, jika kita tak pernah merasakan dan menikmati tusukan-tusukan air yang menerpa wajah kita? Apa artinya sakit jika kita sama sekali tak pernah mengalami sakit yang membantu kita untuk sadar betapa pentingnya untuk sehat? Apa artinya hidup jika kita tak pernah merasa dan menikmati hidup kita sendiri? Apa artinya semua itu jika kita sendiri tak pernah mengalaminya? Tak pernah merasakannya?

Hujan mulai reda. Tersisa gerimis yang perlahan jatuh dari langit. Kelompok anak-anak itu kini menghilang, entah kemana. Kegembiraan mereka telah sirna. Dan langit pun mendadak terang. Jalan yang tadinya sepi, kini mulai ramai oleh para pengendara sepeda motor yang tak mau menunggu lagi saat hujan sama sekali berhenti. Hujan datang dan pergi seakan hanya dalam satu perjumpaan sesaat dengan hidup kita. Dan trotoar di deretan toko ini pun mulai sepi. Matahari mendadak menampakkan cahayanya yang sangat terang dan terik. Lalu kesibukan pun mulai seakan hujan tak pernah turun. Kecuali sisa-sisa genangan air di sisi-sisi jalan yang berubah menjadi kolam-kolam kecil. Aku pun menghidupkan kendaraanku dan meninggalkan tempat itu. Melanjutkan perjalananku. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...