06 Desember 2009

TIRTA

"Kita semua memiliki impian dan keinginan. Namun kita tetap harus menyadari kenyataan. Tentu, kita semua harus memperjuangkan agar impian dan keinginan kita dapat terwujud. Namun pada akhirnya, kenyataan itulah yang akan menentukannya. Maka kita harus realistis. Tak perlu merasa kecewa atau putus asa jika apa yang kita hasratkan, apa yang kita inginkan, pada akhirnya tak mampu kita capai. Sebab memang demikianlah hidup. Kita belajar dan terus menerus harus belajar untuk hidup menghadapi kenyataan yang ada. Tanpa kecuali....."

Bapak itu memandang kami sambil tersenyum. Wajahnya tenang dengan sedikit kerut pada dahinya. Matanya tajam, bibirnya melengkung tipis, segala yang kami lihat menampakkan keramahan dan kesabaran yang tanpa batas. Dan tiba-tiba kurasakan betapa waktu yang lampau dan waktu yang akan datang menyatu di saat ini. Sekarang. Tulus. Tanpa kepura-puraan. Dalam dunia kehidupan kita, dimana seringkali kita terpaksa harus memakai topeng untuk memagari perasaan kita, berapa banyakkah dari kita yang bisa jujur terhadap diri kita sendiri? Terhadap kehidupan kita sendiri? Dalam lingkungan yang mengelilingi kita, berapa banyakkah di antara kita yang tidak terpaksa harus hidup bersama kenyataan yang sesungguhnya tidak kita senangi? Lingkungan yang membuat hati nurani dan perasaan kita tidak menjeritkan luka?

Terkadang aku berpikir bahwa kepolosan dan kejujuran di masa sekarang ini hanya akan menimbulkan masalah. Kebenaran yang kita ungkapkan dengan terbuka, bisa dan akan menyebabkan luka dalam masyarakat yang kita sebut modern ini. Kita ingin, tetapi bisakah? Kita mau, tetapi dapatkah? Pada akhirnya memang, kita harus menyadari kenyataan. Kita kadang harus bermuka dua. Kita terpaksa harus menampilkan pikiran dan perkataan yang tidak jujur, terutama perasaan tidak jujur dalam nurani kita sendiri. Dan begitulah, hidup memang harus dilalui dengan dan bersama kehidupan lain. Kita tidak sendirian. Kita harus bersama-sama menjalani kehidupan ini dengan beraneka ragam pikiran dan perbuatan yang sering bertentangan satu sama lain. Kita harus realistis.

Dengan senyumnya yang tenang dan polos, dia berkata: "Hidup ini harus dijalani tidak dalam keadaan terpaksa. Hidup ini harus dijalani dengan satu kesadaran penuh, bahwa apa yang kita anggap baik bagi kita, belum tentu baik bagi sesama. Dan pilihan untuk bersikap itulah yang akan menentukan kebahagiaan kita. Dalam hal ini, kekerasan hati sama sekali tidak berguna. Sebab kita tak mungkin mencapai keinginan dan harapan kita dengan menyingkirkan semua orang yang tidak setuju dengan kita. Dan bukankah sudah hak setiap orang untuk mewujudkan impian dan keinginan mereka? Impian dan keinginan yang mungkin bertentangan dengan impian dan keinginan kita sendiri. Dan jika itu yang terjadi, dan pasti akan terjadi, siapakah yang bisa memastikan kebenarannya? Siapa?"

Kebijaksanaan itu seperti sungai yang mengalir. Sungai mengalir menuju muara, suatu aliran besar dan panjang, suatu kepastian menuju lautan keabadian. Tetapi dalam perjalanan menuju tujuannya, air yang mengalir amatlah fleksibel. Dia mungkin akan menghadapi dengan gigih segala rintangan yang menghadang, tetapi dengan mudah pula dia akan berbelok dan mengubah arah jika ternyata kekuatan yang menghadang itu terlalu kuat untuk ditaklukkan. Tidak, tak selamanya kegagalan itu merupakan bencana. Tak selamanya ketak-berhasilan itu merupakan ketak-beruntungan kita. Sebab, walau kita semua menghadapi kenyataan yang sama. Walau kita semua menghadapi kehidupan yang sama. Namun, kenyataan dalam hidup yang sama belum tentu selaras dalam pemikiran semua orang. Justru perbedaan itu adalah rahmat yang harus kita syukuri. Perbedaan itu membuat nuansa hidup menjadi indah dan bermakna. Jadi apa gunanya kita kecewa dan putus asa jika segala keinginan dan hasrat kita tak tercapai? Apa gunanya kita merasa sakit hati jika ambisi dan cita-cita kita tak tergapai? Apa gunanya?

Kita semua memiliki impian dan keinginan. Kita semua mempunyai hasrat, ambisi dan cita-cita. Tetapi seberapa banyakkah diantara kita yang bisa dan mampu mewujudkannya? Berapa banyakkah dari kita yang tidak pernah merasa kecewa karena kegagalannya? Maka pada akhirnya, bukan impian, hasrat, ambisi dan cita-cita kita yang menentukan kebahagiaan kita. Tetapi bagaimana kita melakukan dan menikmati proses menuju ke tujuan bersama yang pasti akan kita tuju kelak. Kita semua satu dalam perbedaan. Kita semua satu menuju muara kehidupan. Maka nikmatilah hidupmu hari ini. Tanpa perasaan ragu. Tanpa perasaan khawatir. Tanpa perasaan terkucil. Kita semua adalah mahluk-mahluk sepi yang mencari kedamaiannya secara bersama-sama. Secara bersama-sama.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...