“Aku mengakui kelemahanku dalam
menghadapi nasib dan perjalanan hidupku. Tetapi aku sudah tidak akan
tahan bila ada orang mau menambah beban kepadaku dengan marah dan
memaki-maki. Lupakan aku, hinalah aku sesuka hatimu, tapi biarkan aku
bebas....” (Lorong Midaq – Naguib Mahfouz)
Ya, siapakah kita yang kadang berbuat
menjadi penuntut sekaligus hakim kepada mereka yang kita anggap
bersalah? Seberapa bersihkah kita sehingga kita senang mempermalukan
kekotoran orang lain yang kita sangka sangat menjijikkan bagi kita?
Seberapa jujurkah kita terhadap diri sendiri saat kita menghina
mereka yang berbeda dari diri kita? Seberapa dalamkah kita mengenal
kehidupan orang-orang yang kita permalukan, bahkan ingin kita hukum
mati karena sesuatu yang dilakukan atau dipikirkannya? Sadarkah kita
sendiri saat kita merasa benar dan yakin pada kebenaran kita?
Betapa dunia sering nampak demikian
suram di mata mereka yang menganggap dirinya sempurna. Dunia sering
hanya kelihatan hitam dan putih di mata mereka yang mengira bahwa
hanya ada kebenaran dan kesalahan tanpa kemungkinan lain dalam setiap
pengalaman hidup masing-masing. Dan walau menyedihkan, tetap banyak
orang yang merasa dirinya putih bersih dan yang lain, yang berbeda
dengannya, hitam kelam. Sosok-sosok yang bagaikan hanya daging yang
hidup tanpa perasaan sama sekali. Tetapi, sungguh, itu tidaklah
manusiawi adanya. Mereka yang mengakui memiliki kepastian dalam
hidupnya tanpa kemungkinan lain sesungguhnya hidup dalam dunia mimpi.
Sebab dunia nyata tidaklah demikian adanya. Tidak demikian.
“Barangsiapa
di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan
batu kepada perempuan itu” kata Yesus kepada para ahli Taurat
dan orang-orang Farisi yang membawa seorang perempuan yang tertangkap
basah berbuat zinah. Dan ternyata, tidak seorang pun yang merasa
tanpa dosa. Tentu saja. Memang jauh lebih mudah melihat kesalahan
orang lain daripada menyadari kelemahan diri sendiri. Dan dalam
kejadian yang ditulis oleh Yohanes itu, mengapa hanya perempuan yang
dibawa kepada Yesus? Mengapa hanya perempuan itu yang dikurbankan,
sedangkan perbuatan zinah itu tak mungkin dilakukan tanpa kehadiran
laki-laki? Siapakah laki-laki itu? Keadilan apakah yang akan
ditegakkan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi jika dalam
kejadian itu pun mereka ternyata telah berlaku tidak adil? Telah
berpihak? Dan apakah yang mereka ketahui tentang latar belakang
perbuatan itu?
Terkadang sebuah kejadian terjadi bukan
hanya kesalahan seseorang. Bisa saja kesalahan terpaksa dilakukan
karena situasi dan kondisi yang justru dibuat oleh mereka yang merasa
dirinya benar dan bersih. Jika demikian, siapakah yang patut
dipersalahkan? Mengapa mansuia cenderung mengadili dan menghukum
seseorang hanya dari penampakan luarnya saja? Hitam. Putih. Ah, dunia
tidak sesederhana begitu. Sungguh ada banyak warna lain yang justru
membuat hidup ini indah. Dan tanpa warna-warna itu, kita semua hanya
menjadi kawan dan lawan. Tanpa sesama. Jika demikian, untuk apakah
Tuhan menciptakan semua ini? Untuk apa?
Maka janganlah hidup hanya dengan
anggapan kita saja. Janganlah mencela, menuduh bahkan sampai ingin
mengadili dan menghukum seseorang hanya karena anggapan kita bahwa
kebenaran hanya milik kita saja. Sesungguhnya tak seorang manusia pun
yang dapat mengatakan dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran.
Tidak. Kita semua hanya dapat hidup dengan dan bersama kebenaran kita
masing-masing tanpa kekuasaan untuk memaksakan kebenaran kita kepada
orang lain. Siapa pun mereka. Dan pada akhirnya, kita akan bertemu
dengan kebenaran yang mutlak pada waktunya kelak. Di saat itulah,
kita baru menyadari kebenaran dan kesalahan kita masing-masing. Di
hadapan pemilik tunggal kebenaran sejati. Sang Pencipta kita.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar