“Beratus-ratus dan beratus-ratus juta
orang pengeluh telah meninggal.Siapa yang masih mengenal mereka? Dan
berapa banyak lagikah yang akan meninggal setelah mereka?” (De
Uitvreter – Nescio)
Menjelang senja. Jalanan mulai ramai.
Mereka yang pulang setelah kegiatan sepanjang hari. Demi menghidupi
diri. Demi menghidupi keluarga. Dan langit perlahan membawa warna
jingga keemasan sebelum gelap tiba. Gelap yang tidak selalu kelam.
Gelap yang mungkin bermakna istirahat dan kesempatan untuk memikirkan
apa yang telah terjadi seharian. Dan harapan untuk hari esok yang
akan datang. Mungkin ada rasa sesal atas kesempatan yang terlepas.
Mungkin pula ada rasa gembira karena rencana yang telah terlaksana.
Tetapi bagaimana pun, kesadaran atas hal itu membuat kita hidup.
Membuat kita merasa ada. Dan menikmati keadaan saat ini. Sekarang.
Demikianlah kita sering merenungi
kehidupan ini. Kita sering menyesali atau mensyukuri atas apa yang
telah terjadi. Sesuatu yang tidak sesuai atau sesuai dengan harapan
kita. Tetapi waktu berlanjut terus. Dan kita tak mungkin
menghentikannya. Kita mustahil untuk mengatakan, cukuplah sudah semua
ini lalu menghentikan langkah kehidupan kita. Tidak, tentu saja. Apa
yang telah terjadi tetaplah terjadi. Dan apa yang akan terjadi,
biarlah berjalan demikian. Setiap perencanaan kita pada akhirnya kita
serahkan pada kemungkinan-kemungkinan yang sering tak mudah kita
perkirakan. Dan hidup memang demikian adanya.
Maka siapa pun yang selalu mengeluh
tentang kehidupan ini, selayaknya menyadari bahwa memang selalu ada
harapan yang tak bisa diwujudkan. Selalu ada rencana yang gagal
dijalankan. Tetapi walau demikian, hidup semestinya tetap mengandung
keindahan bahkan dalam situasi apapun yang sedang kita alami. Gelap
tidak selalu kelam. Bahkan jauh lebih sering gelap tiba bersama
harapan bahwa kita dapat berhenti sejenak dari segala kesibukan diri
dan mengistirahatkan tubuh yang penat setelah perjuangan mencari
hidup. Setelah kerja keras memperpanjang usia. Dan seperti itulah
kita adanya. Selalu. Hingga akhir tiba.
Maka setiap senja tiba, sama dengan
setiap pagi datang, orang-orang bergerak tetapi seringkali dengan
arah yang berlawanan. Pergi dan pulang. Berkarya dan beristirahat.
Dan mendadak aku menyadari bahwa, walau setiap hari nampak seakan
sama saja, nampak seakan tidak ada yang berubah, bahkan mungkin
sering terasa membosankan, ternyata semuanya tetap kita jalani karena
kita tidak hanya terpaku di tempat yang sama. Tidak, kita semua
bergerak dan dalam pergerakan itulah kita hidup dan menikmati
kehidupan ini. Maka sungguh bukan tujuan yang utama, walau tetap
penting, tetapi justru dalam perjalanan menuju tujuan itulah, proses
mengarah pergi dan balik, kita semua menikmati hidup ini. Karena
menyadari bahwa di satu ketika nanti, kita dapat menemukan istirahat
kita yang abadi. Dan selama kita ada disini, proses pengalaman kita
dapat mengajarkan kita banyak hal yang tak terduga. Dan tak
terhindari.
Sungguh, sesal dan syukur adalah dua
hal yang tak mungkin kita elakkan. Tetapi kita tak perlu mengeluh
karenanya. Kita nikmati saja apa adanya setiap lintasan waktu yang
kita miliki. Dan ketika malam tiba, kita tak perlu menangisi
kekelamannya, tetapi mensyukuri bahwa besok hari baru akan datang.
Dan matahari akan bersinar kembali. Setiap momen kehidupan, baik atau
buruk, adalah bagaikan proses kita datang dan pergi dengan saat-saat
dimana malam menjadi satu saat untuk merenungi segala yang telah
terjadi demi perubahan dan perbaikan di hari esok. Dan di ujung
perjalanan itu, di ujung saat hari-hari kita akan lenyap, kita
sanggup untuk secara pantas berbisik: “Aku sungguh telah menikmati
hidupku secara layak dan tidak menyia-nyiakannya dengan mengeluh dan
mengeluh saja.....”.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar