Jumat Agung.
Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Sama tertunduk saat memperingati
momen sengsara dan wafat Yesus di salib. Kutatap wajah-wajah itu
sambil merenungkan betapa sengsara adalah milik semua orang. Milik
siapa saja. Dan jika Yesus sendiri mengalami sengsara itu, mengapa
kita harus luput darinya? Tidak. Sengsara tidak pernah khusus
milikku, tidak juga khusus milikmu atau hanya milik mereka. Dalam
hidup kita, selalu ada jejak-jejak duka derita yang kita alami setiap
saat. Setiap waktu. Kita tidaklah istimewa sendirian.
Demikianlah,
hidup yang kita jalani ini, kadang menyeret kita dalam sesal dan
kebencian. Dalam putus asa dan sakit hati. Seakan-akan kita dan hanya
kitalah sendiri yang dikhianati, kita dan hanya kitalah yang
diperlakukan tidak adil, dibohongi bahkan dilukai dan dihancurkan.
Mereka yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemilik duka
lara, tataplah pada wajah-wajah yang setiap saat nampak di sampingmu,
di depanmu, dimana pun berada dan sadarilah betapa banyaknya jejak
duka yang tampil di setiap kehidupan ini. Hidup kita tidaklah
istimewa. Hidup kita tidaklah berbeda satu sama lain. Sebab jika kita
percaya bahwa Yesus mengalami derita yang demikian pahit dan nyeri,
mengapa kita sendiri harus luput darinya? Bukankah itu tidak adil?
Jumat Agung.
Ribuan wajah dengan ribuan kisah hidup. Ribuan jejak yang telah
ditinggalkan dalam setiap kisah keberadaan seseorang. Dan kulihat
seorang ibu tua meneteskan air mata saat tiba saatnya dia bersujud
mengenang wafat-Nya. Apa yang dipikirkannya? Apa yang dikenangnya?
Jejak-jejak kehidupan apakah yang telah dilaluinya? Bukankah kita
yang pernah mengalami derita dapat juga memahami derita orang lain?
Dan jika kita mau jujur pada diri sendiri, kita dapat menyadari
betapa beratnya perjuangan menjalani hidup ini. Tidak ada perbedaan
di antara manusia, yang berpunya maupun yang tidak, setiap derita
punya ke-khas-annya masing-masing.
Siapakah kita
sehingga harus merasa istimewa dan khusus? Siapakah kita sehingga
patut merasa bahwa kita dan hanya kitalah pemilik kehidupan ini,
pemilik nestapa yang paling lara? Siapakah kita sehingga patut merasa
sebagai satu-satunya yang ditidak-adili dan disengsarakan? Siapakah
kita ini? Tidakkah setiap kehidupan yang terkandung di balik
wajah-wajah yang ada di sekitar kita punya jejak-jejak dukanya
sendiri? Punya jejak-jejak deritanya sendiri? Tetapi di saat lain,
bukankah mereka tetap dapat tersenyum lepas dan tertawa gembira?
Tidakkah kita juga demikian adanya? Mengapa kita takut dengan diri
sendiri? Mengapa kita gentar menjalani hidup ini? Tidakkah harapan
selalu ada, bahkan di saat terkelam sekali pun. Harapan selalu ada
dan pasti akan datang di saatnya nanti. Yang kita butuhkan hanya
percaya dan percaya bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan pasti ada
gunanya. Setiap derita yang kita alami pasti ada manfaatnya. Nestapa
saat ini adalah jalan salib yang harus kita jalani menuju titik
dimana tak ada yang lain selain dari cahaya kebangkitan kita. Maka
jangan takut. Jangan bimbang. Percayalah. Hidup kita ini, apapun
adanya, selalu akan meninggalkan jejak yang bermakna bagi kehidupan
semua insan. Kita tidak sendiri dan tidak akan pernah sendirian.
Jumat Agung.
Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Semua tertunduk mengenang sengsara
Yesus. Seorang ibu tua terisak-isak. Seorang bocah kecil menatap
dengan matanya yang besar pada salib lambang Kristus tergantung. Dan
di luar hujan turun deras. Hujan turun dengan deras. Sungguh,
kurasakan betapa kehidupan ini semua menyatu dalam jejak yang sama.
Setiap derita selalu mengandung harapan. Setiap kegelapan selalu
punya cahaya. Sebab tiga hari setelahnya, Paskah tiba. Dan Yesus
bangkit. Dan Yesus hidup. Bersama-Nya, kita semua dapat memastikan
bahwa tidak ada yang abadi selain dari kebenaran bahwa setiap derita
punya ujung. Bahwa setiap nestapa pasti akan usai. Langkah-langkah
duka kita sekarang kelak akan menjadi jejak yang indah dalam
kenangan. Itulah hidupku. Itulah hidupmu. Itulah hidup setiap orang.
Maka marilah meninggalkan jejak yang berguna, entah pahit entah
manis, agar menjadi teladan bagi siapa saja. Bagi dunia seluruhnya.
Seluruhnya.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar