Haruslah kita
akui, betapa hidup terkadang terasa demikian menakutkan. Masa depan
terasa begitu mengkhawatirkan. Dan harapan seakan telah sirna. Pada
saat itu, segala kata-kata penghiburan, nasehat dan pendapat dari
siapa saja terdengar demikian tak berarti. Sebab, kita berpikir,
bahwa bukan mereka, tetapi kitalah yang menjalani dan mengalami hidup
ini. Kita sendirian. Semua rasa ngeri, nyeri dan kepahitan ini adalah
milik kita semata. Bukan mereka. Kita adalah pusat segala-galanya.
Kita dan hanya kita saja.
Bagaimana orang lain dapat memahami apa
yang kita pahami? Bagaimana orang lain menyentuh apa yang kita alami?
Bagaimana orang lain tahu apa yang menjadi beban pikiran kita?
Bahkan, jika pun mereka tahu, toh hanya sebatas itulah yang dapat
mereka sadari. Tanpa mengalami langsung. Tanpa merasakan langsung.
Mereka bisa prihatin. Atau bahkan mungkin mencemooh ketidak-mampuan
kita. Tetapi siapakah mereka? Bukankah mereka, sedemikian dekat pun
dengan kita, bukanlah kita sendiri?
Demikianlah adanya kita, sebagaimana
manusia, ketika merenungkan sengsara Yesus dalam malam-malam yang
demikian muram menjelang penyiksaan dan penyaliban dan kematian-Nya.
Setiap peristiwa duka selalu menyimpan rahasia yang hanya dapat
diketahui dan dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri. Dan kita yang
menyaksikan hanya dapat merasa sedih, prihatin dan mungkin sedikit
gusar tetapi toh tetap ada jarak antara melihat dan mengalami. Selalu
ada jarak terentang yang tidak bisa kita lewati. Sebuah tembok tebal
dengan jendela kecil dimana kita menengok keluar dan hanya mampu
merasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Atau bahkan tanpa ingin berbuat
apa-apa.
“Inilah tubuh-Ku, makanlah. Inilah
darah-Ku, minumlah. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku”
tetapi barangkali disitulah soalnya. Bahkan ketika kita makan
tubuh-Nya dan minum darah-Nya, kita tetap bukanlah Dia yang secara
langsung mengalami peristiwa itu. Ada jarak. Ada batas antara
kata-kata dan kenyataan. Ada perbedaan antara sekedar tahu dan
mengalami. Maka seringkali kita hanya mampu untuk merasa marah karena
sebuah peristiwa tetapi ternyata gagal untuk memahami mengapa
peristiwa itu terjadi. Serta untuk apa penderitaan itu harus
terlaksana. Padahal itulah inti dari kehidupan Yesus. Itulah tujuan
dari segala derita sengsara dan kematian-Nya di kayu salib.
Maka sama seperti derita yang dialami
Yesus, kita pun sering mengalami situasi dan kondisi yang demikian
menakutkan. Demikian menyakitkan. Demikian tak berpengharapan.
Demikian sepi sendirian dan tak berdaya. Sebuah kenyataan yang
sesungguhnya pasti pernah dialami oleh seorang manusia yang hidup di
dunia ini. Tak seorang pun dapat luput dari kesakitan, kepahitan dan
kesendiriannya. Tak seorang pun. Tetapi, nyata juga bahwa bagaimana
sikap kita dalam menghadapi dan menerima sengsara itulah yang akan
menentukan kualitas kemanusiaan kita. Sikap kita dalam menjalani
hidup yang penuh suka duka inilah yang dapat membuat kita bermakna.
Dan sesungguhnya, kemampuan untuk menempuh duka dan sengsara hingga
tuntas itulah yang kelak akan menghasilkan buah-buah kemuliaan dengan
kebangkitan. Itulah yang diberikan Kristus kepada kita semua. Itulah
teladan yang paling utama yang telah dijalani-Nya sebagai jalan bagi
kita yang mencintai-Nya.
Penderitaan yang kita alami, sengsara
yang kita jalani, kesepian karena ditinggalkan yang kita rasakan,
jangan membuat kita putus asa. Dan jangan pula membuat kita
mempersalahkan dunia. Tidak! Tidak ada yang salah dengan ciptaan
Tuhan. Sebab percayalah, hidup akan berjalan dengan menakjubkan jika
kita mampu untuk bertahan dan berani untuk berkurban demi dunia ini.
Sebab itulah yang telah diberikan-Nya kepada kita semua. “Inilah
tubuh-Ku, makanlah. Inilah darah-Ku, minumlah.” Bukankah kita kini
menyatu-diri dengan Tuhan sendiri? Jadi mengapa kita khawatir dan
takut menghadapi hidup kita? Mengapa kita harus merasa sedih dan
putus asa menerima kenyataan pahit dalam hidup kita? Mengapa?
Percayalah dan jangan takut. Karena
keyakinan dan keberanian menghadapi dan menerima hidup inilah yang
kelak akan membangkitkan kita dalam kemuliaan bersama-Nya. Karena
kebaikan dan kebenaran yang kita jalani dengan tabah dan penuh
semangat inilah yang kelak akan membuahkan hasil yang manis dan penuh
berkat. Bersyukurlah pada penderitaan, bukan hanya pada kesenangan.
Sebab kesenangan hasilnya telah kita terima saat ini saja, tetapi
derita akan kita terima hasilnya pada saat kita bangkit mulia
bersama-Nya kelak. Dan itulah buah yang termanis dalam kehidupan
kita. Itulah buah yang paling murni dari kebahagiaan kita semua. Kita
semua.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar