04 Maret 2013

INILAH TUBUHKU. INILAH DARAHKU.


Haruslah kita akui, betapa hidup terkadang terasa demikian menakutkan. Masa depan terasa begitu mengkhawatirkan. Dan harapan seakan telah sirna. Pada saat itu, segala kata-kata penghiburan, nasehat dan pendapat dari siapa saja terdengar demikian tak berarti. Sebab, kita berpikir, bahwa bukan mereka, tetapi kitalah yang menjalani dan mengalami hidup ini. Kita sendirian. Semua rasa ngeri, nyeri dan kepahitan ini adalah milik kita semata. Bukan mereka. Kita adalah pusat segala-galanya. Kita dan hanya kita saja.

Bagaimana orang lain dapat memahami apa yang kita pahami? Bagaimana orang lain menyentuh apa yang kita alami? Bagaimana orang lain tahu apa yang menjadi beban pikiran kita? Bahkan, jika pun mereka tahu, toh hanya sebatas itulah yang dapat mereka sadari. Tanpa mengalami langsung. Tanpa merasakan langsung. Mereka bisa prihatin. Atau bahkan mungkin mencemooh ketidak-mampuan kita. Tetapi siapakah mereka? Bukankah mereka, sedemikian dekat pun dengan kita, bukanlah kita sendiri?

Demikianlah adanya kita, sebagaimana manusia, ketika merenungkan sengsara Yesus dalam malam-malam yang demikian muram menjelang penyiksaan dan penyaliban dan kematian-Nya. Setiap peristiwa duka selalu menyimpan rahasia yang hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri. Dan kita yang menyaksikan hanya dapat merasa sedih, prihatin dan mungkin sedikit gusar tetapi toh tetap ada jarak antara melihat dan mengalami. Selalu ada jarak terentang yang tidak bisa kita lewati. Sebuah tembok tebal dengan jendela kecil dimana kita menengok keluar dan hanya mampu merasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Atau bahkan tanpa ingin berbuat apa-apa.

“Inilah tubuh-Ku, makanlah. Inilah darah-Ku, minumlah. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku” tetapi barangkali disitulah soalnya. Bahkan ketika kita makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, kita tetap bukanlah Dia yang secara langsung mengalami peristiwa itu. Ada jarak. Ada batas antara kata-kata dan kenyataan. Ada perbedaan antara sekedar tahu dan mengalami. Maka seringkali kita hanya mampu untuk merasa marah karena sebuah peristiwa tetapi ternyata gagal untuk memahami mengapa peristiwa itu terjadi. Serta untuk apa penderitaan itu harus terlaksana. Padahal itulah inti dari kehidupan Yesus. Itulah tujuan dari segala derita sengsara dan kematian-Nya di kayu salib.

Maka sama seperti derita yang dialami Yesus, kita pun sering mengalami situasi dan kondisi yang demikian menakutkan. Demikian menyakitkan. Demikian tak berpengharapan. Demikian sepi sendirian dan tak berdaya. Sebuah kenyataan yang sesungguhnya pasti pernah dialami oleh seorang manusia yang hidup di dunia ini. Tak seorang pun dapat luput dari kesakitan, kepahitan dan kesendiriannya. Tak seorang pun. Tetapi, nyata juga bahwa bagaimana sikap kita dalam menghadapi dan menerima sengsara itulah yang akan menentukan kualitas kemanusiaan kita. Sikap kita dalam menjalani hidup yang penuh suka duka inilah yang dapat membuat kita bermakna. Dan sesungguhnya, kemampuan untuk menempuh duka dan sengsara hingga tuntas itulah yang kelak akan menghasilkan buah-buah kemuliaan dengan kebangkitan. Itulah yang diberikan Kristus kepada kita semua. Itulah teladan yang paling utama yang telah dijalani-Nya sebagai jalan bagi kita yang mencintai-Nya.

Penderitaan yang kita alami, sengsara yang kita jalani, kesepian karena ditinggalkan yang kita rasakan, jangan membuat kita putus asa. Dan jangan pula membuat kita mempersalahkan dunia. Tidak! Tidak ada yang salah dengan ciptaan Tuhan. Sebab percayalah, hidup akan berjalan dengan menakjubkan jika kita mampu untuk bertahan dan berani untuk berkurban demi dunia ini. Sebab itulah yang telah diberikan-Nya kepada kita semua. “Inilah tubuh-Ku, makanlah. Inilah darah-Ku, minumlah.” Bukankah kita kini menyatu-diri dengan Tuhan sendiri? Jadi mengapa kita khawatir dan takut menghadapi hidup kita? Mengapa kita harus merasa sedih dan putus asa menerima kenyataan pahit dalam hidup kita? Mengapa?

Percayalah dan jangan takut. Karena keyakinan dan keberanian menghadapi dan menerima hidup inilah yang kelak akan membangkitkan kita dalam kemuliaan bersama-Nya. Karena kebaikan dan kebenaran yang kita jalani dengan tabah dan penuh semangat inilah yang kelak akan membuahkan hasil yang manis dan penuh berkat. Bersyukurlah pada penderitaan, bukan hanya pada kesenangan. Sebab kesenangan hasilnya telah kita terima saat ini saja, tetapi derita akan kita terima hasilnya pada saat kita bangkit mulia bersama-Nya kelak. Dan itulah buah yang termanis dalam kehidupan kita. Itulah buah yang paling murni dari kebahagiaan kita semua. Kita semua.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...