Inilah negara
yang para pejabatnya mempunyai ribuan alasan atas ketidak-mampuan dan
kegagalan pada tugas dan kewajibannya. Inilah negara yang kehilangan
rasa tanggung-jawab atas kekuasaan yang dimilikinya. Dan dengan dalih
berbagai alasan itulah, kekacauan nampak seakan-akan hanya sebuah
proses penundaan. Dan korupsi seakan-akan hanya sekedar kelalaian
belaka. Kekerasan pun seakan-akan hanya tindakan yang tidak disengaja
atau tidak direncanakan. Alasan menjadi dalih untuk lari dan lepas
tangan dari ketidak-mampuan menguasai persoalan yang wajib dihadapi.
Entah mengapa, kita tidak khawatir
dengan keadaan ini. Entah mengapa, kita dengan enteng merasa tidak
perlu peduli dengan kondisi tersebut. Walau jelas, selalu ada yang
dikurbankan atas setiap kegagalan yang terjadi, kita tetap merasa
berhasil dan sukses serta menafikan segala kekisruhan dan korban yang
diakibatkannya. Pantaskah itu semua menjadi satu kebiasaan? Bagaimana
kita dapat memperbaiki diri jika kita menolak menerima kenyataan yang
ada? Dan selalu bersembunyi di balik alasan kesalahan tehnis yang
seharusnya dapat kita atasi jika saja sejak awal, sebelum kekacauan
terjadi, kita dapat mengetahuinya? Dan layakkah kita saling
menyalahkan, saling mencari kambing hitam atas segala kejadian yang
seharusnya dapat dicegah jika kita mau berusaha dan tidak asal
menerima laporan dari balik meja saja?
Berhentilah untuk mencari-cari alasan
pembenaran diri. Berhentilah untuk saling melempar tanggung-jawab dan
saling menyalahkan atas kegagalan kita sendiri. Memang, tak ada yang
sempurna di dunia yang tidak sempurna ini. Tetapi juga, semua
ketidak-sempurnaan dapat ditekan se-minimal mungkin jika kita mau
berusaha sedikit lebih keras. Jika kita memahami tugas dan pekerjaan
kita. Jika kita mau belajar dan mau memikirkan suara-suara lain
selain dari pikiran kita saja. Sebab kita tidak sendirian hidup.
Sebab setiap perbuatan dan keputusan kita selalu akan punya dampak
terhadap banyak orang, maka seharusnya pula kita mau dan harus
menerima dan memikirkan pendapat dan saran lain yang berbeda dengan
pemikiran kita. Dengan demikian, kita baru punya alasan jika nantinya
kita gagal menyempurnakan apa yang harus kita lakukan. Kekerasan hati
memang bukan obat yang manjur apalagi bersembunyi dibalik ribuan
alasan serta melempar tanggung-jawab kepada mereka yang tidak punya
kekuasaan untuk itu.
Tetapi demikianlah yang terjadi. Kita
tetap kukuh pada pemikiran kita, entah karena memang kita merasa
pemikiran kita itu untuk kepentingan umum ataukah karena sebab-sebab
lain yang hanya kita sendiri yang ketahui, dan menolak pandangan
orang lain tetapi kemudian mengurbankan ribuan orang tanpa merasa
bersalah sedikitpun. Tanpa rasa salah sedikitpun. Kita merasa
kegagalan kita hanyalah akibat kegagalan orang lain. Kita bahkan
mungkin merasa menjadi kurban atas nasib banyak orang tanpa menyadari
bahwa sesungguhnya kitalah yang punya kekuasaan dan kemampuan untuk
menghindarkan sesama kita dari kekacauan itu. Kita dengan enteng
bersembunyi di belakang ribuan alasan tanpa mau tahu betapa telah
terjadi kerusakan moral dan keterlambatan waktu akibat kegagalan kita
sendiri. Pantaskah itu?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar