01 April 2013

BEDA TAPI SATU


Usiaku saat ini 53 tahun. Jika mengenang kembali masa lampau, saat masih sekolah, artinya di sekitaran tahun 60 - 70 - 80-an, terasalah betapa bedanya suasana dan situasi dengan saat ini. Dulu, dalam pergaulan, baik dengan tetangga maupun teman-teman sekolah, SD – SMP – SMA, tak pernah terpikirkan apa suku mereka, apa ras mereka atau apa agama mereka. Kami semua bersahabat seperti lazimnya seorang anak dengan anak lain, seorang remaja dengan remaja lain tanpa embel-embel apa agama atau apa keyakinannya atau siapa mereka. Hidup mengalir apa adanya. Sederhana dan akrab. Demikianlah yang nampak juga dalam setiap reuni, saat mengenang kembali masa-masa lalu. Kami semua satu walaupun berbeda dalam banyak hal.

Tetapi apa yang nampak dalam kenyataan sekarang sangatlah berbeda. Mungkin itu memang akibat perkembangan zaman. Namun aku merasa, entah mengapa, saat ini semakin merasa dekat seseorang dengan agamanya semakin lebar pula jurang antara perbuatan hidupnya dengan perintah Tuhan sendiri. Pergaulan hanya berkembang dalam lingkup sempit, seakan-akan yang dinamakan sesama hanya mereka yang sama dengan kita. Dan setiap kita memuliakan iman kita, tersembunyi di baliknya mereka yang berlainan iman dengan kita. Hidup tiba-tiba menjadi pelik dan setiap saat kita harus menjaga jarak, menjaga diri, agar tidak saling menyinggung. Agar tidak saling mengusik. Dan demikianlah nampaknya, kepekaan demikian tinggi sehingga ada yang merasa lebih baik menghindar dari persahabatan dengan mereka yang lain agar tidak terganggu. Dan tidak mengganggu. Tetapi wajarkah itu?

Tidak bisakah hidup berjalan sebagaimana mestinya? Dan persahabatan tidak memandang seseorang dari sudut pandang yang lain kecuali bahwa dia seorang manusia? Sesama kita? Mengapa dulu bisa dan sekarang tidak bisa? Apa yang salah dalam perubahan pandangan itu? Apa yang salah dalam pola pikir sekarang? Mengapa hidup harus disekat-sekat dalam siapa dia, apa sukunya, apa agamanya, apa partainya, apa rasnya dan sekat-sekat lain yang membuat hidup menjadi lebih terbatas? Padahal, bukankah sesungguhnya kita semua sama mendiami bumi yang satu? Lalu mengapa kita harus mempersulit hidup ini dengan keinginan untuk hidup dalam kotak-kotak sempit keyakinan dan kepentingan kita sendiri? Tidakkah lebih indah jika kita memandang alam semesta yang luas ini dengan perasaan lega dan bebas tanpa tembok-tembok penghalang? Tanpa sekat-sekat penutup diri?

Aku tidak tahu mengapa itu harus terjadi sekarang. Aku tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa kita lebih mempersulit hidup daripada mempermudahnya di jaman ketika tehnologi seakan-akan diciptakan demi kemudahan hidup itu sendiri. Sesungguhnya hidup itu tidaklah sulit. Kitalah yang menciptakan kesulitan itu. Kita, dengan pikiran dan perasaan kita, dengan segala praduga dan hasrat kita, dengan kepentingan diri kitalah yang seharusnya dapat merenungkan mengapa kita harus mempersulit hidup ini. Melakukan sesuatu memang jauh lebih mudah daripada merenungkan secara mendalam semua kenyataan yang telah kita lakukan itu. Tetapi, tetap selalu ada pertanyaan yang harus kita sadari dan bukan hanya pernyataan yang harus kita sampaikan. Kita harus berani merenungkan semua masalah itu agar dapat menyadari betapa sendirinya kita sebagai manusia. Ya, betapa sendirinya kita di dunia ini. Sendiri dan sepi. Tetapi kita tidak sendirian. Dalam kehidupan ini, kita berbeda tetapi satu.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...