Usiaku
saat ini 53 tahun. Jika mengenang kembali masa lampau, saat masih
sekolah, artinya di sekitaran tahun 60 - 70 - 80-an, terasalah betapa
bedanya suasana dan situasi dengan saat ini. Dulu, dalam pergaulan,
baik dengan tetangga maupun teman-teman sekolah, SD – SMP – SMA,
tak pernah terpikirkan apa suku mereka, apa ras mereka atau apa agama
mereka. Kami semua bersahabat seperti lazimnya seorang anak dengan
anak lain, seorang remaja dengan remaja lain tanpa embel-embel apa
agama atau apa keyakinannya atau siapa mereka. Hidup mengalir apa
adanya. Sederhana dan akrab. Demikianlah yang nampak juga dalam
setiap reuni, saat mengenang kembali masa-masa lalu. Kami semua satu
walaupun berbeda dalam banyak hal.
Tetapi apa
yang nampak dalam kenyataan sekarang sangatlah berbeda. Mungkin itu
memang akibat perkembangan zaman. Namun aku merasa, entah mengapa,
saat ini semakin merasa dekat seseorang dengan agamanya semakin lebar
pula jurang antara perbuatan hidupnya dengan perintah Tuhan sendiri.
Pergaulan hanya berkembang dalam lingkup sempit, seakan-akan yang
dinamakan sesama hanya mereka yang sama dengan kita. Dan setiap kita
memuliakan iman kita, tersembunyi di baliknya mereka yang berlainan
iman dengan kita. Hidup tiba-tiba menjadi pelik dan setiap saat kita
harus menjaga jarak, menjaga diri, agar tidak saling menyinggung.
Agar tidak saling mengusik. Dan demikianlah nampaknya, kepekaan
demikian tinggi sehingga ada yang merasa lebih baik menghindar dari
persahabatan dengan mereka yang lain agar tidak terganggu. Dan tidak
mengganggu. Tetapi wajarkah itu?
Tidak bisakah
hidup berjalan sebagaimana mestinya? Dan persahabatan tidak memandang
seseorang dari sudut pandang yang lain kecuali bahwa dia seorang
manusia? Sesama kita? Mengapa dulu bisa dan sekarang tidak bisa? Apa
yang salah dalam perubahan pandangan itu? Apa yang salah dalam pola
pikir sekarang? Mengapa hidup harus disekat-sekat dalam siapa dia,
apa sukunya, apa agamanya, apa partainya, apa rasnya dan sekat-sekat
lain yang membuat hidup menjadi lebih terbatas? Padahal, bukankah
sesungguhnya kita semua sama mendiami bumi yang satu? Lalu mengapa
kita harus mempersulit hidup ini dengan keinginan untuk hidup dalam
kotak-kotak sempit keyakinan dan kepentingan kita sendiri? Tidakkah
lebih indah jika kita memandang alam semesta yang luas ini dengan
perasaan lega dan bebas tanpa tembok-tembok penghalang? Tanpa
sekat-sekat penutup diri?
Aku tidak
tahu mengapa itu harus terjadi sekarang. Aku tidak mengerti mengapa
dan bagaimana bisa kita lebih mempersulit hidup daripada
mempermudahnya di jaman ketika tehnologi seakan-akan diciptakan demi
kemudahan hidup itu sendiri. Sesungguhnya hidup itu tidaklah sulit.
Kitalah yang menciptakan kesulitan itu. Kita, dengan pikiran dan
perasaan kita, dengan segala praduga dan hasrat kita, dengan
kepentingan diri kitalah yang seharusnya dapat merenungkan mengapa
kita harus mempersulit hidup ini. Melakukan sesuatu memang jauh lebih
mudah daripada merenungkan secara mendalam semua kenyataan yang telah
kita lakukan itu. Tetapi, tetap selalu ada pertanyaan yang harus kita
sadari dan bukan hanya pernyataan yang harus kita sampaikan. Kita
harus berani merenungkan semua masalah itu agar dapat menyadari
betapa sendirinya kita sebagai manusia. Ya, betapa sendirinya kita di
dunia ini. Sendiri dan sepi. Tetapi kita tidak sendirian. Dalam
kehidupan ini, kita berbeda tetapi satu.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar