Wanita
itu berdiri sambil memegang pagar kapal. Matanya menatap ke gelombang
laut yang mengalun tenang. Sementara langit nampak cerah dan sedikit
berawan. Kapal melaju dengan cepat dan di sekeliling hanya nampak
laut membiru seakan tanpa ujung. Seakan tanpa akhir. Ada keheningan
yang menenangkan hati. Angin berhembus dengan kencang menerpa wajah
dan beberapa orang lainnya sedang berkumpul di atas dek sambil
mengobrol entah apa. Sungguh, waktu di atas kapal sering terasa
berjalan dengan lambat. Amat lambat.
Sebuah
pelayaran kadang menjadi kesempatan untuk merenungi hidup yang telah
kita lintasi. Dan merasakan betapa semua yang telah terjadi
berlangsung bagai gelombang, naik turun, tetapi tetap melaju ke
depan. Dan lihatlah pada wajah-wajah yang ada di sekeliling kita.
Wajah yang asing tetapi juga akrab. Asing karena kita mungkin belum
pernah mengenali mereka. Akrab karena di atas kapal ini, kita sadar
bahwa kita menyatu nasib dalam melewati perjalanan yang sama. Seiring
dan sejalan. Sementara gelombang membawa lamunan kita jauh dari
tempat kita berada sekarang, secara fisik kita selalu bersama.
Wanita itu
menatap lurus ke depan. Entah apa yang ditatapnya. Pada laut biru
yang seakan tanpa bataskah? Pada langit biru yang seakan tanpa
ujungkah? Ataukah dia sesungguhnya tidak menatap apa-apa karena
lamunannya telah melayang jauh ke sudut-sudut bumi yang tak kita
kenali? Entah. Sama seperti pikiran kita masing-masing terasing jauh
satu sama lain walau secara fisik kita saling berdekatan,
sesungguhnya selalu ada kabut tebal yang membentengi setiap insan.
Kabut yang mungkin tak tembus pandang. Sebab kita hidup dalam
kesadaran kita masing-masing. Sebab kita mempunyai pemikiran atas
pengalaman yang berbeda. Tetapi di geladak kapal ini, menemukan bahwa
ada yang terasa akrab. Ada yang terasa demikian menyentuh kalbu.
Betapa
terbatasnya kita. Baik dalam waktu maupun dalam tempat. Betapa
kecilnya area yang kita butuhkan untuk hidup dan berkembang. Tetapi
dilain sisi, betapa luasnya angan dan pemikiran kita yang sanggup
melayang jauh ke sudut-sudut yang bahkan tidak kita kenali sebelumnya
tetapi ingin kita datangi. Kebahagiaan dalam lamunan adalah, tak ada
batas yang membentengi kita. Dan kita hanya perlu merasakan dan
melarutkan diri dalam gelombang yang bergerak. Terus bergerak seakan
tanpa akhir. Begitu pula kita yang menyadari betapa keterbatasan
waktu dan ruang samasekali tidaklah menghambat perjalanan imajinasi
kita sendiri. Dalam pikiran, ruang dan waktu hanya sekedar sesuatu
yang seakan tak terasakan. Cukup dialami.
Wanita itu.
Diri ini. Kami. Kita. Semua memiliki sisi-sisi yang tak tertebak.
Semua ada dalam satu kapal yang sama tetapi tidak dalam satu pikiran
yang sama. Semua menikmati alun gelombang yang sama tetapi tidak akan
sama dalam memahami makna gelombang itu. Kita ada dan kita bersama
dengan pikiran masing-masing yang setiap saat mencari diri kita
sendiri. Dekat tetapi jauh. Akrab tetapi juga asing. Dan gelombang
terus membawa kapal ini melaju ke depan. Meninggalkan buih-buih putih
di belakang kami semua. Dan jauh, jauh di depan, hamparan horison
langit bersua dengan laut. Tak berbatas. Menyatu. Membaur.
Pada akhirnya
kita semua memiliki satu tujuan. Dan menyadari bahwa pada akhirnya
semua manusia akan menuju ke batas yang sama. Saat itu, entah kapan,
kita masing-masing akan menyadari betapa kita ini hanya insan-insan
yang sebelumnya mencari lalu akan menemukan suatu kebenaran sejati.
Sebuah kebenaran sejati bahwa nasib kita pasti akan saling bertaut di
pelabuhan yang sama. Saat kapal yang membawa kita sekarang telah
membuang sauhnya. Saat sebuah daratan telah muncul dari balik
cakrawala yang tadinya nampak seakan tak punya batas. Semuanya
ternyata memiliki batas. Semuanya memiliki waktunya. Semuanya akan
tiba di pelabuhan yang sama. Dan kulihat wanita itu mengibaskan
rambutnya. Dia, entah mengapa, lalu tertawa sendiri. Kapal terus
melaju. Waktu terus berjalan. Dan kita semua berdiam diri.....
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar