Ketika yang
bersalah dapat bersembunyi di balik rasa keengganan sebuah institusi
untuk menyibak boroknya, maka hukum bukan hanya menjadi tumpul tetapi
telah mati. Ketika sebuah institusi, demi kepentingannya sendiri,
menyembunyikan kebobrokan yang terjadi karena oknum-nya sendiri, maka
secara nyata, institusi itu telah membunuh kebenaran dengan berlaku
tidak adil dan tidak jujur kepada masyarakat. Maka keteladanan pun
hilang. Dan setiap orang dapat menganggap dirinya berdiri di atas
bangkai hukum itu sambil menyuarakan kepentingannya yang tidak lain
hanya penghindaran dari rasa malu dan enggan mengakui kesalahan.
Sekaligus enggan untuk bertanggung-jawab atas setiap perbuatan yang
telah merobek dirinya sendiri.
Sadarkah kita akan kerusakan yang
sedang dan akan terjadi saat kita dengan kukuh bertahan pada nama
baik semata? Pahamkah kita tentang makna keadilan dan kejujuran yang
setiap saat kita dengungkan sementara kita melakukan hal yang
sebaliknya? Ataukah pandangan kita sudah tertutup hanya karena kita
tidak mau mengakui bahwa sesungguhnya ada borok yang sedang kita
tanggung dan mungkin kelak akan menghancurkan diri kita semua?
Bagaimanakah kita dapat dengan penuh rasa yakin dan percaya diri
menyatakan kebenaran jika kita sendiri enggan mengakui kebenaran itu?
Dan apakah maknanya sebuah kebenaran jika itu hanya dilihat dari
sudut pandang dan kepentingan pribadi kita?
Maka ketika hukum dapat dijual belikan,
ketika fakta dapat digelapkan, ketika ayat-ayat hanya menjadi ajang
perdebatan sesuai dengan sudut pandang setiap orang – tanpa
kepastian – percayalah bahwa pada akhirnya setiap orang pun dapat
berpendapat bahwa mereka pun memiliki hukumnya masing-masing. Dan
jika itu terjadi dan memang kita inginkan, kita semua patut menyadari
akan resiko ketidak-adilan bagi semua orang. Karena keadilan menurut
sudut pandang diri sendiri, sadar atau tidak, berarti kita membangun
ketidak-adilan dalam masyarakat. Hukum menjadi tidak pasti saat semua
dapat berdebat tentangnya. Hukum menjadi layang-layang yang putus
yang akan dikejar-kejar dengan kekuatan-kekuasaan-kekayaan dan bukan
dengan kejujuran-kebenaran-keadilan. Dapatkah kita memahami
akibat-akibatnya kelak?
Tetapi entah mengapa, kita demikian
tidak peduli lagi terhadap masyarakat. Kita hanya peduli kepada diri
dan kepentingan kita sendiri. Selama kepentingan kita tidak diganggu,
selama itu pula kita seakan-akan kelihatan dapat berbuat baik dan
jujur, namun sekali kepentingan kita diusik, tiba-tiba kita menjelma
menjadi mahluk yang menakutkan dan menafikan semua kejujuran serta
fakta yang ada. Bahkan jika perlu dengan melakukan perlawanan secara
kasar dan keras. Bahkan jika perlu dengan mengurbankan orang lain.
Kita tidak merasa terusik oleh ketidak-adilan yang kita lakukan
bahkan memberikan ribuan alasan yang seakan-akan benar tetapi......
Setiap pagi, saat kita duduk menikmati
secangkir kopi sambil membaca koran pagi, kita mungkin mengutuk
ketidak-adilan, kekerasan dan ketidak-jujuran yang diberitakan. Kita
bahkan mungkin merasa sangat marah dan menyesalinya. Tetapi itu
karena kita sama sekali tidak terkait dengan peristiwa yang sedang
kita baca itu. Seandainya peristiwa itu menyangkut nama baik kita,
menyangkut kepentingan kita, menyangkut integritas institusi kita,
masihkah kita merasa dan berpikir sama? Entahlah. Jika saja kita mau
jujur kepada hati nurani kita sendiri. Jika saja kita tidak enggan
untuk merasa malu dan mau mengakui kesalahan kita. Jika saja......
Tetapi seberapa banyakkah yang mau mengakui kealpaannya sendiri?
Pada akhirnya, setiap kesalahan selalu
mempunyai dalih dan alasannya masing-masing. Dan setiap ayat-ayat
dalam buku hukum selalu dapat diperdebatkan sesuai dengan kepentingan
kita melulu. Saat itu, sesungguhnya kita telah memulai proses
penghancuran terhadap kebenaran. Atas nama dalih dan alasan yang
kadang dibuat setelah sebuah peristiwa terjadi, sesungguhnya kita
telah melarikan diri dari dunia yang nyata dan membentuk opini
seakan-akan yang satu saat dapat menjadi kebenaran yang semu. Dan
saat itu terjadi, hukum pun lumpuh. Hukum pun tak berdaya dan akan
mati lemas. Siapkah kita menghadapinya?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar