Hari belum lagi
siang saat aku berjumpa dengan seorang siswa SMA, tetanggaku, yang
setahuku saat itu sedang mengikuti Ujian Nasional. Wajahnya tampak
murung atau bahkan sedikit kesal. Maka aku bertanya padanya,
“Ada apa? Bagaimana hasil UN hari
ini, nak?”
“Tidak ada UN hari ini, om. Guru
bilang soalnya belum datang dari Jakarta...”
“Kok bisa, jadi kapan UN?”
“Tidak tahu. Tunggu kabar saja kalau
soal sudah tiba....”
“Oo, jadi kalian disuruh menunggu
dalam ketidak-pastian?”
“Begitulah, om...”
Saat itu aku merasa terkejut. Tetapi
kemudian setelah mengikuti berita-berita dari media cetak dan media
online, aku lalu mengetahui betapa UN tahun 2013 ini sungguh sangat
kacau balau. Soal terlambat dicetak dan terlambat dikirim sehingga
untuk sebagian daerah terpaksa harus ditunda. Dan lebih menyedihkan
lagi, pihak yang seharusnya bertanggung-jawab malah saling
menyalahkan. Kejadian ini menusuk tepat di jantung utama proses
menuju kemajuan negeri ini: pendidikan.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh
pejabat yang berwewenang di pusat, tetapi aku merasa kehilangan satu
hal: nurani. Bagaimana bisa kita menyepelekan perasaan ribuan atau
malah puluhan ribu siswa-siswi kita? Apakah pejabat yang berwewenang
di pusat tidak punya anak-anak yang sedang bersekolah? Ataukah,
karena mampu, maka anak-anak kebanyakan telah disekolahkan ke luar
negeri sehingga mereka dengan ringan lepas tangan dari situasi dan
kondisi anak-anak bangsa lain hanya karena kepentingan pribadi atau
kelompok? Mengapa demikian mudah kita mengeluarkan pendapat
seolah-olah keterlambatan dan kekisruhan ini hanya sekedar masalah
tehnis yang terjadi karena tidak terduga? Bukankah UN seharusnya
sudah menjadi agenda tahunan tetap yang karena itu dapat dipersiapkan
dengan matang dan bertanggung-jawab?
Dan semakin mengesalkan lagi ketika
mengetahui betapa lembaran ujian yang terkirim ke daerah ternyata
tidak cukup sehingga pemerintah lokal terpaksa harus memperbanyaknya
dengan foto-copy-an atas biaya sendiri. Dana besar yang telah
dikeluarkan dari APBN apakah tidak cukup sehingga hanya sejumlah itu
yang dapat dicetak? Dimanakah letak kesalahan prediksi jumlah
lembaran soal hingga jumlah cetakan jauh lebih sedikit daripada
jumlah siswa-siswi yang ada? Mengapa bisa terjadi demikian? Dan
apakah tidak dipikrkan betapa proses perbanyakan kertas soal dan
lembar jawaban itu tidak membuka lebar kemungkinan bocornya soal itu
keluar? Lalu apa tanggung jawab pihak berwewenang atas segala
kekisruhan itu?
Memang, menteri pendidikan dan
kebudayaan telah meminta maaf atas kekisruhan yang terjadi ini tetapi
cukupkah hanya dengan kata maaf lalu membiarkan segalanya berjalan
dengan sendirinya? Bagaimana kita bisa menobati perasaan kesal dan
kecewa yang telah tertanam dalam kenangan anak-anak itu? Kenangan
yang mungkin dapat menjadi awal mula sikap menggampangkan segala
tugas dan kewajiban mereka kelak? Generasi demikiankah yang ingin
kita ciptakan? Aku tidak tahu dan tidak memahami saat kalimat
‘penundaan ujian nasional juga merupakan ujian bagi kementerian
yang bersangkutan’ sebab menurutku, ini bukan ujian bagi mereka
tetapi tugas yang rutin dan sebab itu seharusnya dapat dilaksanakan
dengan setiap tahun menjadi lebih baik karena belajar dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan bukannya setiap tahun makin
buruk. Makin amburadul.
Maka mengikuti proses pelaksanaan UN
tahun 2013 ini, aku merasa sedih. Betapa seringnya kita
menggampangkan semua hal. Betapa hanya dengan kata maaf saja maka
semuanya bisa dimaklumi. Betapa perasaan anak-anak, baik yang sedang
mengikuti UN maupun yang akan mengikutinya kelak, dianggap sama
sekali tidak berarti apa-apa. Dan ketika pejabat yang berwewenang
hanya berkutat pada masalah tehnis belaka, mereka melupakan moral dan
etika dari generasi yang kelak akan menjadi pengganti mereka. Maka
janganlah menyalahkan situasi kelak yang akan mereka terima karena
asal mula segalanya sungguh berasal dari mereka juga. Sungguh
menyedihkan melihat betapa anak-anak selalu dikurbankan, terutama
anak-anak di daerah pedalaman yang jauh dari pusat. Di daerah yang
mungkin tak pernah dikenal oleh pejabat tersebut. Daerah dimana para
siswa-siswi harus berjuang setiap hari hanya untuk dapat bersekolah.
Hanya untuk dapat menjadi orang yang lebih dalam mengetahui sesuatu.
Dan yang didapatnya dari perjuangan itu ternyata hanya
ketidak-pedulian. Maka kadang kata maaf saja tidaklah cukup. Sungguh
tidak cukup.....
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar