Kita
tahu bahwa semua kehidupan pasti memiliki akhirnya masing-masing. Dan
apa yang kita jalani sama dengan memandang batas cakrawala yang
sering membuat kita terpesona tetapi sering pula membuat kita
meneteskan air mata. Sungguh, semua memiliki waktunya
sendiri-sendiri. Melangkahi jalan setapak dengan kaki yang
terseret-seret. Mendaki dan menurun. Menuju titik dimana akhir
menanti dalam diam.
Dan di
atas sini, mega berarak, kadang selembut kapas kadang pula sekeras
badai. Tak ada yang tahu apa dan bagaimana masa depan itu. Tak ada
yang dapat memastikan kemana dan untuk apa? Angin berhembus perlahan
lalu berputar deras menjadi taifun. Kita masing-masing memandang
cakrawala yang sama walau dengan suasana dan situasi yang berbeda.
Dan hamburan tawa atau isak tangis, apakah bedanya? Di batas
cakrawala, kita pasti punya akhir masing-masing.
Sebab
memang, kita masing-masing memiliki hidup. Tetapi hidup sendiri bukan
milik kita semata. Indahnya saat mawar mekar dan redupnya saat
kelopaknya mulai berguguran ke bumi. Dalam diam. Dalam bisu.
Bagaimana dapat kau lukiskan panorama yang demikian indah tanpa
merasakan sejuknya udara, hembusan angin, suara percik air dan
nyanyian burung-burung? Bukankah semua itu demikian berharga, justru
di saat-saat terakhir ketika kita akan pergi?
Maka
memang, walau jalan yang kita tempuh ini terasa demikian beringsut
pelan, demikian beronak sehingga menusuk kulitmu, demikian terjal dan
penuh tantangan, selalu ada dan hadir keindahan yang tersembunyi yang
sering tak kita sadari hingga saatnya kita harus kehilangan dia.
Hidup adalah sesuatu, kawanku. Hidup memang selalu sesuatu. Dan
sesuatu itulah yang harus kita jangkau sebagai sebuah keseluruhan. Di
batas cakrawala, segalanya tak berbatas lagi.
Pada
akhirnya, jika kita harus pergi. Jika semuanya harus ditinggalkan.
Tataplah langit dan bumi yang menyatu dalam cakrawala hidupmu. Dan
saksikanlah betapa menyatunya alam semesta ini dalam satu paduan
warna yang mempesona. Nikmati pula kesegaran suasana yang
mengelilingimu. Sambil bersyukur. Sambil bernyanyi. Sambil tertawa
riang. Sambil meneteskan air matamu. Sambil berbisik pada dunia ini:
Sungguh, betapa aku rindu padamu. Rindu padamu.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar