Ada seorang
wanita yang hampir setiap malam terlihat duduk di balik jendela
rumahnya. Ditemani sebatang lilin yang menyala, dia menatap jauh ke
langit, ke bintang-bintang yang sedang berkelap-kelip seakan menyapa
kesunyian hidupnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Atau apa
yang sedang direnungkannya. Adakah dia sedang menunggu seseorang?
Atau sekedar hanya melepas waktu yang tersisa sebelum kantuk datang?
Entahlah. Mungkin pula kedua-duanya. Tetapi dalam cahaya yang
temaram, sangat terasa aura kesendirian dalam hidupnya. Sendiri dan
sepi....
Tetapi waktu bergegas melintas. Dan
dunia tidak hanya berdiam bersama kesendirian seorang manusia. Di
luar dirinya suasana demikian riuh dan penuh gejolak. Ada semangat
yang seakan dahaga yang tak pernah dapat terpuaskan. Hasrat, ambisi
dan keinginan yang tak pernah beristirahat walau sejenakpun juga.
Hidup meluncur dalam ketidak-pedulian nasib seorang manusia yang tak
dikenal. Tertinggal sendirian di sudut kecil bumi manusia ini. Wanita
itu hanya memandang jauh ke atas tetapi sadar atau tidak, berupaya
memahami pertanyaan tentang hidupnya sendiri. Tetapi dia ada. Dia
sungguh ada.
Lilin menyala di sampingnya. Api yang
meliuk tertiup angin. Wajah yang hampa dan tak berdaya. Waktu yang
tak mau berhenti. Dan jendela yang terbuka. Selain itu hanya
pemandangan yang samar-samar dari kehidupan yang juga samar-samar.
Kita tak tahu, sungguh takkan pernah tahu, apa yang sedang dipikirkan
seseorang. Yang ada dibalik senyum dan tawa. Atau arti tetesan air
mata di wajah seseorang, bahkan seseorang yang sedemikian dekat
dengan kita sekali pun. Sebab, walau kehidupan ini dilalui bersama,
masing-masing kita berada di dunia yang tersendiri. Dunia pikiran,
dunia perasaan dan dunia pemahaman yang berbeda satu sama lain.
Manusia, ah siapakah dia? Siapakah
kita? Mengapa kita yang kelihatan demikian garang dan bersemangat
sering menyimpan rahasia dalam kalbunya yang terdalam? Mengapakah
kita, yang nampak demikian teguh dan tabah ternyata menyembunyikan
perasaan cemas dan ragu di nuraninya yang terdalam? Sementara kita
sendiri enggan mengakuinya. Sementara kita sendiri takut untuk
menyatakannya? Bukankah kita memang hanya sebuah bejana dari tanah
liat yang indah dan menakjubkan tetapi pun demikian rapuh dan tak
berdaya? Dan suatu waktu kelak, perlahan akan membuat kita menjadi
aus dan satu saat akan kembali lebur menjadi tanah dan melebur
bersama alam?
Pasti ada banyak kenangan tersimpan
dalam kehidupan seorang manusia. Kenangan manis. Kenangan pahit.
Tetapi apakah artinya selain daripada hanya buat diri sendiri saja?
Dan layaknya lilin yang bernyala, cahaya kita akan lenyap bersama
dengan lumernya tubuh lilin itu. Mengapa kita harus ada? Untuk apakah
kita mesti mengalami? Apa gunanya kita dapat berpikir? Sebab apakah
kita harus bertanya-tanya? Apakah lebih mudah jika kita hanya
menjalani hidup seperti mahluk lain tanpa perlu bersusah payah untuk
merenungkan apa yang telah dan sedang kita saksikan di dunia ini?
Tataplah bintang-bintang dan rembulan di langit malam. Bukankah
mereka demikian indah dan mengagumkan? Tetapi dapatkah kita
menikmatinya di saat sinar dari lampu-lampu bertebaran dimana-mana?
Adakah hidup ini sesungguhnya hanya sebuah mimpi yang tidak nyata?
Dan dapatkah kita meyakinkan diri bahwa satu saat kelak kita
terbangun dan menemukan bahwa semuanya hanya kegelapan dan
ketidak-adaan? Serta ketidak-sadaran bahwa kita pernah ada dan pernah
berpikir bahwa kita ada? Memang adakah kita? Nyatakah kita kelak
senyata kita saat ini?
Wanita. Lilin. Jendela. Kegelapan di
seputar. Dan keramaian jauh di luar. Rasakanlah betapa sering ada
batas yang tak kasat mata tetapi sangat jelas terasakan. Alam pikiran
yang jauh tersembunyi di balik topeng wajah yang nampak. Dan kita
semua ternyata adalah bayang-bayang itu. Kita semua ternyata hanya
hidup dalam dan bersama apa yang ada di pikiran dan perasaan kita
sendiri. Sunyi. Sepi. Seorang diri. Selain itu hanya sebuah jendela
dimana kita memandang keluar. Jauh, jauh keluar. Dan sebatang lilin
yang apinya meliuk-liuk terhembus angin. Lilin yang perlahan-lahan
memendek seturut waktu. Dikikis waktu. Tetapi, paling tidak, kita
adalah cahaya itu. Dan sejenak, kita semua dapat menerangi dunia ini.
Dan walau hanya sejenak, cukuplah itu. Sebab itulah milik kita yang
paling indah. Waktu. Cahaya. Jendela kita.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar