“Aku
merasa doaku tak pernah dikabulkan Tuhan” katanya kepadaku. “Aku
merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan aku saat itu. Ya, saat itu. Tak
ada pertolongan datang dari orang-orang yang kuharapkan membantuku.
Tak ada bantuan datang dari mereka yang kuharapkan dapat menolongku
keluar dari permasalahan ini...”. Dia diam sejenak, memandangku
dengan tenang. “tetapi kemudian aku mulai memikirkan kembali
sikapku. Memikirkan kembali perasaanku dan situasi yang
membelengguku. Memang, aku memiliki sikap yang praktis. Menyukai
orang-orang tertentu dan membenci orang-orang yang kuanggap tidak
baik. Dan ketika berdoa kepada Tuhan, aku mengharapkan agar doa-doaku
dijawab sesuai dengan harapanku sendiri....”
“Tetapi
ternyata, saat mereka yang tidak kusukai menawarkan bantuan, ketika
orang-orang yang kubenci menawarkan jalan keluar dari permasalahanku,
aku telah menolaknya. Intinya, aku hanya ingin bantuan yang
kuharapkan datang dari mereka-mereka kusenangi dan kuharapkan saja.
Bukan dari mereka yang tidak kusukai. Ternyata, Tuhan memiliki cara
lain dalam menjawab doaku. Sedang aku menginginkan agar Tuhan
membantuku sesuai dengan keinginanku sendiri. Dan saat itulah aku
merasa, betapa aku berdoa untuk mendikte Tuhan, bukan untuk memohon
bantuan sesuai dengan kehendak-Nya tetapi meminta bantuan sesuai
dengan kehendakku sendiri...”
“Tetapi
siapakah aku ini sehingga dapat mendikte kehendak Tuhan? Mengapa aku
harus mengubah Tuhan dan bukannya mengubah diriku sendiri? Mengubah
sikapku terhadap sesama manusia? Terutama mengubah sikapku kepada
mereka-mereka yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya? Mengapa aku
harus bertegar diri pada sikap penolakanku terhadap bantuan dari
orang yang tidak kusenangi? Dan tetap menunggu dan mengharapkan
bantuan hanya dari mereka-mereka yang kuinginkan saja? Tidakkah Tuhan
punya cara tersendiri dalam menjawab doa dan harapanku? Demikianlah,
lama aku merenungkan hal itu....”
“Jelas
kemudian, bagiku, Tuhan ternyata bukan tidak menjawab doaku. Ya,
Tuhan bukan mendiamkan dan menulikan diri-Nya atas segala harapanku
di saat-saat kesulitan yang sedemikian dalam membelenggu hidupku.
Tuhan menjawab-Nya, tetapi akulah yang menolak jawaban-Nya karena
tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Ketika Tuhan membimbing
orang-orang yang kubenci datang untuk mencoba menolong diriku, aku
menolak mereka, karena kupikir itu bukanlah keinginan Tuhan. Padahal
sesungguhnya itu bukanlah keinginanku. Kini, aku sadar, bahwa sering
setiap doa kita akan dikabulkan dengan cara yang sama sekali tidak
kita pahami. Yang sama sekali diluar dari keinginan kita. Sebab Tuhan
menjawab doa kita hanya dengan satu pertimbangan, ya hanya satu saja:
kita dapat merubah sikap kita terhadap sesama. Tanpa rasa bendi.
Tanpa rasa ketidak-sukaan. Dengan demikian, Dia akan datang dalam
diri mereka yang kita tolak...”
“Belajarlah
dari pengalaman hidup ini, kawan. Belajarlah dari pahamilah bahwa,
tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita sendiri.
Sering kita sendiri yang harus berubah sebelum menemukan jawaban atas
segala permohonan kita. Ya, kita harus mempertimbangkan sikap kita
sebelum merasa kecewa karena apa yang kita harapkan, apa yang kita
mohonkan, dapat dikabulkan. Karena apa yang kita minta akan
diberikan. Tetapi sesuai dengan kehendak-Nya. Bukannya sesuai dengan
kehendak kita. Ingatlah kalimat indah ini: “Terjadilah padaku
menurut kehendak-Mu”. Bukan menurut kehendak kita sendiri. Bukankah
demikian?”
Aku
memandang padanya dengan terpesona. Dan aku sungguh-sungguh merasa
betapa benarnya kata-kata itu. Maka kini aku ingin membagikan kepada
kalian kalimat indah itu. Kepada siapa pun yang saat ini merasa
betapa sia-sianya berdoa, betapa setiap doa yang kita mohonkan setiap
saat seakan lenyap begitu saja tanpa terjawab, mungkin bukan karena
Tuhan tidak menjawab doa kita, tetapi karena sikap kita sendirilah
sehingga kita gagal melihat jawaban Tuhan atas doa kita. Maka cobalah
merenungkan sikap kita sebelum mempersalahkan Tuhan. Cobalah
merenungkan memikirkan kembali bahkan dari mereka-mereka yang sangat
tidak kita senangi, siapa tahu jawaban atas doa kita justru datang
dari mereka itu. Dan jika kita sadar, marilah merubah sikap hidup
kita. Marilah menyadari bahwa semua yang indah akan datang jika kita
menghilangkan segala prasangka kita terhadap orang lain. Bahkan
terhadap mereka yang kita anggap sebagai musuh. Sebagai lawan. Atau
saingan.
Sikap
kita sungguh menentukan hidup kita. Dan setiap doa yang kita
panjatkan mestinya berawal dari keinginan kita untuk merubah diri.
Merubah sikap. Dan bukannya memaksa Tuhan untuk mengabulkan doa kita
sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tidak. Tuhan akan memberikan
kita jalan, tetapi kitalah yang mesti melangkah. Kitalah yang meminta
Tuhan maka kita pula yang harus menerima apa yang akan diberikan-Nya.
Bukannya mengharapkan sesuai dengan apa yang kita inginkan.
“Sebab
rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku,
demikianlah Firman Tuhan (Yes 55:8)...”
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar