Tubuhnya yang
kurus nampak mengerut ketika kulihat dia terbaring di atas ranjang
rumah sakit itu. Wajahnya telah kehilangan seri. Dan matanya menatap
ke langit-langi dengan pandangan kosong. Ketika dia kusapa, ternyata
dia tidak lagi mengenaliku. Dan aku merasakan suasana yang hampa
ketika dia hanya sanggup mengguman kata-kata yang tak dapat lagi
dipahami. Lengannya, dengan jemari yang kurus nampak terkulai,
memegang kertas tissu yang sesekali digerakkannya ke mulutnya. Dia
sadar tetapi tidak sadar. Dia masih hidup tetapi nyatanya telah
kehilangan kehidupan. Dia masih bernafas tetapi telah kehilangan daya
untuk berpikir atau bahkan sekedar untuk mengingat diriku.
Beberapa waktu lalu, aku telah menerima
kabar bahwa kondisinya menurun dengan drastis setelah terjatuh di
dalam kamar mandi. Usianya yang sudah 76 tahun membuat tubuhnya lemah
dan kehilangan semangat, bahkan sekalipun hanya untuk mencoba
tersenyum. Kini, aku menatap dia dengan perasaan sedih. Membayangkan
betapa dulu, tubuh ini menyimpan semangat yang demikian kuat dan
kukuh sehingga seakan-akan semua hal ingin dikuasainya. Aku teringat
pada kemarahan dan kata-katanya yang sering demikian menusuk hati.
Aku terkenang betapa dulu seakan semua hal diketahui dan ingin
dicapainya bahkan walau dengan kekerasan sekalipun. Sifatnya yang tak
pernah mau kalah. Dan dengan kekuasaan dan kekayaannya, seakan semua
orang harus tunduk kepadanya. Sungguh, tiba-tiba aku terkenang betapa
dulu dia seakan takkan pernah dapat terkalahkan. Tak pernah dapat
dikalahkan. Semua ingin dikuasainya. Semua ingin diaturnya. Semuanya.
Kini, saat aku berhadap-hadapan
dengannya, kurasa betapa dia sungguh amat berbeda, sangat berbeda
dengan dia yang kukenal bahkan walau hanya beberapa bulan sebelumnya.
Betapa waktu berjalan seperti biasanya tetapi hidupnya merosot
demikian cepat. Sangat cepat. Dimanakah semangat yang dulu pernah
dimilikinya? Dimanakah segala ambisi dan hasratnya yang seolah tak
pernah berujung? Dimanakah sikap keras kepala dan kekuatan yang
seakan tanpa batas? Dimanakah semua hal yang membuatnya merasa seakan
hidupnya takkan pernah berakhir? Seorang manusia yang seakan terbuat
dari baja dan menafikan segala kelemahan manusiawi orang-orang
sekitarnya? Dimanakah dia sekarang? Dimana?
Aku menatap tubuhnya yang tak berdaya
itu. Dan tiba-tiba aku berpikir bahwa seharusnya kita harus menyadari
keterbatasan diri kita. Hidup yang terbatas. Kemarahan yang terbatas.
Dendam dan sakit hati yang terbatas. Kekuasaan dan kekuatan yang
terbatas. Dan lihatlah, ketika saatnya tiba, pada akhirnya kita semua
harus menyerah. Dan betapa sia-sianya semua ambisi dan hasrat kita.
Betapa tak bermanfaatnya segala yang telah kita raih di ujung hidup
ini. Segala pertengkaran, segala perkelahian, dendam dan benci, marah
dan sakit hati, toh semuanya pada akhirnya akan sirna juga. Semua
menjadi tak berarti dan tak berguna. Dan bahkan sebelum akhir tiba,
dia sendiri telah kehilangan kesadaran dan ingatan bahkan sekalipun
untuk mengenal dirinya sendiri.
Perlahan kudekati dia. Kugenggam
tangannya yang terasa layu. Dan sambil menatap matanya, aku memanggil
namanya. Dia menatapku tetapi hanya ada kehampaan dalam kedua bola
matanya. Kubisikkan kalimat untuk menghibur dirinya, tetapi dia hanya
mengguman singkat tanpa dapat kupahami maknanya. Tetapi aku melihat
ada tetes air perlahan mengalir dari kelopak matanya. Dan aku sedih.
Sangat sedih. Sungguh terasa betapa rapuhnya hidup ini. Sungguh
betapa sia-sianya segala kekerasan hati kita jika kita kelak
berhadapan muka dengan saat-saat akhir hidup ini. Sebab pada akhirnya
toh, kita akan takluk dan kembali ke haribaan bumi. Kembali kepada
Pencipta kita semua......
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar