24 Januari 2013

BATAS


Tubuhnya yang kurus nampak mengerut ketika kulihat dia terbaring di atas ranjang rumah sakit itu. Wajahnya telah kehilangan seri. Dan matanya menatap ke langit-langi dengan pandangan kosong. Ketika dia kusapa, ternyata dia tidak lagi mengenaliku. Dan aku merasakan suasana yang hampa ketika dia hanya sanggup mengguman kata-kata yang tak dapat lagi dipahami. Lengannya, dengan jemari yang kurus nampak terkulai, memegang kertas tissu yang sesekali digerakkannya ke mulutnya. Dia sadar tetapi tidak sadar. Dia masih hidup tetapi nyatanya telah kehilangan kehidupan. Dia masih bernafas tetapi telah kehilangan daya untuk berpikir atau bahkan sekedar untuk mengingat diriku.

Beberapa waktu lalu, aku telah menerima kabar bahwa kondisinya menurun dengan drastis setelah terjatuh di dalam kamar mandi. Usianya yang sudah 76 tahun membuat tubuhnya lemah dan kehilangan semangat, bahkan sekalipun hanya untuk mencoba tersenyum. Kini, aku menatap dia dengan perasaan sedih. Membayangkan betapa dulu, tubuh ini menyimpan semangat yang demikian kuat dan kukuh sehingga seakan-akan semua hal ingin dikuasainya. Aku teringat pada kemarahan dan kata-katanya yang sering demikian menusuk hati. Aku terkenang betapa dulu seakan semua hal diketahui dan ingin dicapainya bahkan walau dengan kekerasan sekalipun. Sifatnya yang tak pernah mau kalah. Dan dengan kekuasaan dan kekayaannya, seakan semua orang harus tunduk kepadanya. Sungguh, tiba-tiba aku terkenang betapa dulu dia seakan takkan pernah dapat terkalahkan. Tak pernah dapat dikalahkan. Semua ingin dikuasainya. Semua ingin diaturnya. Semuanya.

Kini, saat aku berhadap-hadapan dengannya, kurasa betapa dia sungguh amat berbeda, sangat berbeda dengan dia yang kukenal bahkan walau hanya beberapa bulan sebelumnya. Betapa waktu berjalan seperti biasanya tetapi hidupnya merosot demikian cepat. Sangat cepat. Dimanakah semangat yang dulu pernah dimilikinya? Dimanakah segala ambisi dan hasratnya yang seolah tak pernah berujung? Dimanakah sikap keras kepala dan kekuatan yang seakan tanpa batas? Dimanakah semua hal yang membuatnya merasa seakan hidupnya takkan pernah berakhir? Seorang manusia yang seakan terbuat dari baja dan menafikan segala kelemahan manusiawi orang-orang sekitarnya? Dimanakah dia sekarang? Dimana?

Aku menatap tubuhnya yang tak berdaya itu. Dan tiba-tiba aku berpikir bahwa seharusnya kita harus menyadari keterbatasan diri kita. Hidup yang terbatas. Kemarahan yang terbatas. Dendam dan sakit hati yang terbatas. Kekuasaan dan kekuatan yang terbatas. Dan lihatlah, ketika saatnya tiba, pada akhirnya kita semua harus menyerah. Dan betapa sia-sianya semua ambisi dan hasrat kita. Betapa tak bermanfaatnya segala yang telah kita raih di ujung hidup ini. Segala pertengkaran, segala perkelahian, dendam dan benci, marah dan sakit hati, toh semuanya pada akhirnya akan sirna juga. Semua menjadi tak berarti dan tak berguna. Dan bahkan sebelum akhir tiba, dia sendiri telah kehilangan kesadaran dan ingatan bahkan sekalipun untuk mengenal dirinya sendiri.

Perlahan kudekati dia. Kugenggam tangannya yang terasa layu. Dan sambil menatap matanya, aku memanggil namanya. Dia menatapku tetapi hanya ada kehampaan dalam kedua bola matanya. Kubisikkan kalimat untuk menghibur dirinya, tetapi dia hanya mengguman singkat tanpa dapat kupahami maknanya. Tetapi aku melihat ada tetes air perlahan mengalir dari kelopak matanya. Dan aku sedih. Sangat sedih. Sungguh terasa betapa rapuhnya hidup ini. Sungguh betapa sia-sianya segala kekerasan hati kita jika kita kelak berhadapan muka dengan saat-saat akhir hidup ini. Sebab pada akhirnya toh, kita akan takluk dan kembali ke haribaan bumi. Kembali kepada Pencipta kita semua......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...