Siapakah kita selain daripada hanya
sebongkah daging yang hidup dalam pikiran yang menyembunyikan
kesepiannya masing-masing? Di saat kita merasa dan memikirkan
sesuatu, bukankah kita hanya larut dalam apa yang kita anggap kita
ketahui walau mungkin itu bukan sesuatu yang benar? Sebab apakah
kebenaran itu selain keraguan dalam lubuk hati terdalam kita? Jika
kita jujur, jika kita sungguh jujur, kepercayaan kita niscaya selalu
tidak mutlak dan pasti memiliki celah dimana ada tanda tanya besar
mengenai apa yang kita yakin, atau sedang kita yakini sekarang.
Cobalah untuk merenungkan kembali jalan kehidupan yang telah kita
lewati. Dan kita akan merasa heran berapa banyak perubahan keyakinan
yang juga telah mengubah cara pandang kita sendiri tentang apa itu
kehidupan.
Maka, kehidupan sesungguhnya adalah
sebuah tanda tanya besar. Sebuah kegundahan dalam jiwa. Dan mereka
yang percaya bahwa dia memiliki kebenaran mutlak hanya akan hidup
dalam kesepian yang murung. Mereka punya keyakinan terhadap kebenaran
tetapi pada akhirnya gagal untuk memahami kehidupan ini secara utuh.
Manusia hanya insan yang terbatas. Manusia hanya memiliki kehidupan
yang singkat. Sebab itu, apa yang sedang dia alami, atau apa yang
sedang dia jalani saat ini, hanya sebuah titik dari sebuah proses
yang tak mampu dia pastikan ujungnya. Mungkin dia memiliki tujuan.
Mungkin dia percaya secara mutlak kebenaran tujuan itu. Tetapi,
siapapun yang tidak enggan untuk merenungkan hidupnya pasti akan
sadar betapa besarnya tanda tanya yang membalut keyakinannya itu.
Sebelum dia tiba di tujuan, sebelum dia mengalami apa yang dia
yakini, dia tidak akan pernah tahu kepastian dari keyakinannya itu.
Tidak akan pernah.
Jadi untuk memahami hidup, dia harus
belajar terus menerus. Dia harus meragukan dan karena itu berupaya
untuk mencari-tahu tentangnya. Dia harus berjalan dengan pikiran yang
sepi. Dia harus bergulat dengan diri dan keinginannya sendiri. Bahwa
tidak ada dan tidak pernah akan ada kesempurnaan yang akan dan dapat
dia temukan. Apalagi kebenaran yang siap pakai saja. Sebab itu, dia
pun harus menyadari bahwa dia takkan pernah dapat meyakini kebenaran
yang saat ini kita percayai adalah sebuah kebenaran mutlak. Sesuatu
yang sempurna dan tanpa cacat. Tidak. Dia dapat mencari kesempurnaan
itu tetapi sadarlah bahwa dia takkan pernah dapat menemukannya hingga
akhir hidupnya. Di saat itu, mungkin dia baru mengenal makna
kebenaran yang mutlak. Kesempurnaan yang kekal. Mungkin.
Menjalani hidup memang harus dengan
sebuah keraguan. Karena itulah, selama perjalanan hidup ini, setiap
insan harus belajar terus menerus. Belajar tanpa henti. Untuk
mengerti. Untak memahami. Untuk menemukan walau tak pernah akan dia
temukan. Maka, setiap insan semestinya percaya bahwa tak seorang pun
akan sanggup untuk menemukan kebenaran sempurna, dan karena itu dia
pun juga tidak dapat menganggap dirinya sebagai sumber kebenaran yang
pasti dan satu-satunya apalagi sampai ingin memaksakan kebenaran yang
dia yakini terhadap orang lain. Memang, manusia dapat tunduk secara
fisik, namun tidak dalam pikir dan rasanya. Dia dapat takluk dalam
perbuatan, namun siapa yang tahu isi hati dan pikiran orang lain?
Siapa? Hanya mereka yang bodoh atau munafik saja yang dapat
mengatakan bahwa dia telah mampu untuk membuat orang yakin pada
kebenaran yang dia yakini. Namun, sesungguhnya apa kata hatinya
sendiri? Tak seorang pun tahu. Tak seorang pun akan tahu.
Manusia memang hanya sebongkah daging
yang hidup. Dan daging itu bisa takluk dan nampak seakan-akan percaya
atau seakan-akan yakin sepenuh hati terhadap kebenaran yang diberikan
padanya. Serta kelihatan patuh terhadap kebenaran yang dijejalkan
dalam hidupnya. Tetapi percayalah, bahwa keraguan selalu ada. Hari
ini. Esok. Siapa yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi secara
pasti? Siapa?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar