Tak ada kesunyian yang abadi sama
seperti tak ada keramaian yang kekal. Mereka yang mengharapkan
kesunyian abadi hanya akan menemukan kerinduan dan mereka yang
mencintai keramaian kekal hanya akan menemui kesepian dalam hidupnya.
Sebab segala sesuatu ada waktunya, tulis Pengkhotbah. Sebab, “Untuk
segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada
waktunya”.
Memang demikianlah hidup ini berjalan.
Maka bukan soal bagaimana menghadapi kesunyian diri, atau bagaimana
menerima keramaian dunia, melainkan menemukan keseimbangan dalam
pengalaman tersebut. Sebuah lagu yang indah pasti mengandung
saat-saat tertentu dimana musik berhenti agar kita bisa menikmati
keindahan iramanya, meresapkan ke dalam jiwa nada yang telah lewat
untuk dapat menangkap esensinya.
Sesungguhnya memang, setiap momen dapat
kita nikmati, dan setiap peristiwa mampu kita lalui bilamana kita
tahu saat-saat untuk berhenti di sela-sela karut marut hidup ini. Dan
merenungkan serta belajar dari semua pengalaman yang telah terjadi.
Semua peristiwa memiliki dua sisi. Bahkan dalam masa sepahit apapun,
selalu akan mengandung sisi yang manis. Demikian pula dalam momen
yang manis selalu menyimpan sisi pahitnya sendiri. Tak ada yang
berdiri sendiri. Semua punya waktunya.
Maka siapa pun yang menginginkan
kekekalan di dunia yang fana ini akan kecewa. Mereka yang
mengharapkan kesempurnaan akan gagal untuk hidup secara layak.
Kelemahan kita justru merupakan kekuatan kita. Ketidak-kekalan kita
justru merupakan sebuah anugerah. Kita harus belajar menerimanya
sebagai suatu pengalaman dalam hidup yang berjalan. Hidup memang
adalah suatu sarana pembelajaran.
Jadi apabila saat ini kita tertawa,
nikmatilah tanpa perlu meratapi tangis yang kelak akan terjadi. Dan
apabila kita menangis, nikmatilah dengan kesadaran bahwa sesaat
kemudian tawa kita dapat lepas. Bersama waktu, kita akan berjalan
terus. Dan kita harus mengalami dan belajar dengannya. Sepanjang
kehidupan kita. Sebab, “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk
tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari”.
Demikianlah kita harus hidup. Tanpa
sesal berkepanjangan. Kesunyian dan keramaian akan datang silih
berganti. Tawa dan tangis akan saling berganti menjadi pengalaman
yang berarti bagi kita. Hidup ini adalah mengalami. Dan dalam
pengalaman itu kita belajar untuk menerima. Menerima apapun juga yang
terjadi. Sebab semua ada akhirnya. Semua ada masanya. Hiduplah dengan
pengalaman itu. Apa adanya. Sebagaimana mestinya.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar