Seringkali kita mengalami suatu
peristiwa dimana kesalahan-kesalahan kecil terjadi, bahkan dalam
sebuah ibadat yang paling utama. Seorang penyanyi mazmur yang salah
dalam nada. Seorang pembaca yang salah mengambil ayat. Atau seorang
dirigen lagu yang salah membaca not. Semua kesalahan itu biasanya
berlangsung dengan cepat dan diperbaiki dengan segera tanpa merusak
suasana ibadat itu sendiri. Dan kita semua yang hadir dan mengikuti
ibadat tersebut dapat memaklumi ketidak-sempurnaan yang telah
terjadi.
Hidup memang tidak mungkin menjadi
sempurna persisi seperti apa yang kita harapkan. Ada jarak terbentang
antara niat dan rencana kita dengan praktek dan kenyataan yang
terjadi secara langsung. Maka perlukah kita merasa kecewa atau bahkan
sakit hati jika segala apa yang kita harapkan tidak tercapai? Jika
kita dengan sadar memaafkan dan memaklumi kesalahan yang terjadi pada
semua orang, mengapa kita sering gagal untuk memaafkan dan memaklumi
kesalahan yang menimpa kita sendiri? Siapa pun yang mengharapkan
bahwa hidup ini harus sempurna, akan kecewa.
Bahkan Yesus pun mungkin kecewa jika
Dia mengharapkan kesempurnaan demikian. Dan jika Dia menciptakan kita
sebagai manusia yang sempurna, Yesus tak perlu hadir di dunia ini
untuk mengalami penderitaan dan mati di salib. Tidak. Hidup ini
memang tidak sempurna. Karena itu, setiap keinginan yang tidak
terlaksana dengan baik, setiap harapan yang tidak terwujud, setiap
perbuatan yang tidak sesuai dengan pikiran kita haruslah kita terima
sebagai satu anugerah kelemahan manusiawi. Satu berkat bahwa karena
ketidak-sempurnaan itulah membuat kita dapat menyadari betapa
indahnya suatu pengurbanan.
Pengurbanan selalu muncul karena
ketidak-sempurnaan manusia. Dan dalam pengurbanan itulah kita semua
jadi bermakna bagi Tuhan. Karena kemuliaan hanya akan muncul dari
balik pengurbanan sama seperti pengurbanan-Nya sendiri. Maka siapa
yang selalu menginginkan kesempurnaan dan menolak mengurbankan
perasaan, pikiran dan dirinya sendiri sungguh tidak memahami makna
kemanusiaannya. Karena sesungguhnya dalam setiap ketidak-semurnaan
manusiawi kita, senantiasa tersembunyi kesempurnaan Tuhan.
Kita membaca
betapa Maria mengurbankan perasaan dan dirinya sendiri saat
mengandung Tuhan. Kita membaca betapa Yusuf mengurbankan perasaan dan
dirinya sendiri saat menerima Maria yang telah hamil sebagai
istrinya. Kita membaca betapa Yohanes Pemandi mengurbankan dirinya
sendiri untuk menjadi perintis bagi Yesus hingga harus mati dengan
dipenggal. Kita membaca betapa bahkan Yudas pun harus mengurbankan
perasaan dan dirinya sendiri dengan menghianati Yesus. Dan diujung
segalanya, kita membaca betapa Yesus sendiri pun mengurbankan
diri-Nya padahal sesungguhnya Dia memiliki kekuasaan dan kemampuan
untuk luput dari segala siksa derita itu. Dan bukankah semua itu
terjadi demi manusia? Demi kita? Karena ketidak-sempurnaan kita
semua?
Maka jika kita sendiri menolak mengakui
ketidak-sempurnaan kita sebagai manusia, patutkah kita menerima
kesempurnaan Tuhan? Siapapun kita. Apapun masalah dan kesulitan kita.
Bagaimanapun pengalaman pahit dan kegagalan kita. Jangan takut tetapi
percayalah. Bahwa kita memang manusia lemah. Kita memang hidup dalam
ketidak-sempurnaan. Karena itu janganlah memaksakan kesempurnaan pada
hidup ini. Jangan pula mengharapkan kesempurnaan pada sesama kita.
Karena dalam ketidak-sempurnaan itulah Tuhan akan membuat kita
sempurna. Kelak. Selama kita menyadari kelemahan kita. Selama kita
mengikuti jalan hidup-Nya. Selama kita tidak menyerah pada hidup kita
sendiri. Selama kita tetap berjuang menjalani hidup ini bersama Dia.
Bersama Dia.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar