“Menjengkelkan! Saya merasa sakit
hati dan kecewa terhadapnya. Apa yang saya minta tak pernah
dilakukannya. Apa yang saya ingin dia lakukan tak pernah
dilaksanakan. Hampir setiap hari dia membuat saya marah dan stres.
Mau jadi apa dia nanti? Dia membuat saya menderita. Sangat menderita”
kata seorang ayah kepadaku saat bercerita mengenai anak remajanya.
Jelas sekali nampak betapa kemarahan dan frustrasi membuat dia
meradang. Sangat meradang.
Marah. Seringkali kemarahan membuat
kita kehilangan kontrol atas diri ini. Membuat kita larut dalam
perasaan sehingga pikiran tersishkan. Entah, tetapi aku merasa bahwa
sesungguhnya banyak atau sebagian besar perasaan marah dan kekecewaan
yang kita alami bukan karena kegagalan kita menghadapi diri sendiri,
tetapi karena kita merasa gagal membuat orang lain berbuat sesuai
dengan apa yang kita harapkan. Keinginan kita untuk membuat orang
lain sama dengan kita. Atau sesuai dengan pikiran kita. Tetapi
tidakkah itu janggal?
Kita marah karena orang lain tidak mau
mengikuti aturan kita. Kita kecewa karena orang lain tidak mau
mengkikuti apa yang kita inginkan. Kita frustrasi karena orang lain
tidak mau menjadi sama dengan kita. Dan terkadang, kita bahkan
melakukan tindakan kekerasan hanya karena kita ingin memaksakan
kehendak kita agar orang lain menjadi sama dengan kita. Atau lebih
aneh lagi, sama dengan pikiran kita walau hidup kita sendiri belum
tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan sendiri. Tidak pernahkah
kita merasa bersalah karena perbuatan kita itu? Tidak pernahkah kita
mencoba untuk merenungkan kegunaan dari keinginan dan harapan kita
terhadap orang lain? Apakah kita memandang sesama kita sebagai
manusia yang setara? Atau hanya sebagai robot yang harus sesuai
dengan apa yang kita programkan kepadanya? Dan tak pernahkah kita
pikirkan bahwa kekecewaan dan kiemarahan kita tidak hanya merugikan
orang lain tetapi terutama merugikan hidup kita sendiri?
Mungkin memang ada kemarahan yang
pantas karena kita sendiri telah melakukan kesalahan atau perbuatan
yang tidak layak. Tetapi seberapa banyakkah rasa sesal karena
perbuatan kita yang salah daripada rasa frustrasi karena perbuatan
orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Nyatanya, jauh
lebih sering kita menyesali orang lain daripada kita menyesali diri
kita sendiri. Jauh lebih sering kita mau memaksa orang lain untuk
berubah daripada memaksa diri kita untuk berubah. Jadi, jika kita
sendiri ternyata gagal untuk memaksa diri kita untuk berubah, mengapa
kita harus memaksa orang lain untuk berubah menjadi seperti kita?
Atau mungkin kita merasa bahwa kebenaran kitalah yang pasti dengan K
besar, tetapi apakah kebenaran itu selain daripada hanya ada di
pikiran kita saja? Dan toh, setiap orang memiliki kebenaran dalam
pikiran masing-masing. Dengan kata lain, masing-masing pikiran
mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Dan sesungguhnya bukan hak
kita untuk memaksakan kebenaran itu. Juga bukan kewajiban kita untuk
mengubah orang lain untuk sama dengan pikiran kita. Bukan. Kita
memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang memiliki perbedaan
karena hidup ini beragam. Bukan seragam.
“Menjengkelkan!
Saya merasa sakit hati dan kecewa kepadanya.....” Perlukah itu?
Bergunakah itu? Haruskah itu? Aku tidak tahu. Tetapi sering aku
merasa betapa banyak hal yang sia-sia terjadi dalam hidup kita ini
karena kita hanya ingin mengurus dan mengatur orang lain sementara
kita sendiri gagal mengurus dan mengatur diri sendiri. Kita ingin
orang lain berubah sementara kita sendiri tak ingin berubah. Dan pada
akhirnya, kita mejadi kecewa, sakit hati, menderita atau melakukan
tindakan kasar yang semuanya berujung pada kegagalan kita untuk
menjalani kehidupan yang lebih baik. Dan mempersingkat usia kita
sendiri. Ah, betapa sia-sianya semua itu. Betapa sia-sianya.....
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar