17 Januari 2013

GALAU


Di jaman yang serba cepat ini, dimana semua peristiwa dapat kita ketahui secara langsung pada saat yang berbarengan, dan setiap kejadian itu membuat kita dapat memberikan reaksi dengan segera, ternyata menyembunyikan satu kekosongan besar dalam hidup. Kekosongan yang lahir secara diam-diam, ada tetapi tak terasa. Kecepatan akses setiap hal yang terjadi membuat kita hanya dapat bereaksi secara simultan, datang satu lupa satu. Dan diujungnya berdiri dengan ponggah sesosok mahluk yang nyata tetapi tak nampak: ketak-pedulian apa yang telah lalu. Topik kita hanya berada pada masa kini dan sekarang, sehingga segala sebab menjadi terlupakan dan dilupakan.

Di jaman dimana komunikasi antar manusia berlangsung dengan mudah dan langsung lewat aneka macam perangkat keras yang berada di tangan kita, membuat ketergantungan kita pada peralatan itu menjadi mutlak sehingga kita sering lupa bahwa diri kita sesungguhnya merupakan perangkat yang paling canggih dan tak terkalahkan yang telah dikaruniakan Tuhan sendiri kepada kita. Cobalah membayangkan bagaimana seandainya kita lupa atau kehilangan perangkat keras itu seakan-akan hubungan kita dengan sesama telah putus sama sekali. Padahal, bukankah bersama dan di sekitar kita ada banyak sesama yang mengelilingi kita namun tak kita sadari karena selama ini kita hanya terpaku pada layar kecil di depan kita.

Jaman memang telah berubah. Penemuan tehnologi sains dan elektronika membuat hidup kita menjadi jauh lebih mudah dan segala yang kita inginkan seakan-akan dapat diraih hanya dengan mengklik sebuah tombol saja. Dan sahabat maupun lawan yang kita punyai semakin banyak dan mudah kita baca dan dengan demikian, mudah pula kita komentari atau bercakap-cakap dengan mereka. Lewat ketikan-ketikan pada tuts yang terkadang sangat kecil, kita merasa betapa kita telah terhubung dengan seluruh kehidupan di muka bumi ini. Namun pada saat ini, kita sering tidak sadar betapa kita telah kehilangan suara kita sendiri. Kita telah menjadi manusia yang berkomunikasi lewat perangkat canggih dan lupa pada karunia percakapan sehari-hari yang penuh keakraban. Kata dan senyum.

Maka pasar tradisional dimana tawar menawar menjadi tali penghubung antar kita perlahan-lahan tergusur oleh supermarket (kata yang canggih dan modern) yang tanpa membutuhkan suara manusia karena harga telah terpampang dengan pasti dan kita hanya menerima begitu saja tanpa menyadari betapa kita ternyata kehilangan senyum manusiawi kita saat harga disepakati bersama. Dan pernahkah kita menyadari ketika seorang sahabat sedang mengalami masalah atau kedukaan, kita seakan-akan telah memberikan perasaan duka dan simpati kita lewat tulisan pendek seakan-akan kita ikut merasakan hal yang sama tetapi sesungguhnya kita tidak terlibat sama sekalli? Pernahkah kita sadari bahwa itu jauh lebih mudah daripada datang dan hadir secara langsung serta ikut membantu persoalan mereka?

Memang, jaman telah berubah. Dan banyak yang generasi sekarang mungkin tidak menyadari betapa dulu, jika kita ingin mengetik sebuah makalah dengan mesin ketik, memperbaiki sebuah kata atau kalimat bisa berarti mengulang kembali semuanya dari titik dimana kesalahan itu terjadi. Sekarang, hal demikian teramat mudah untuk dilakukan. Atau pernahkan dibayangkan betapa dulu jika kita menonton sebuah acara di TV yang memiliki beberapa chanel, kita harus bangkit dari kursi kita untuk mengganti chanel jika ingin pindah ke lain saluran karena belum memiliki remote-control. Dan jika kita ingin bertemu serta bercakap-cakap dengan teman, kita harus keluar dari kamar kecil kita untuk berkumpul dengan mereka sambil berbagi kisah dan tawa bersama. Sekarang kita kehilangan semua kebersamaan tersebut.

Hidup mungkin jauh lebih mudah sekarang. Tetapi hidup ternyata juga jauh lebih terasing. Dan membuat kita sangat tergantung pada perangkat keras sehingga kita pun kehilangan wajah penuh senyum dan tawa, upaya lebih keras dan membuat tubuh kita bergerak untuk mencapai apa yang kita inginkan, semangat untuk membantu mereka yang kesulitan dengan turut hadir secara fisik dalam pergulatan hidup sesama. Sekarang dan saat ini, kita hidup hanya dalam bayang-bayang dalam pikiran kita bahwa kita telah berbuat hanya dengan mengetik. Dan bahwa kita telah mengetahui hanya dengan membaca. Kita melupakan serta kehilangan pengalaman langsung. Di ujungnya, berdirilah dengan angkuh walau sering tak disadari, ketidak-pedulian kita kepada hidup ini sendiri. Kita hidup bersama ratusan atau bahkan ribuan teman dan sahabat sementara kita sendirian dalam kamar kecil kita. Sendirian. Dan tetap galau. Atau bahkan makin galau?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...