Di jaman yang serba cepat ini, dimana
semua peristiwa dapat kita ketahui secara langsung pada saat yang
berbarengan, dan setiap kejadian itu membuat kita dapat memberikan
reaksi dengan segera, ternyata menyembunyikan satu kekosongan besar
dalam hidup. Kekosongan yang lahir secara diam-diam, ada tetapi tak
terasa. Kecepatan akses setiap hal yang terjadi membuat kita hanya
dapat bereaksi secara simultan, datang satu lupa satu. Dan diujungnya
berdiri dengan ponggah sesosok mahluk yang nyata tetapi tak nampak:
ketak-pedulian apa yang telah lalu. Topik kita hanya berada pada masa
kini dan sekarang, sehingga segala sebab menjadi terlupakan dan
dilupakan.
Di jaman dimana komunikasi antar
manusia berlangsung dengan mudah dan langsung lewat aneka macam
perangkat keras yang berada di tangan kita, membuat ketergantungan
kita pada peralatan itu menjadi mutlak sehingga kita sering lupa
bahwa diri kita sesungguhnya merupakan perangkat yang paling canggih
dan tak terkalahkan yang telah dikaruniakan Tuhan sendiri kepada
kita. Cobalah membayangkan bagaimana seandainya kita lupa atau
kehilangan perangkat keras itu seakan-akan hubungan kita dengan
sesama telah putus sama sekali. Padahal, bukankah bersama dan di
sekitar kita ada banyak sesama yang mengelilingi kita namun tak kita
sadari karena selama ini kita hanya terpaku pada layar kecil di depan
kita.
Jaman memang telah berubah. Penemuan
tehnologi sains dan elektronika membuat hidup kita menjadi jauh lebih
mudah dan segala yang kita inginkan seakan-akan dapat diraih hanya
dengan mengklik sebuah tombol saja. Dan sahabat maupun lawan yang
kita punyai semakin banyak dan mudah kita baca dan dengan demikian,
mudah pula kita komentari atau bercakap-cakap dengan mereka. Lewat
ketikan-ketikan pada tuts yang terkadang sangat kecil, kita merasa
betapa kita telah terhubung dengan seluruh kehidupan di muka bumi
ini. Namun pada saat ini, kita sering tidak sadar betapa kita telah
kehilangan suara kita sendiri. Kita telah menjadi manusia yang
berkomunikasi lewat perangkat canggih dan lupa pada karunia
percakapan sehari-hari yang penuh keakraban. Kata dan senyum.
Maka pasar tradisional dimana tawar
menawar menjadi tali penghubung antar kita perlahan-lahan tergusur
oleh supermarket (kata yang canggih dan modern) yang tanpa
membutuhkan suara manusia karena harga telah terpampang dengan pasti
dan kita hanya menerima begitu saja tanpa menyadari betapa kita
ternyata kehilangan senyum manusiawi kita saat harga disepakati
bersama. Dan pernahkah kita menyadari ketika seorang sahabat sedang
mengalami masalah atau kedukaan, kita seakan-akan telah memberikan
perasaan duka dan simpati kita lewat tulisan pendek seakan-akan kita
ikut merasakan hal yang sama tetapi sesungguhnya kita tidak terlibat
sama sekalli? Pernahkah kita sadari bahwa itu jauh lebih mudah
daripada datang dan hadir secara langsung serta ikut membantu
persoalan mereka?
Memang, jaman telah berubah. Dan banyak
yang generasi sekarang mungkin tidak menyadari betapa dulu, jika kita
ingin mengetik sebuah makalah dengan mesin ketik, memperbaiki sebuah
kata atau kalimat bisa berarti mengulang kembali semuanya dari titik
dimana kesalahan itu terjadi. Sekarang, hal demikian teramat mudah
untuk dilakukan. Atau pernahkan dibayangkan betapa dulu jika kita
menonton sebuah acara di TV yang memiliki beberapa chanel, kita harus
bangkit dari kursi kita untuk mengganti chanel jika ingin pindah ke
lain saluran karena belum memiliki remote-control. Dan jika kita
ingin bertemu serta bercakap-cakap dengan teman, kita harus keluar
dari kamar kecil kita untuk berkumpul dengan mereka sambil berbagi
kisah dan tawa bersama. Sekarang kita kehilangan semua kebersamaan
tersebut.
Hidup mungkin jauh lebih mudah
sekarang. Tetapi hidup ternyata juga jauh lebih terasing. Dan membuat
kita sangat tergantung pada perangkat keras sehingga kita pun
kehilangan wajah penuh senyum dan tawa, upaya lebih keras dan membuat
tubuh kita bergerak untuk mencapai apa yang kita inginkan, semangat
untuk membantu mereka yang kesulitan dengan turut hadir secara fisik
dalam pergulatan hidup sesama. Sekarang dan saat ini, kita hidup
hanya dalam bayang-bayang dalam pikiran kita bahwa kita telah berbuat
hanya dengan mengetik. Dan bahwa kita telah mengetahui hanya dengan
membaca. Kita melupakan serta kehilangan pengalaman langsung. Di
ujungnya, berdirilah dengan angkuh walau sering tak disadari,
ketidak-pedulian kita kepada hidup ini sendiri. Kita hidup bersama
ratusan atau bahkan ribuan teman dan sahabat sementara kita sendirian
dalam kamar kecil kita. Sendirian. Dan tetap galau. Atau bahkan makin
galau?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar