09 Agustus 2013

APATIS

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Mat 7:7)

Saya tidak tahu mengapa sekarang kelihatannya umat menjadi apatis. Semakin tidak peduli akan keadaan gereja dan seakan-akan hanya berkewajiban setiap hari minggu datang, mengikuti perayaan ekaristi dan pulang begitu saja....” demikian suatu hari seorang ketua dewan pastoral mengeluh. “Demikian pula dengan para anggota dewan pengurus. Setiap rapat atau pertemuan hanya dihadiri oleh segelintir orang yang itu-itu saja. Sementara puluhan nama yang seharusnya terlibat tak pernah diketahui wajahnya. Hanya nama saja yang ada. Hanya nama...”

Keluhan demikian mungkin pula pernah atau sedang kita alami atau saksikan sendiri. Tentu tidak ada jawaban yang pasti mengapa hal itu terjadi. Ada banyak kemungkinan mengenai sebab-sebab keapatisan umat dalam kegiatan yang diadakan. Tetapi barangkali sebuah ilustrasi dari kisah nyata ini dapat membuat kita lebih bijak menyikapi hal itu. Bahwa barangkali ada sebab-sebab tertentu mengapa umat terasa menjauh dari setiap kegiatan yang diadakan sebuah paroki. Atau tak ingin terlibat secara langsung.

Saya pernah mengalami hal ini: sebuah undangan untuk rapat panitia suatu kegiatan dikirimkan kepadaku. Undangan rapat itu akan diadakan pada pukul 16.00 sore. Dan karena kemungkinan saya perhitungkan rapat akan berlangsung sekitar 3 jam saja, maka saya menyetujui janji sebuah pertemuan lain pada pukul 20.00 malamnya. Tetapi ketika saya sudah tiba di ruang rapat yang telah ditentukan, ternyata beberapa orang anggota panitia telah hadir tetapi para pengurus inti bahkan yang mengundang pun belum muncul. Kami terpaksa menunggu. Menunggu terus hingga satu per satu pengurus muncul. Dan sang pengundang sendiri baru hadir sekitar pukul 18.00 lewat. Akibatnya rapat baru dimulai sekitar pukul 18.30 petang. Saya mengajukan protes tentang keterlambatan itu, tetapi hanya dijawab dengan rasa tak bersalah pula, bahwa lagi ada kesibukan lain. Sibuk. Karena rapat baru dimulai pada pukul 18.30 sementara janjiku dengan seorang rekan pada pukul 20.00, saya terpaksa meninggalkan pertemuan itu sebelum materi inti dibicarakan...” kisah seorang teman. “Bagiku sendiri, sibuk alasan yang masuk akal. Jika ketua panitia tahu bahwa dia tak bisa menepati janji waktunya, mengapa dia tidak mengadakan rapat sesuai dengan waktu yang pasti dapat ditepatinya? Jika alasan sibuk diberikan, tidakkah setiap orang juga sibuk? Termasuk saya. Bagiku, apa yang terjadi bukanlah kesalahan sibuk, yang sayangnya sering dijadikan alasan keterlambatan, tetapi lebih pada masalah pengaturan waktu....”

Kami malas untuk mengikuti rapat karena semua yang akan dibicarakan hanya masalah pembagian tugas atau kerja. Dalam rapat tidak pernah dibicarakan rencana apa yang akan diadakan tetapi sudah pada apa yang akan dikerjakan oleh masing-masing anggota yang diundang tanpa terlebih dahulu menanyakan pendapat kami apakah rencana kerja itu layak atau tidak untuk dijalankan. Dan setiap pendapat yang kami ajukan pada akhirnya selalu ditolak atau mungkin diterima tetapi pada akhirnya tidak dilaksanakan dengan alasan bahwa sudah ada daftar kerja yang telah disusun dan harus dilaksanakan. Harus. Dan lebih menjengkelkan lagi, pada saat kerja dipersiapkan, yang merencanakan acara itu sendiri tidak muncul. Tidak pernah muncul. Baru kemudian di acara puncak, dengan bangga hadir dan berlaku seakan-akan itu semua hasil kerjanya. Kami hanya dijadikan pekerja saja tanpa dapat bersuara apa-apa...” keluh seorang pengurus yang lain suatu ketika.

Lalu suatu ketika saya pernah menanyakan mengapa seseorang enggan untuk terlibat di dalam kegiatan gereja. Jawabannya sungguh sederhana, “kan sudah ada orang-orang yang bertugas..” Dan ketika saya berkata bahwa memang sudah ada orang-orang yang mau bertugas, tetapi hanya yang itu-itu saja, dia menjawab, “saya tidak tahu harus terlibat dalam hal apa karena saya tidak pernah dihubungi sama sekali.” Ya, tidak jarang kita meilhat betapa hanya orang-orang tertentu saja yang mau dan selalu mau untuk melakukan tugas-tugas di gereja tanpa pernah mencari kemungkinan-kemungkinan lain karena berasumsi bahwa tidak ada orang yang mau menggantikannya. Padahal pernahkah kita berusaha mencari? Pernahkah kita menanyakan? Pernahkah kita menghubungi sekian banyak umat yang ada dalam paroki itu? Atau mungkin karena hanya sekali dua mencari tetapi ditolak, maka kita lalu hanya menunggu saja? Dan tidakkah lebih sering kita hanya menunggu dan menunggu ada yang mau menawarkan diri sementara yang lain menunggu untuk ditawari. Akibatnya, yang nampak seakan-akan bersedia untuk bekerja hanya mereka yang itu-itu saja.
Maka bagiku, pertanyaan mengapa umat seakan-akan kelihatan apatis, tidak peduli dan tidak mau terlibat dalam kegiatan di paroki barangkali mesti dirubah menjadi bagaimanakah kita mau merubah diri agar umat dapat lebih terlibat dan tidak hanya melihat kelemahan-kelemahan pada orang lain. Walau tak dapat dipungkiri bahwa memang ada yang sungguh tak mau terlibat dan melibatkan diri dalam kegiatan apa saja, pasti ada juga yang mau tetapi enggan terlibat bukan karena sibuk tetapi mungkin karena para pengurus selalu memakai ukuran kesibukannya sendiri tanpa sadar bahwa sesungguhnya dia dapat melakukan lebih baik jika mampu untuk mengelola waktu. Atau lebih lapang dalam mencari ide-ide atau usulan orang lain dan tidak hanya mengikatkan dirinya pada rencananya sendiri. Atau lebih aktip mencari dan memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dan tidak memborongnya untuk selalu dia dan dia saja yang mampu.

Memang, ‘pekerja sedikit dan tuaian banyak’ tetapi toh tidak bisa juga kita hanya berdiam diri tak berubah dan tak ingin mengubah diri serta hanya menunggu datangnya sebuah mujizat. Kita harus berusaha dengan terus meminta, mencari, mengetok secara terus menerus agar keapatisan itu dapat berubah menjadi dinamis dan menuju kemajuan bersama. Bagaimana pun, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Semoga kita tidak hanya lelap dalam kebiasaan sehari-hari yang hanya menerima dan menerima saja apa yang ada. Tidak. Minta, cari dan ketoklah maka yakinlah bahwa segalanya akan berubah menjadi lebih baik. Dan meninggalkan perasaan apatis yang sesungguhnya mungkin hanya ada dalam pikiran dan anggapan kita saja. Sebab sesungguhnya hidup ini sungguh dinamis. Teramat dinamis.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...