"Mintalah,
maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat;
ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.”
(Mat 7:7)
“Saya
tidak tahu mengapa sekarang kelihatannya umat menjadi apatis. Semakin
tidak peduli akan keadaan gereja dan seakan-akan hanya berkewajiban
setiap hari minggu datang, mengikuti perayaan ekaristi dan pulang
begitu saja....” demikian
suatu hari seorang ketua dewan pastoral mengeluh. “Demikian
pula dengan para anggota dewan pengurus. Setiap rapat atau pertemuan
hanya dihadiri oleh segelintir orang yang itu-itu saja. Sementara
puluhan nama yang seharusnya terlibat tak pernah diketahui wajahnya.
Hanya nama saja yang ada. Hanya nama...”
Keluhan
demikian mungkin pula pernah atau sedang kita alami atau saksikan
sendiri. Tentu tidak ada jawaban yang pasti mengapa hal itu terjadi.
Ada banyak kemungkinan mengenai sebab-sebab keapatisan umat dalam
kegiatan yang diadakan. Tetapi barangkali sebuah ilustrasi dari kisah
nyata ini dapat membuat kita lebih bijak menyikapi hal itu. Bahwa
barangkali ada sebab-sebab tertentu mengapa umat terasa menjauh dari
setiap kegiatan yang diadakan sebuah paroki. Atau tak ingin terlibat
secara langsung.
“Saya
pernah mengalami hal ini: sebuah undangan untuk rapat panitia suatu
kegiatan dikirimkan kepadaku. Undangan rapat itu akan diadakan pada
pukul 16.00 sore. Dan karena kemungkinan saya perhitungkan rapat akan
berlangsung sekitar 3 jam saja, maka saya menyetujui janji sebuah
pertemuan lain pada pukul 20.00 malamnya. Tetapi ketika saya sudah
tiba di ruang rapat yang telah ditentukan, ternyata beberapa orang
anggota panitia telah hadir tetapi para pengurus inti bahkan yang
mengundang pun belum muncul. Kami terpaksa menunggu. Menunggu terus
hingga satu per satu pengurus muncul. Dan sang pengundang sendiri
baru hadir sekitar pukul 18.00 lewat. Akibatnya rapat baru dimulai
sekitar pukul 18.30 petang. Saya mengajukan protes tentang
keterlambatan itu, tetapi hanya dijawab dengan rasa tak bersalah
pula, bahwa lagi ada kesibukan lain. Sibuk. Karena rapat baru dimulai
pada pukul 18.30 sementara janjiku dengan seorang rekan pada pukul
20.00, saya terpaksa meninggalkan pertemuan itu sebelum materi inti
dibicarakan...” kisah seorang
teman. “Bagiku sendiri, sibuk
alasan yang masuk akal. Jika ketua panitia tahu bahwa dia tak bisa
menepati janji waktunya, mengapa dia tidak mengadakan rapat sesuai
dengan waktu yang pasti dapat ditepatinya? Jika alasan sibuk
diberikan, tidakkah setiap orang juga sibuk? Termasuk saya. Bagiku,
apa yang terjadi bukanlah kesalahan sibuk, yang sayangnya sering
dijadikan alasan keterlambatan, tetapi lebih pada masalah pengaturan
waktu....”
“Kami
malas untuk mengikuti rapat karena semua yang akan dibicarakan hanya
masalah pembagian tugas atau kerja. Dalam rapat tidak pernah
dibicarakan rencana apa yang akan diadakan tetapi sudah pada apa yang
akan dikerjakan oleh masing-masing anggota yang diundang tanpa
terlebih dahulu menanyakan pendapat kami apakah rencana kerja itu
layak atau tidak untuk dijalankan. Dan setiap pendapat yang kami
ajukan pada akhirnya selalu ditolak atau mungkin diterima tetapi pada
akhirnya tidak dilaksanakan dengan alasan bahwa sudah ada daftar
kerja yang telah disusun dan harus dilaksanakan. Harus. Dan lebih
menjengkelkan lagi, pada saat kerja dipersiapkan, yang merencanakan
acara itu sendiri tidak muncul. Tidak pernah muncul. Baru kemudian di
acara puncak, dengan bangga hadir dan berlaku seakan-akan itu semua
hasil kerjanya. Kami hanya dijadikan pekerja saja tanpa dapat
bersuara apa-apa...” keluh
seorang pengurus yang lain suatu ketika.
Lalu suatu
ketika saya pernah menanyakan mengapa seseorang enggan untuk terlibat
di dalam kegiatan gereja. Jawabannya sungguh sederhana, “kan
sudah ada orang-orang yang bertugas..”
Dan ketika saya berkata bahwa memang sudah ada orang-orang yang mau
bertugas, tetapi hanya yang itu-itu saja, dia menjawab, “saya
tidak tahu harus terlibat dalam hal apa karena saya tidak pernah
dihubungi sama sekali.” Ya,
tidak jarang kita meilhat betapa hanya orang-orang tertentu saja yang
mau dan selalu mau untuk melakukan tugas-tugas di gereja tanpa pernah
mencari kemungkinan-kemungkinan lain karena berasumsi bahwa tidak ada
orang yang mau menggantikannya. Padahal pernahkah kita berusaha
mencari? Pernahkah kita menanyakan? Pernahkah kita menghubungi sekian
banyak umat yang ada dalam paroki itu? Atau mungkin karena hanya
sekali dua mencari tetapi ditolak, maka kita lalu hanya menunggu
saja? Dan tidakkah lebih sering kita hanya menunggu dan menunggu ada
yang mau menawarkan diri sementara yang lain menunggu untuk ditawari.
Akibatnya, yang nampak seakan-akan bersedia untuk bekerja hanya
mereka yang itu-itu saja.
Maka bagiku,
pertanyaan mengapa umat seakan-akan kelihatan apatis, tidak peduli
dan tidak mau terlibat dalam kegiatan di paroki barangkali mesti
dirubah menjadi bagaimanakah kita mau merubah diri agar umat dapat
lebih terlibat dan tidak hanya melihat kelemahan-kelemahan pada orang
lain. Walau tak dapat dipungkiri bahwa memang ada yang sungguh tak
mau terlibat dan melibatkan diri dalam kegiatan apa saja, pasti ada
juga yang mau tetapi enggan terlibat bukan karena sibuk tetapi
mungkin karena para pengurus selalu memakai ukuran kesibukannya
sendiri tanpa sadar bahwa sesungguhnya dia dapat melakukan lebih baik
jika mampu untuk mengelola waktu. Atau lebih lapang dalam mencari
ide-ide atau usulan orang lain dan tidak hanya mengikatkan dirinya
pada rencananya sendiri. Atau lebih aktip mencari dan memberikan
kepercayaan kepada orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu
dan tidak memborongnya untuk selalu dia dan dia saja yang mampu.
Memang,
‘pekerja sedikit dan tuaian banyak’ tetapi toh tidak bisa juga
kita hanya berdiam diri tak berubah dan tak ingin mengubah diri serta
hanya menunggu datangnya sebuah mujizat. Kita harus berusaha dengan
terus meminta, mencari, mengetok secara terus menerus agar keapatisan
itu dapat berubah menjadi dinamis dan menuju kemajuan bersama.
Bagaimana pun, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Semoga
kita tidak hanya lelap dalam kebiasaan sehari-hari yang hanya
menerima dan menerima saja apa yang ada. Tidak. Minta, cari dan
ketoklah maka yakinlah bahwa segalanya akan berubah menjadi lebih
baik. Dan meninggalkan perasaan apatis yang sesungguhnya mungkin
hanya ada dalam pikiran dan anggapan kita saja. Sebab sesungguhnya
hidup ini sungguh dinamis. Teramat dinamis.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar