Saya senang
menatap langit malam. Saat udara cerah dan bintang-bintang
menampakkan keindahannya jauh tinggi di atas kepalaku. Saya senang
menyaksikan kelap-kelip cahayanya yang demikian indah, yang berasal
dari alam semesta yang seakan tak berujung jauh di sana. Tetapi,
selain memandang bintik cahaya bintang, saya juga merenungkan betapa
langit malam yang sedang kutatap ini sesungguhnya merupakan cermin
masa lalu alam semesta. Cermin masa lalu keberadaan kita.
Bukankah apa
yang saat ini dan sekarang saya nikmati sesungguhnya adalah masa
lampau dari titik-titik cahaya itu sendiri? Saya ada disini,
sekarang, tetapi entah apakah titik cahaya itu masih ada sekarang?
Ataukah dia telah meredup lalu lenyap sebagai lubang hitam yang tak
tembus pandang bahkan tak lagi punya waktu nyata? Saya tidak tahu.
Yang jelas, langit bagaikan cermin masa lalu. Kita sedang menyaksikan
yang bukan sekarang. Kita memandang ke masa lampau sedang apa yang
ada kini hanya menjadi teka-teki yang mungkin tak bisa dijawab.
Saya sungguh
senang menatap ke langit malam, menyadari keberadaan diriku, sambil
merenungkan betapa singkatnya waktuku di alam semesta ini. Menatap
cahaya bintang yang bersinar dari puluhan, ratusan bahkan ribuan
tahun yang lampau, masa lalu tiba sekarang, sedang masa sekarang
sesungguhnya mengandung rahasia yang sangat sulit diselami. Kesadaran
keberadaanku, merasakan elusan lembut angin malam, mendengarkan suara
nyanyian binatang malam, sambil menatap jauh ke langit yang
menampakkan masa lampaunya, sebagai cermin tak berbatas, saya sungguh
terpesona padanya. Sungguh membuatku takjub. Misteri ah, misteri
kehidupan ini sungguh luas tak terbatas...
Langit malam.
Indah mempesona. Rahasia yang membisu. Dan yang dapat kulakukan hanya
menikmati dan merenungkan betapa tak terbatasnya kebesaran semesta
dalam kekerdilan diri ini. Debu. Sungguh, hanya debulah kita ini.
Sesuatu yang sangat rapuh di luasnya misteri dan panjangnya masa. Dan
kelak, kita pun akan menjadi lubang hitam yang tak berada lagi dalam
sejarah. Kelak, kita akan melemah dimakan waktu, menua dan kemudian
kehilangan waktu yang sangat mempesona ini. Kelak, ya kelak, kita
mungkin dapat disaksikan oleh mereka yang berada jauh, jauh di langit
malam itu. Sementara kita tak ada lagi. Tak ada lagi. Betapa
menakjubkannya.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar