Memandang
sang surya terbenam setelah siang yang teramat terik bagaikan
memandang satu keindahan yang memukau setelah melintasi suatu
perjalanan yang melelahkan. Pendar-pendar warna lembayung yang di
ujungnya melepaskan sinar panjang menuju ujung yang tak berbatas
sekan memanggil jiwa untuk melepaskan penat setelah sebuah perjuangan
untuk menghidupi diri. Adalah satu kenyataan bahwa segala yang
menakjubkan yang berasal dari alam seringkali luput kita saksikan
walau dia ada di depan mata. Bukan karena kita tidak melihatnya.
Tetapi lebih sering karena kita hanya memusatkan pandangan kita jauh
ke dalam diri sendiri. Sesuatu yang indah tidak senantiasa terlihat
saat kita diselimuti kabut kepentingan diri kita.
Ya, sedikit
banyak kita seringkali tidak dapat menyaksikan indahnya kehidupan ini
saat kita hanya memikirkan diri kita. Hanya memikirkan bagaimana
untuk menghidupi diri, untuk menambah pemilikan kita, untuk terus
memiliki, menambah dan makin menumpuk segala kepemilikan kita.
Hasrat, ambisi, kekayaan, kekuasaan dan kekuatan yang tak terbatas
membuat kita lupa bahwa sesungguhnya ada yang jauh lebih indah dalam
hidup ini selain dari kepemilikan kita. Lihatlah, senja yang indah
ini telah menjadi milik kita yang sangat menakjubkan tetapi mungkin
karena juga menjadi milik siapa saja yang mampu meresapinya maka dia
menjadi tidak berharga sama sekali. Sayang, sungguh sayang jika
demikian hidup yang kita jalani. Kita gagal untuk menikmati keindahan
yang sesungguhnya. Keindahan bersama seluruh isi alam semesta ini.
Kebersamaan.
Tahukah kita
bahwa hidup yang seringkali terasa pelik bagi kita ini sesungguhnya
berlangsung sangat sederhana? Lihatlah pada bunga yang berkembang,
pada cahaya bintang di subuh yang dingin, pada tetes air di rintik
hujan yang menerpa dedaunan hijau, pada keanggunan gunung dan
keluasan samudra yang tak kelihatan ujungnya. Pada apa saja yang
setiap saat dapat kita lihat dan kita rasakan. Bahkan pada suara
eongan kucing dan gonggongan anjing di tengah malam yang senyap.
Semuanya mengandung makna sederhana. Bahwa hidup ada. Hidup berjalan.
Hidup ini nyata. Sesungguhnya, tak ada yang lebih indah daripada itu.
Kita telah diberikan semuanya. Dengan bebas. Dengan cuma-cuma. Alam
itu sendiri adalah anugerah terindah yang dapat kita nikmati. Lalu
mengapa kita berhasrat untuk memilikinya sendiri? Dan enggan untuk
berbagi dengan sesama? Apakah kepemilikan sendiri jauh lebih utama
daripada kepemilikan bersama hanya karena itu berarti bahwa kita
istimewa? Bahwa kita memiliki kuasa? Bahwa kita yang paling utama?
Apa artinya semua itu saat kita kelak menemui sang pemilik kehidupan?
Adakah gunanya kekuasaan-kekuatan-kekayaan kita? Adakah?
Memandang
sang surya yang perlahan merayap memasuki horison sambil meninggalkan
kegelapan yang perlahan mulai menutup langit, selalu membuatku
merenung tentang sesuatu yang telah ditinggalkannya sepanjang
keberadaannya selama dia memberikan cahayanya bagi kita semua.
Kesadaran bahwa dia pergi tetapi tidak menghilang, karena dia pergi
dari kita hanya untuk menemui yang lain di bagian barat sana untuk
nanti, keesokan harinya akan muncul kembali dari timur menemui kita.
Demikianlah sang surya berputar mengelilingi bumi sama seperti hidup
berputar bagaikan roda dalam kehidupan kita: kadang saat-saat kelam
tiba tetapi dilain waktu kegembiraan membuncah dengan penuh tawa
riang. Itulah sesungguhnya yang membuat kita memiliki kesempatan
untuk menikmati kehidupan ini. Bukan dengan kepemilikan pribadi.
Bukan dengan kemampuan kita untuk menguasai, membiayai dan memaksa
alam mengikuti kehendak dan niat kita. Bukan itu.
Karena
percayalah, alam tak mungkin kita taklukkan. Alam tak pernah dapat
kita kuasai walau mungkin kita merasa mampu untuk menerabas semua
yang ada demi keuntungan kita, sekali waktu dia akan merebut semua
kepemilikan kita itu dengan suatu daya yang tak pernah dapat kita
hadapi. Bahkan tak mampu kita pastikan. Walau mungkin kita bisa
menduga bahwa itu akan terjadi tetapi tak selalu dapat menghentikan
hasrat kita, atau sebagian dari kita untuk menguasai dan
menaklukkannya. Hingga saat ketika bencana tiba. Hingga saat ketika
kita semua harus gigit jari dan mengerang sedih. Kita semua. Sebab
alam ini ada untuk semua, dan bukan kepemilikan pribadi-pribadi
tertentu saja. Alam tak pernah menginginkan dirinya dimiliki hanya
oleh segelintir orang tetapi rela memberikan dirinya kepada semua
mahluk. Siapa pun dia. Apa pun dia. Dan bagaimana pun dia adanya.
Maka di senja
hari ini, aku menyaksikan panorama yang demikian menakjubkan ini
sambil berharap agar semua kita mampu pula menyaksikan dan merasakan
keindahan ini sambil sejenak melupakan kepentingan-kepentingan
pribadi masing-masing. Dengan demikian, kita dapat mencintainya. Kita
ingin memeluknya sekaligus memeluk semua miliknya karena itulah yang
diinginkannya. Keindahan ini dipersembahkannya bagi semua mahluk yang
mau menikmatinya. Dan semoga semua mahluk berbahagia karena
keberadaannya. Semoga semua mahluk hidup dalam kebersamaan dengan
dia, saling menyayangi, saling mencintai dan saling membagikan
keindahan masing-masing sama seperti dia telah rela membagikan
dirinya buat semuanya. Kepada semuanya.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar