Dia lahir
dengan kebencian. Sebagai putra yang tak dikehendaki, tetapi gagal
untuk disingkirkan, dia tumbuh bersama perasaan yang tanpa kasih
sayang dan perhatian. Ibunya yang pemarah karena tekanan depresi
akibat perasaan gagal dalam hidup. Ayah yang bukan ayah kandungnya
memperlakukannya dengan buruk dan terkadang memperlihatkan sikap yang
menganggapnya hanya sebagai sampah yang tak berguna. Dan bersama
dalam keluarga yang penuh percekcokan serta ketidak-harmonisan. Dia
lahir dengan kebencian serta dendam atas situasi dan kondisi yang
mengelilinginya.
Menjalani
masa kanak-kanan yang seharusnya indah dan penuh keceriaan, dia
tenggelam dalam kegamangan pada apapun yang dihadapinya. Hidup tanpa
perawatan yang wajar, tanpa kasih sayang, tersisih dari keluarga dan
sendirian menerima kenyataan yang terkadang tak dipahaminya namun tak
seorang pun dapat memberi penjelasan kepadanya. Mengapa? Untuk apa?
Bagaimana? Dia hanya tahu, bahwa dia tumbuh dan berkembang dalam
kondisi yang sangat sendirian dan sangat kesepian. Kesepian dan sakit
hati. Serta dendam menghadapi kenyataan yang ada.
Hidup dengan
luka yang menganga. Hidup dengan keinginan untuk membalas segala
kepahitan ini. Dia tahu, bahwa ini adalah kenyataan hidupnya. Dia tak
pernah menginginkan keberadaannya tetapi sekarang dia telah ada, maka
dia harus menerima apa saja yang saat ini dia miliki. Menerima walau
penuh kekecewaan. Walau penuh perasaan yang pahit. Tetapi hidup tak
harus berhenti. Sekali dia ada, maka dia tetap ada. Tak mungkin
terhapuskan. Tak bisa dihilangkan. Mustahil. Dia telah hidup. Dan
akan tetap hidup.
Maka setiap
saat dia berjuang untuk menerima dan menghadapi perasaannya sendiri.
Setamat sekolah menengah atas negeri, dia meninggalkan rumahnya.
Meninggalkan ibu dan ayah tirinya. Dengan menyelinap ke atas sebuah
kapal penumpang secara gelap, dia lari ke ibukota. Untuk mencari
nasibnya sendiri. Untuk menemukan apa yang telah hilang dan
mendapatkan apa yang pantas baginya. Hidup dengan bermodalkan nekad
dan ambisi untuk membalas kepada dunia segala keperihan yang telah
diberikan kepadanya. Hidup dan tetap hidup. Berjuang dan tetap
berjuang. Tanpa perasaan putus asa. Dia menerima dan menghadapi
hidupnya sendiri. Sendiri.
Dan dia
berhasil. Memulai langkahnya dengan tinggal dan bekerja di sebuah
pangkalan pembeli besi tua. Sebagai remaja dengan masa kanak-kanak
yang hilang, dia bekerja dengan baik dan yang terutama, tulus
sehingga mendapat kepercayaan dari sang pemilik usaha. Dan setelah
beberapa tahun kemudian, setelah mendapat banyak pengalaman dalam
bidang itu, dia kembali ke kotanya dan memulai usaha yang telah
digelutinya bermodalkan semua penghasilan yang telah diperolehnya.
Demikianlah, kini dia memiliki usaha yang dapat menghidupi dirinya,
keluarganya dan bahkan beberapa anak asuhnya. Menakjubkan.
Tetapi yang
luar biasa adalah ini: dia tahu untuk apa dia hidup. Dia tahu nilai
dari kesendirian, kepahitan dan kekecewaan. Dia tahu membalas dendam
dengan baik. Membalas dendam bukan dengan menambah kekecewaan,
kepahitan atau kehancuran dalam hidupnya. Tetapi dengan mengubahnya
menjadi berkat bagi dirinya dan sesama. Mengubah kebencian menjadi
rahmat. Maka siapa bilang bahwa dendam itu buruk dapat bercermin pada
kehidupannya. Siapa yang berpikir bahwa kepahitan itu tak mungkin
tersembuhkan dapat mengambil teladan dari hidupnya. Sesuatu yang
berawal buruk bisa dan harus berakhir baik. Sangat baik.
Dan
percayalah, walau aku tahu bahwa sebagai pengusaha yang berhasil, dia
tidak terlalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan di gereja, hidupnya
sendiri telah menjadi contoh pewartaan yang baik. Bahwa sakit hati
tidak harus berbuah pembalasan dengan kekerasan. Bahwa rasa benci
tidak harus diselesaikan dengan kekejaman. Bahwa kepahitan dalam
hidup ini tidak harus berujung dengan meninggalkan cinta kasih.
Justru karena kesadaran betapa pentingnya memiliki kasih sayang, dia
yang di awal hidupnya luput mnemilikinya, kini malah membagikannya
dengan murah hati. Karena dia sadar betapa pentingnya itu. Dan betapa
dibutuhkannya itu. Maka betapa indahnya hidup ini. Baginya. Dan bagi
kita, inilah yang membuat hidup indah. Kisah sedih tidak selalu
berakhir tragis. Tidak selalu.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar