Kita harus
membayangkan Sisifus berbahagia
(Mite
Sisifus – Albert
Camus)
Sisifus
adalah nama seorang manusia yang dihukum oleh para dewa untuk
mendorong sebuah batu besar ke puncak gunung, tetapi saat tiba di
puncak, terdorong oleh beratnya, kembali akan meluncur ke kaki gunung
sehingga seakan menjadi sebuah tugas yang sia-sia dan tanpa arti
bahkan mustahil sama sekali. Kisah ini berasal dari legenda Junani
yang sangat terkenal yang ditulis oleh Homerus.
Sisifus
pun menjadi lambang ketidak-berdayaan manusia menerima dan menghadapi
hidupnya, kerja keras yang pada akhirnya akan sia-sia, ambisi dan
hasrat yang tak punya makna apa-apa saat berhadapan dengan akhir
kehidupan ini.
“Kita
harus membayangkan Sisifus berbahagia”
tulis Albert Camus, sastrawan dan filsuf Perancis penerima hadiah
Nobel pada tahun.... Menurut Camus, hidup tidak diukur dari apa yang
coba diraih seseorang, tidak dari tujuan yang dapat dicapai tetapi
dalam bagaimana dia menjalani proses menuju tujuan itu sendiri.
Apakah kelak dia berhasil atau gagal, sesungguhnya tidak terlalu
berarti lagi. Karena proses-lah yang paling penting. Dan hidup harus
kita jalani sepenuhnya berdasarkan proses keberadaan kita, bukan pada
tujuan yang mungkin dapat ataukah gagal kita raih. Dengan kata lain,
kita bisa umpamakan bahwa dalam sebuah pertandingan sepakbola
misalnya, kemenangan atau kekalahan tidaklah sepenting bagaimana kita
dapat bermain dengan indah, jujur dan penuh semangat. Ya, bermain
jauh lebih bermakna daripada hasil dari permainan itu sendiri.
Demikianlah
aku merenungkan hal itu saat aku dalam perjalanan antara Jakarta
menuju Bandung lewat jalan tol yang mempersingkat waktu tempuh kedua
kota tersebut. Dan terasalah ada yang hilang dari ketika sebelum ada
jalan tol ini, aku menikmati jalur lama yang melewati jalan biasa
sambil memandang panorama keindahan alam di Puncak dan seputarnya.
Ya, nyatanya hidup saat ini semakin jatuh cinta pada jalan pintas.
Makin cepat makin baik. Dan aku tiba-tiba membayangkan berapa banyak
tetangga, sahabat atau bahkan keluarga yang harus terpisahkan karena
adanya jalan tol itu sehingga mereka tak lagi mudah untuk saling
berkunjung satu sama lain, tetapi harus mengambil jalan memutar yang
jauh, teramat jauh hanya agar kita dapat menikmati kecepatan dan
kenyamanan tersebut. Memang, kini semuanya lalu dibuat serba instan.
Ada makanan instan, cepat saji, kaya pun dibuat instan dengan korupsi
dan segala macam penerabasan pada etiket, adat dan hukum. Pun sampai
ke cinta instan, pernikahan instan dan sebagian dari kita tetap dan
sangat menyukai lewat jalur tol itu walau belum tentu bebas macet.
Proses yang umumnya terasa lama dan berbelit-belit dibuat jadi cepat
dan ringkas walau belum tentu nyaman dan baik.
Lalu aku
mengenang di masa-masa lalu, ketika aku melihat nenek membuat makanan
dengan peralatan yang serba sederhana, dimana semua belum tersedia di
pasar-pasar swalayan seperti saat ini: santan harus diperas sendiri
dari kelapa yang juga dikerik sendiri, tepung beras harus ditumbuk
sendiri dari beras dengan memakai alu sederhana, dan hingga kulit
lumpia yang harus diremas dan digiling sendiri dengan memakai
potongan bambu yang sangat sederhana, tetapi anehnya, rasanya sungguh
nikmat dan tak terlupakan bahkan hingga saat ini, dimana semua dapat
dibeli dan dinikmati asal kita memiliki uang. Bahkan kerja membuat
segala macam itu seringkali dilakukan secara bersama-sama dengan para
om dan tante bahkan tetangga sambil mereka bercerita segala macam
soal yang membuat suasana terasa akrab dan penuh persahabatan. Namun
semuanya telah berubah. Dan ketika semua dapat kita beli, uang pun
tiba-tiba menjadi sang primadona. Tanpa uang, segalanya tak ada,
bahkan saudara, sahabat dan tetangga pun menghilang. Tak heran, di
masa sekarang ini, semuanya dibuat serba cepat, serba mudah, serba
indah dalam penampilan tetapi terasalah betapa ada kekosongan dalam
jiwa yang selalu mendamba sesuatu yang akrab. Sesuatu yang bukan
hanya hasil tetapi juga proses untuk mengada. Bukan hanya buah tetapi
pertumbuhan untuk menjadi buah......
“Kita
harus membayangkan Sisifus berbahagia”
tulis Albert Camus. Tetapi berbahagiakah kita saat kita tidak lagi
mau mendorong batu besar itu menuju ke puncak tetapi langsung dapat
berada di puncak tanpa melakukan upaya apa-apa kecuali hanya dengan
membayar? Berbahagiakah kita dengan apa yang kita dapat dengan
membayar itu? Bahkan berbahagiakah kita dengan menerima uang untuk
membayar itu tanpa usaha sama sekali kecuali dengan memakai jalan
pintas, mempergunakan segala macam koneksi, kolusi kekuatan dan
kekuasaan kita lewat jalur tol yang barangkali membuat segala
sesuatunya lancar walau tidak tanpa kemacetan sama sekali?
Berbahagiakah kita dengan keberadaan jalan tol itu walau secara tak
kelihatan dapat mengurbankan kehidupan banyak orang lain yang
terpaksa harus terpisah karena keberadaan tol itu? Berbahagiakah kita
dengan semua itu? Berbahagiakah hidup kita sekarang? Saat ini?
Berbahagiakah kita? Semoga. Walau sayangnya, kita tak mungkin hanya
dengan memandang makanan yang tersaji di depan kita maka kitapun akan
kenyang seketika. Selalu perlu proses untuk memasukkan ke mulut,
mengunyahnya secara perlahan, walau selalu ada yang ingin
terburu-buru tapi pasti sangat jarang yang langsung menelannya begitu
saja, baru kemudian menelannya yang dapat membuat kita kenyang. Dan
tetap hidup. Walau belum tentu sehat. Belum tentu.....
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar