13 Agustus 2013

TOL

Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia
(Mite SisifusAlbert Camus)

Sisifus adalah nama seorang manusia yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak gunung, tetapi saat tiba di puncak, terdorong oleh beratnya, kembali akan meluncur ke kaki gunung sehingga seakan menjadi sebuah tugas yang sia-sia dan tanpa arti bahkan mustahil sama sekali. Kisah ini berasal dari legenda Junani yang sangat terkenal yang ditulis oleh Homerus. Sisifus pun menjadi lambang ketidak-berdayaan manusia menerima dan menghadapi hidupnya, kerja keras yang pada akhirnya akan sia-sia, ambisi dan hasrat yang tak punya makna apa-apa saat berhadapan dengan akhir kehidupan ini.

Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia” tulis Albert Camus, sastrawan dan filsuf Perancis penerima hadiah Nobel pada tahun.... Menurut Camus, hidup tidak diukur dari apa yang coba diraih seseorang, tidak dari tujuan yang dapat dicapai tetapi dalam bagaimana dia menjalani proses menuju tujuan itu sendiri. Apakah kelak dia berhasil atau gagal, sesungguhnya tidak terlalu berarti lagi. Karena proses-lah yang paling penting. Dan hidup harus kita jalani sepenuhnya berdasarkan proses keberadaan kita, bukan pada tujuan yang mungkin dapat ataukah gagal kita raih. Dengan kata lain, kita bisa umpamakan bahwa dalam sebuah pertandingan sepakbola misalnya, kemenangan atau kekalahan tidaklah sepenting bagaimana kita dapat bermain dengan indah, jujur dan penuh semangat. Ya, bermain jauh lebih bermakna daripada hasil dari permainan itu sendiri.

Demikianlah aku merenungkan hal itu saat aku dalam perjalanan antara Jakarta menuju Bandung lewat jalan tol yang mempersingkat waktu tempuh kedua kota tersebut. Dan terasalah ada yang hilang dari ketika sebelum ada jalan tol ini, aku menikmati jalur lama yang melewati jalan biasa sambil memandang panorama keindahan alam di Puncak dan seputarnya. Ya, nyatanya hidup saat ini semakin jatuh cinta pada jalan pintas. Makin cepat makin baik. Dan aku tiba-tiba membayangkan berapa banyak tetangga, sahabat atau bahkan keluarga yang harus terpisahkan karena adanya jalan tol itu sehingga mereka tak lagi mudah untuk saling berkunjung satu sama lain, tetapi harus mengambil jalan memutar yang jauh, teramat jauh hanya agar kita dapat menikmati kecepatan dan kenyamanan tersebut. Memang, kini semuanya lalu dibuat serba instan. Ada makanan instan, cepat saji, kaya pun dibuat instan dengan korupsi dan segala macam penerabasan pada etiket, adat dan hukum. Pun sampai ke cinta instan, pernikahan instan dan sebagian dari kita tetap dan sangat menyukai lewat jalur tol itu walau belum tentu bebas macet. Proses yang umumnya terasa lama dan berbelit-belit dibuat jadi cepat dan ringkas walau belum tentu nyaman dan baik.

Lalu aku mengenang di masa-masa lalu, ketika aku melihat nenek membuat makanan dengan peralatan yang serba sederhana, dimana semua belum tersedia di pasar-pasar swalayan seperti saat ini: santan harus diperas sendiri dari kelapa yang juga dikerik sendiri, tepung beras harus ditumbuk sendiri dari beras dengan memakai alu sederhana, dan hingga kulit lumpia yang harus diremas dan digiling sendiri dengan memakai potongan bambu yang sangat sederhana, tetapi anehnya, rasanya sungguh nikmat dan tak terlupakan bahkan hingga saat ini, dimana semua dapat dibeli dan dinikmati asal kita memiliki uang. Bahkan kerja membuat segala macam itu seringkali dilakukan secara bersama-sama dengan para om dan tante bahkan tetangga sambil mereka bercerita segala macam soal yang membuat suasana terasa akrab dan penuh persahabatan. Namun semuanya telah berubah. Dan ketika semua dapat kita beli, uang pun tiba-tiba menjadi sang primadona. Tanpa uang, segalanya tak ada, bahkan saudara, sahabat dan tetangga pun menghilang. Tak heran, di masa sekarang ini, semuanya dibuat serba cepat, serba mudah, serba indah dalam penampilan tetapi terasalah betapa ada kekosongan dalam jiwa yang selalu mendamba sesuatu yang akrab. Sesuatu yang bukan hanya hasil tetapi juga proses untuk mengada. Bukan hanya buah tetapi pertumbuhan untuk menjadi buah......

Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia” tulis Albert Camus. Tetapi berbahagiakah kita saat kita tidak lagi mau mendorong batu besar itu menuju ke puncak tetapi langsung dapat berada di puncak tanpa melakukan upaya apa-apa kecuali hanya dengan membayar? Berbahagiakah kita dengan apa yang kita dapat dengan membayar itu? Bahkan berbahagiakah kita dengan menerima uang untuk membayar itu tanpa usaha sama sekali kecuali dengan memakai jalan pintas, mempergunakan segala macam koneksi, kolusi kekuatan dan kekuasaan kita lewat jalur tol yang barangkali membuat segala sesuatunya lancar walau tidak tanpa kemacetan sama sekali? Berbahagiakah kita dengan keberadaan jalan tol itu walau secara tak kelihatan dapat mengurbankan kehidupan banyak orang lain yang terpaksa harus terpisah karena keberadaan tol itu? Berbahagiakah kita dengan semua itu? Berbahagiakah hidup kita sekarang? Saat ini? Berbahagiakah kita? Semoga. Walau sayangnya, kita tak mungkin hanya dengan memandang makanan yang tersaji di depan kita maka kitapun akan kenyang seketika. Selalu perlu proses untuk memasukkan ke mulut, mengunyahnya secara perlahan, walau selalu ada yang ingin terburu-buru tapi pasti sangat jarang yang langsung menelannya begitu saja, baru kemudian menelannya yang dapat membuat kita kenyang. Dan tetap hidup. Walau belum tentu sehat. Belum tentu.....


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...