Berawal dari
pemerkosaan yang dilakukan oleh Sikhem, putra dari Hemor - raja kaum
Hewi, terhadap Dina, putri dari Lea dan Yakub. Hemor yang ternyata
kemudian jatuh hati kepada Dina, dan ingin mempersuntingnya sebagai
pertanggung-jawaban atas perbuatannya itu serta bersedia menerima
syarat-syarat yang diajukan oleh pihak Yakub. Tetapi karena merasa
malu, putra-putra Yakub, atau saudara-saudara Dina, tidak mau
menerima peristiwa itu dengan ikhlas. Dengan tipu daya, pada saat
kaum Hewi sedang melaksanakan syarat yang diajukan oleh pihak Yakub,
yaitu dengan disunat, Simeon dan Lewi, kakak dari Dina dan putra
Yakub datang menyerang dan membunuh semua laki-laki suku itu,
termasuk Sikhem dan Hemor lalu mengambil Dina, adik mereka. Menyusul
saudara-saudara Dina yang lain kemudian datang lalu menjarah kota
kaum Hewi dan merampas semua milik mereka, termasuk anak dan
perempuan mereka. Peristiwa tragis yang dikisahkan dalam Kitab
Kejadian 34: 1- 31 itu ditutup dengan satu pernyataan dari
putra-putra Yakub sebagai dalih atas perbuatan keji mereka: "Mengapa
adik kita diperlakukannya sebagai seorang perempuan sundal!"
Peristiwa
yang disesalkan oleh Yakub tersebut menimbulkan suatu pertanyaan
menarik. Apakah sungguh tindakan yang dilakukan oleh para saudara
Dina itu sungguh-sungguh suatu pembalasan atas tindakan yang dialami
oleh suadari mereka? Jika hal itu adalah tindakan pembalasan, mengapa
semua laki-laki yang tidak bersalah pun harus menjadi kurban? Dan
mengapa segala milik kaum Hewi itu harus dirampas, bahkan termasuk
juga anak-anak serta para perempuan mereka? Apakah itu sungguh suatu
balas dendam ataukah sekedar dalih untuk menyembunyikan motip lain
dari tindakan kekejaman yang telah mereka lakukan? Pantaskah kejadian
yang menimpa Dina tersebut harus dibalas dengan praktis memusnahkan
sebuah kaum? Bagaimana sikap Tuhan atas tindakan putra-putra Yakub
tersebut? Dan juga apa pendapat Dina sendiri, sang korban, yang sama
sekali tidak pernah bersuara? Paling tidak, tak tercatat apa yang
dipikirkannya atas kejadian yang menimpanya serta segala
akibat-akibatnya. Semuanya serba gelap. Dan hanya dapat kita
duga-duga tanpa sebuah kepastian.
Maka sungguh
menarik untuk menimba dari kisah yang ditulis dalam kitab kejadian
itu, kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar, mengapa dan
untuk apa peristiwa yang demikian kelam tersebut disampaikan kepada
para pembaca? Kepada kita semua? Dan jelas, menurutku, bukan untuk
dijadikan teladan bahwa sebuah balas dendam dapat berarti apa saja.
Bahwa kekerasan kepada siapa saja dapat dibenarkan saat kita berada
di posisi sebagai korban. Bahkan balas dendam dengan motip keuntungan
yang luar biasa dengan melakukan penjarahan dan perampasan atas
segala yang dipunyai oleh sang pelaku. Sang pelaku yang mendadak
menjadi korban. Dengan dalih apapun, tindakan balas dendam yang
demikian berlebihan tersebut sesungguhnya menjadi catatan bagi kita
bukan untuk dijadikan teladan tetapi untuk tidak mengulangi tindakan
yang sama. Untuk menolak pembalasan yang berlebihan. Apalagi
pembalasan yang mengandung motip-motip terselubung.
Tetapi
kenyataannya kita seringkali dihadapkan atau bahkan mungkin justru
melakukan hal-hal yang penuh dengan ancaman, pemaksaan bahkan
kekerasan dengan dalih yang seakan-akan suci dan benar. Dalih yang
dapat melindungi kita dari tindakan hukum dan pandangan umum. Padahal
jika kita mau jujur, jika kita berani untuk jujur, sesungguhnya kita
menyembunyikan motip kepentingan kelompok atau bahkan pribadi dibalik
dalih tersebut. Sayangnya, kebanyakan dari kita menolak untuk jujur,
sering terutama karena menyangkut nama baik dan harga diri kita
sendiri. Atau kita takut kehilangan kenyamanan hidup kita. Namun
dalih yang menyembunyikan motip kita sesungguhnya tidaklah pantas
menjadikan kita sebagai teladan bagi siapa saja. Maka dalih apapun
yang kita utarakan, yang menyembunyikan motip-motip terselubung pada
perbuatan kita, sesungguhnya adalah teror bagi orang lain. Janganlah
sebagai korban kita lantas merasa layak pula untuk kemudian
mengorbankan orang lain. Apalagi yang samasekali tak bersalah dan tak
berhubungan sama sekali dengan apa yang telah menimpa kita.
Maka Yakub
berkata kepada Simeon dan Lewi: “Kamu
telah mencelakakan aku dengan membusukkan namaku kepada penduduk
negeri ini......”. Tetapi
seperti biasa, sesal selalu terlambat datang. Sesal selalu tiba
setelah semuanya terjadi. Peristiwa dalam kitab kejadian itu
selayaknya menjadi renungan bagi kita semua agar tak ada lagi sesal
atas perbuatan kita. Dengan belajar dari kisah itu. Dengan
memahaminya. Dan menolak semua tindakan kekerasan dan balas dendam
atas dalih apapun juga.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar