“Hidupku dipenuhi dendam. Aku luka, ya luka terbuka di dalam hatiku.
Memang, aku hidup dengan berkelimpahan materi. Tetapi apakah itu cukup? Aku
merindukan cinta. Cinta. Aku butuh diperhatikan. Aku mau dibelai, disayangi dan
dipahami. Tetapi, tiap saat hanya kesunyian yang menemaniku. Orang tuaku terus
saja sibuk dengan diri mereka sendiri. Terus saja menikmati kesenangan sendiri.
Aku terlupakan. Aku tersingkirkan. Maka untuk apakah mereka melahirkan aku?
Untuk apa? Untuk kesenangan mereka saja?” Anak lelaki itu menunduk. Tangannya
gemetar. Matanya berkaca-kaca. Dia menekuk kedua lututnya dan bersimpuh di
hadapan kami.
“Setiap kelahiran menandakan bahwa Tuhan belum putus asa terhadap manusia,”
demikian tulis Tagore. Tidak, Tuhan tak pernah putus asa menghadapi kita semua.
Sayangnya bahwa kita, manusia, yang sering merasa putus asa terhadap hidup yang
telah diberikan oleh Tuhan. Kita sering melupakan bahwa hidup yang telah
dilimpahkan kepada kita adalah suatu anugerah. Bukan suatu kutukan. Sementara
kita tertatih-tatih menghidupi diri, waktu terus merayap. Bunga-bunga mekar
mewangi lalu menguning layu. Musim silih berganti. Dan kita tetap saja meratapi
dunia. Kita tetap saja enggan untuk berpikir. Untuk mencari makna keberadaan
kita di alam raya ini. Untuk menghirup aroma segar hidup ini, harum atau busuk.
Maka hidup pun menjadi gelombang kesepian yang pahit. Menjadi udara pengap
ketakmampuan untuk menguak cahaya yang bersinar dari kasihNya. Kita menyisihkan
diri sendiri. Lalu cahaya hidup menjadi padam......
Demikianlah, kami mengenal anak itu sebagai seorang bromocorah di suatu
daerah perumahan yang cukup berada. Entah sudah berapa kali dia dibui karena
perbuatan-perbuatannya. Perkelahian, penodongan, mabuk-mabukan dan bahkan
pernah menikam seorang temannya hingga terluka dan nyaris tewas. Kini dia
terlibat dalam kegiatan sosial di sebuah yayasan. Dia amat rajin dan lincah,
terutama bila itu berhubungan dengan pembagian sembako kepada umat yang amat
miskin. Pelayanan yang diberikannya terutama amat membantu di saat ketika
banyak yang menyumbang sembako tetapi tidak ada tenaga lain yang bisa membantu
menyalurkan sumbangan itu. Dan kini anak itu tepat berada di depan kami. Dan
bertutur tentang salib hidupnya sendiri.
“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut
Aku, ia tidak layak bagi-Ku” sabda Yesus. Ya, hidup kita adalah salib kita.
Salib yang sering amat berat kita panggul. Salib yang sering membuat tubuh dan
jiwa kita menjadi letih. Salib yang membuat, suatu saat dalam hidup Pablo
Neruda, dikatakannya, Aku letih menjadi manusia. Salib kehidupan adalah salib
yang saat ini kita semua memikulnya. Maka sesungguhnya kita semua adalah
anak-anak yang hilang. Anak-anak yang kini hidup dalam perjalanan untuk mencari
kebenaran sambil menghabiskan talenta kita. Dan mengais ampas kebenaran untuk
dapat meneruskan perjalanan kita menuju rumah Bapa. Bapa yang tidak pernah akan
membiarkan seorang pun dari anak-anakNya hilang.
Anak lelaki itu lalu memandang kepada kami semua. Lalu dia melanjutkan
kata-katanya. “Tetapi kemudian aku sadar. Betapa lemahnya aku. Aku telah
tenggelam dalam duka lara untuk sesuatu yang tak pantas kutangisi. Untuk kemalangan
yang tak mampu kuubah, aku harus menerimanya. Untuk kemalangan yang mampu
kuubah, akan kupergunakan seluruh talenta yang telah diberikanNya, untuk
mengubahnya menjadi lebih baik. Mungkin tenaga satu orang tidak berarti
apa-apa. Tetapi, paling tidak, bagi diriku sendiri, aku telah punya arti. Dan
itu jauh, jauh lebih penting daripada hanya mengutuk dan menyesali hidup terus
menerus. Dan tenggelam dalam duka cita yang tidak berguna.”
Kami semua berdiam diri. Kami semua sedang menikmati satu momen penting
dalam menghayati keberadaan hidup ini. Seorang anak hilang kini telah kembali. Memang
kita semua adalah anak-anak yang hilang. Tetapi siapa bilang kita cuma
bayang-bayang? Siapa bilang kita tidak eksis? Dan di atas segalanya, dapatkah
kita mengatakan bahwa hidup itu hanya suatu kesia-siaan? Bukankah dengan suatu
sentuhan lembut dalam hati kita, suatu hari kelak, kita mungkin kembali? Dan tidakkah,
suatu hari kelak, jika saatnya tiba, Dia akan bersabda: “Datang dan duduklah
dalam haribaanKu yang tak terbatas, anakKu”
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar