Langit amat kelam.
Hujan mengurapi bumi. Deras. Genangan air naik hingga ke trotoar pertokoan.
Bumi amat muram. Sementara itu lampu jalan dan neon-sign berkedap-kedip,
berkilauan menyajikan mimpi. Seorang gadis cilik dengan buntalan kantung
plastik hitam berjalan menelusuri tepian jalan yang gelap. Tangan dan kakinya,
yang telanjang, membiru diterpa cuaca dingin. Dia berjalan sendirian sambil
menjajakan korek api dagangannya kepada satu dua orang yang melintas. Tetapi
tak ada yang memperhatikannya. Semua hanya bergegas lewat, memikirkan diri
mereka sendiri, megejar waktu untuk pulang ke rumah masing-masing. Malam ini
malam tahun baru dan semua orang bergegas untuk berkumpul bersama.
“Aku takut pulang” desah gadis itu pahit. “Ayah pasti akan memukulku
lagi bila aku pulang tanpa uang.” Dia membayangkan rumahnya yang sempit dan
kusam. Dinding yang retak dan ditutupi koran bekas serta kalender tua agar
angin tidak menusuk masuk. Terakhir kali dia pulang tanpa uang, ayahnya yang sedang
mabuk memukulnya. Kata ayahnya:”Tidak ada makanan bagi orang malas!” Toh, dia
tak dapat memaksa orang untuk membeli korek apinya. Maka dia terus menelusuri
trotoar kota .
Di depan sebuah
Restauran dia berhenti dan memandang ke dalam. Dia melihat kumpulan orang yang
sedang bergembira. Di depan mereka terhidang makanan yang kelihatan amat lezat.
Sayup-sayup dia mendengar alunan lagu Natal
serta suara tawa. Dan beberapa anak seusianya berlarian memutari meja makan
itu. Dengan sedih ia kemudian melihat pantulan tubuhnya pada kaca etalase
Restauran. Wajah kurus, mata kuyu dan bajunya yang compang-camping membuatnya
pilu. Dengan air mata yang mengembang di matanya dia meninggalkan tempat itu.
Sayup-sayup dia mendengarkan alunan nada: “Joy to the world, the Lord is came…………”
Sementara itu malam makin pekat. Jalanan kian sepi. Dan muram.
Akhirnya,
dengan letih dia duduk di sudut gelap depan pertokoan yang telah tutup. Dia
meringkuk kedinginan. Hujan semakin deras saja. “Mama, mama….” Bisiknya pelan.
“Dimanakah engkau?” Kata tetangga-tetangganya, ibunya pergi meninggalkan mereka
sejak dia masih berumur satu tahun. Entah kemana. Kini dia telah berusia tujuh
tahun. Dia tinggal bersama ayahnya yang menjadi pemabuk setelah ditinggalkan
ibunya serta tidak punya kerja tetap lagi. Kadang-kadang mereka bahkan tidak
mempunyai nasi sebutir pun untuk makan sehari. Seluruh penghasilannya akan
diambil ayahnya untuk dibelikan arak.
Cuaca dingin kian
menusuk tulangnya. Jari-jarinya terasa kaku dan beku. Dengan ragu-ragu dia
membuka kantung plastik hitam jinjingannya. Dikeluarkannya sekotak korek api.
“Ah, kalau saja aku berani untuk menyalakan korek api ini, tanganku tentu akan
terhangati” Dia merasa bimbang. Tetapi akhirnya dia mengambil sebatang dan
menyalakannya. Dan sungguh indah api yang berkilauan dalam gelap. Bagaikan
nyala lilin. Sesaat dia merasa berada dalam sebuah ruang yang amat indah.
Cahaya itu menari-nari membentuk pendiangan yang memanggil tubuhnya mendekat.
Maka diapun menghampirinya. Tetapi sayang, korek api itu lalu padam dan
bayangan itu pun menghilang.
Maka dinyalakannya
korek yang kedua. Cahayanya jatuh memantul di tembok. Tembok itu lalu berubah
menjadi ruang yang amat lapang. Dan ditengah-tengahnya ada sebuah meja
bertaplak putih bersih. Di tengah-tengahnya nampak beberapa piring porselen
yang berisi makanan kesukaannya. Ada
bernebon, ayam panggang rica dan
berbagai macam kue seperi panekuk
kesukaannya dan juga buah-buahan. Dan, hmm, sungguh lezat aromanya. Dia lalu
mengulurkan tangan untuk meraih makanan kesukaanya tetapi mendadak segalanya
sirna kembali. Korek itu telah padam. Yang disentuhnya hanya dinding yang keras
dan dingin.
Dia lalu menyalakan
koreknya yang ketiga. Dia lalu merasa berada di bawah sebuah pohon Natal yang besar dan
indah. Pohon Natal terindah yang pernah dilihatnya. Ratusan lilin kecil nampak
berkedap-kedip pada dahan dan rantingnya, di sela-sela selimut daun yang hijau
rimbun. Sungguh menakjubkan. Dengan rindu dia mengulurkan tangannya untuk
memegang pohon tersebut. Tetapi sesaat saja segalanya pun menghilang. Koreknya
telah padam dan yang dilihatnya kini hanya tetesan air hujan dari langit yang
kelam.
Demikianlah gadis itu
terus menyalakan batang-batang korek yang membawa hidupnya ke alam mimpi yang
tak pernah dialaminya. Pada batang terakhir muncullah seorang ibu berparas
lembut, mengenakan sutera putih berikat biru dan menggendong seorang bayi yang
bercahaya, datang menghampirinya. “Ah” pikirnya, “Aku pernah melihat Ibu ini di
dalam gereja Tuhan” Dia ingat waktu kecil dulu, saat ayahnya belum menjadi
pemabuk seperti sekarang ini, sesekali dia dibawa ke gereja tersebut. Dengan
takjub dia memandangi wajah lembut itu. Dan tiba-tiba dia melihat bayi di
gendongan Ibu itu tersenyum lembut kepadanya. Dengan perasaan amat riang dia
bangkit berdiri dan berlari memeluk mereka……..
Keesokan harinya,
Tahun Baru, tubuh gadis itu ditemukan meringkuk oleh orang-orang yang lewat.
Maka berkerumunlah mereka disekitarnya. “Kasihan” kata seorang ibu, “Pasti dia
mati kedinginan”. “Bodoh amat” seru seorang bapak mencemooh, “Berkeliaran
sendirian dalam hujan”. “Tetapi dia nampak bahagia” bisik seorang gadis, “Lihat
senyumnya, seakan dia melihat sesuatu yang kudus sebelum meninggal”
Dan di dalam Gereja
Tuhan, koster yang sedang membersihkan ruangan sedang mengomel. “Siapa lagi
yang bermain-main di sini” Dia melihat ke patung Maria yang menggendong Yesus,
basah kuyup. Airnya menetes-netes ke lantai. Lamat-lamat dari kejauhan,
sekelompok Suster Biara bernyanyi: “Agnus
Dei, Qui Tollis Peccata Mundi. Miserere Nobis…………………”
Diadaptasi amat bebas
dari Hans Christian Andersen Fairy Tales
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar