Waktu sepanjang hidup. Hidup sepanjang
nafas. Begitu sederhana. Namun rumit. Ada
demikian banyak suka. Dan duka. Begitu banyak manis. Dan pahit. Sepanjang waktu
nafas yang singkat ini. Awalnya mungkin perkenalan biasa. Lalu debaran-debaran
di dada. Disusul masa pacaran. Lalu pernikahan. Begitulah awal sebuah cinta.
Keluarga pun terbentuk. Wanita menjadi istri. Lelaki menjadi suami. Waktu terus
melaju. Hidup tetap melata. Wanita melahirkan. Anak-anak bermunculan. Mereka
hidup menyatu di sebuah rumah kontrakan. Kecil dan mewah, mepet sawah. Lelaki itu bekerja di sebuah
perusahaan kecil. Sebagai satpam. Penghasilan pas-pasan membuat hidup mereka
nyaris tanpa hiburan. Maka anak-anak pun terus bermunculan. Dengan tujuh bocah
kecil, kehidupan mereka pun semakin sulit. Biaya untuk hidup. Biaya untuk
sekolah. Biaya untuk segala macam. Maka air kesulitan berada tepat di bawah
lubang hidung mereka.
Kehidupan yang keras dan sulit membuat
perubahan drastis dalam sikap. Kambing hitam lalu dicari. Mereka mulai saling
menyalahkan. Segala yang dilakukan oleh pasangan menjadi sasaran kemarahan.
Saling tuding. Saling tuduh. Hari-hari menjadi tak tertahankan. Istri menjadi
amat peka dan ceriwis. Suami menjadi pemarah dan ringan tangan. Maka lumrahlah
jika saat-saat tertentu wajah sang istri menjadi biru lebam akibat tamparan dan
pukulan suaminya. Suami menjadi jarang di rumah. Ngelayap kemana-mana.
Anak-anak pun terlantar.
Suatu hari saat dua dari anak mereka
akan Sambut Baru, tak ada uang sepeser pun di kantung. Padahal ibu sang suami
datang berkunjung dari daerah khusus untuk menghadiri acara tersebut. Maka
pontang-pantinglah mereka mencari dana. Hutang kiri kanan. Wajah sang Istri
selalu cemberut. Suami marah terus. Situasi menjadi peka dan mudah meledak dan
memang itulah yang akhirnya terjadi. Seorang anak mereka, yang bungsu,
tiba-tiba jatuh sakit. Mertua pun ikut campur dalam segala hal. Akhirnya sang
istri tidak tahan lalu lari ke rumah orang tuanya. Tetapi sang suami datang dan
menyeretnya pulang. Di rumah, di hadapan anak-anak dan mertuanya, dia
diperlakukan bak samsak. Darah
berceceran di wajahnya. Ia jatuh terjerembab ke tanah. Penglihatannya nanar.
Lalu gelap. Gelap!
Aku merenungkan hal itu saat duduk di
sebuah Restauran Cepat Saji. Di tanganku tergenggam koran Pedoman Rakyat
tanggal 5 Nopember 2001. Dan berita tentang seorang suami yang membunuh
istrinya ketika anak mereka akan menerima sambut baru hanya karena kekurangan
dana. Di luar kulihat seorang wanita, berpakaian compang-camping, berjalan dibawah
cucuran hujan. Jalan Sultan Hasanuddin sepi karena waktu buka puasa telah tiba
bagi umat muslim. Dan di dalam Restauran ini suasananya amat hiruk pikuk. Penuh
tawa ria. Ironi yang demikian tajam menusuk pikiranku.
Bagaimana kita memaknai kejadian-kejadian
tersebut saat Natal
menjelang? Dan Hari Ibu akan kita rayakan bersama? Saat baju-baju baru
disiapkan. Saat libur panjang mulai direncanakan. Dan acara-acara gembira siap
digelar? Selalu dan selalu ada yang terlupakan di belakang. Selalu dan selalu ada
yang tertinggal dalam laju waktu. “Maka raja itupun menjawab mereka: Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat
25:40). Kukira itulah jawaban yang ditawarkan Tuhan Yesus pada kita saat kita
bersama-sama menyambut kelahiranNya. Sebab “Dia datang untuk melayani dan bukan
untuk dilayani” (Mrk 10:45 ).
Untuk itulah Kristus lahir ke dunia. Maka saat lonceng-lonceng Natal mulai bergema, patutlah kita renungkan
kembali makna kelahiranNya. Kembali ke hakekat inti pada makna dan bukan hanya
menikmati kulit luarnya saja. Marilah kita melakukan sesuatu yang tidak
kelihatan namun berharga daripada melakukan sesuatu yang kelihatan jelas namun
tidak punya harga apa-apa di hadapan Bapa.
Kembali ke kehidupan nyata, aku duduk
dengan gundah. Sambil menyantap makanan yang tersaji di depanku, pandanganku
terarah ke luar. Ke jalanan yang sepi. Gelap sepanjang hujan. Hujan sepanjang
malam. Malam sepanjang hidup.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar