Udara terasa dingin. Angin berhembus kencang. Hanya ada dia seorang diri,
dia seorang remaja putra yang tertunduk dengan sedih. Dan gerimis membasahi
rambutnya. Mendung tebal yang menggantung di langit membuat hatinya merasa
sunyi. Dia duduk dengan lesu di depan patung Bunda Maria yang sedang
mengembangkan kedua belah lengannya. Seakan ingin memeluk dirinya. Dia tahu
bahwa dirinya telah bersalah. Dia tahu bahwa apa yang telah dilakukannya adalah
suatu dosa yang tidak terhapuskan. Tetapi toh semuanya telah terjadi, bahkan di
luar kesadarannya. Bagaimana lagi dia harus menghadapi hidup ini? Bagaimana
lagi dia harus menghadapi masyarakatnya? Bagaimana dia dapat menerima kenyataan
ini tanpa harus merasa putus asa karena ketidak berdayaannya sendiri?
Bagaimana?
Dia ingat pada rumahnya yang di musim penghujan seperti saat ini, sering
kebanjiran. Dengan air kotor yang berwarna coklat menggenang di mana-mana.
Bahkan di kamar tidurnya. Dia ingat pada ayahnya yang sering tidak pulang ke
rumah. Dan jika pulang, hanya akan menimbulkan pertengkaran tanpa ujung pangkal
dengan ibunya. Ayahnya yang pemabuk dan bekerja sebagai makelar rumah yang
sering gagal menghasilkan. Dia ingat pada ibunya yang terbungkuk-bungkuk di
depan mesin jahit tuanya. Mencari nafkah untuk makan sehari-hari yang sering
tidak mencukupi untuk mereka berenam. Dia teringat pada adik perempuannya yang
masih kecil. Adik bungsunya yang tiap hari hanya merengek meminta sesuatu yang
tidak mampu dipenuhi ibunya. Dia ingat pada kakak wanitanya yang hanya tamat
SMA dan kini bekerja di sebuah mall yang amat mewah. Yang lantainya licin dan
mengkilap sebagai cermin. Dan kakak lelakinya yang menganggur. Yang kerjanya
hanya begadang setiap hari bersama teman-teman se lingkungannya. Dan kadang-kadang
harus berurusan dengan kantor polisi karena terlibat perkelahian. Maka di
sinilah dia berada, dia yang merasa terkucil. Dan dikucilkan. Dia baru saja
keluar dari penjara karena melakukan penjambretan di Mall tempat kakak
perempuannya bekerja. Maka kini dia bermuka-muka dengan kenyataan yang harus
dihadapinya nanti.
Aku memandang remaja itu dari kejauhan. Gerimis merintik. Tetapi dia masih
duduk seorang diri merenungi waktu yang akan datang. Waktu yang jauh, jauh
lebih kelam dari mendung yang menebal di angkasa. Dan aku sadar bahwa kami sama
tidak berdaya untuk saling memahami kenyataan ini. Sering terasa bahwa aku
tersesat dalam lingkaran tak berujung, saat menghadapi situasi dimana aku tak
berdaya untuk mengubahnya sendiri. Bagaimanakah kami menghadapi nasib
masing-masing? Adakah jalan untuk mendobrak kebuntuan ini? Wajah patung Bunda
terasa lembut memandang ke bawah, memandang kelemahan insani kami semua.
"Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada
di dalam rumah Bapa-Ku?" Ya, saat di mana kita merasa sesak. Saat di mana
harapan nampak padam. Saat hidup terasa hambar dan sia-sia. Bukankah kita semua
sama seperti Maria dan Yusuf yang sedang kehilangan putra mereka? Dan jawaban
itulah yang ditawarkan oleh Yesus kepada orang tuaNya. Dan juga kepada kita
semua. Pada akhirnya kita akan sadari bahwa kelemahan kita adalah kekuatan
Kristus sendiri. Dia yang tak pernah meninggalkan kita bahkan di saat di mana
harapan nampaknya telah lenyap sama sekali.
Maka kini bangkitlah dia dari duduknya yang lama. Kulihat wajahnya menjadi
lebih teduh. Raut mukanya yang persegi terasa lembut. Aku tidak tahu apa yang
telah diputuskannya. Dan langit pun masih tetap kelam. Namun nampaklah suatu pancaran
kedamaian dari matanya yang berair. Dengan pelan dia melangkah, kelihatan
sedikit berpikir, dan berjalan menuju ke gerbang gereja. Dan lenyap dari
pandanganku.
Kini, setelah hampir setahun lewat, aku kembali bertemu dengan remaja itu.
Dia membawa becak. Becak yang dibelinya dari dana yang diberikan oleh romo
paroki kami. Rupanya, dia telah membawa persoalannya kepada romo dan membuat
keputusan untuk berusaha secara baik sebagai penarik becak. Suatu keputusan
yang membuatnya meninggalkan perasaan gengsi dan harga diri untuk menghasilkan
sesuatu secara benar bagi keluarganya. Dia tetap kelihatan berkumpul di antara
teman-temannya tanpa merasa rendah diri. Dia aktip sebagai anggota THS-THM di
paroki kami. Dan setiap pagi, saat aku berada di gereja, aku melihatnya duduk
tertunduk di depan patung Bunda Maria. Tetapi kini dengan wajah yang jauh lebih
segar dari yang kulihat tahun lalu. Namanya Anis.
Dan kukira, itulah sebabnya kita semua mencari Dia. Dan Dia ada di rumah
Bapa. Di rumah, di mana kita semua adalah penghuninya sebagai saudara-saudara
Kristus sendiri. Maka jika kita tidak saling membantu, siapakah yang dapat
membantu kita lagi? Bukankah kita semua sesungguhnya adalah insan-insan lemah,
sepandai, sekaya atau sekuat apapun kita? Kita saling membutuhkan dan karena
itu kita layak untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan itu. Mengapakah
kita mencari Dia jika kita tahu dimana Dia berada?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar