07 Mei 2017

ANAK-ANAK

Jalanan berdebu. Panas menyengat kulit. Kendaraan berseliweran. Seorang gadis cilik berdiri di persimpangan jalan sambil membawa sebuah kaleng susu. Dia menadahkan tangannya kepada para penumpang kendaraan yang lewat. Kulitnya legam. Wajahnya yang manis terlapisi semacam tirai kesedihan. Di sisi lain dari jalan raya itu, tergeletak seorang wanita tua, tanpa kaki. Dengan tubuh yang tertutup sarung kusam, dia memandangi orang-orang yang sedang lalu lalang. Asap mengepul dari knalpot mobil tepat di depannya. Kendaraan terus berseliweran. Tidak peduli. Tidak memperhatikan. Tidak berhenti. Hidup berjalan terus. Insan-insan yang lemah terpinggirkan tanpa rasa iba setitikpun. Sedih? Adakah itu?

Rumah yang asri. Pepohonan rindang menyembul dari balik taman yang luas. Dalam sebuah kamar yang sejuk, berpendingin udara, seorang gadis cilik sedang duduk melamun. Dia sendirian. Dan kesepian. Di depannya tergeletak boneka-boneka yang lucu. Tetapi pandangannya kosong. Ayahnya sibuk berbisnis. Ibunya sibuk berkarir. Para pembantu berkeliaran sambil bercengkerama di ruang tamu. Dia sendirian. Dan kesepian. Dia memandangi boneka-bonekanya. Letih berbicara kepada dirinya sendiri. Letih memandangi dinding kamarnya yang bisu. Letih pada keinginannya untuk bertutur. Letih pada keinginannya untuk bercanda dengan sesamanya. Sedih? Adakah itu?

Aula itu luas. Puluhan orang sedang berkumpul. Mereka mendengarkan ceramah seseorang yang berada di mimbar. Jauh tinggi di atas podium. Seseorang yang bertutur tentang rencana-rencana besar dalam menghadapi kesesakan hidup. Dengan mulut berbusa-busa. Dengan semangat bernyala-nyala. Seorang gadis cilik tertidur di sudut aula itu. Tidak peduli pada kalimat-kalimat panjang yang sedang dihamburkan. Dia tertidur sambil, mungkin, memimpikan keluarganya sedang berkumpul bersama sambil bercerita lepas. Ayahnya yang mendongengkan kisah Putri Duyung. Ibunya yang sedang membelai rambutnya. Dan saudara-saudaranya yang terus mengusiknya. Dia tertidur. Dan tersenyum dalam tidurnya. Sedih? Adakah itu?

Pantai membentang luas. Pasir putih lembut. Lidah ombak menjilat kaki-kaki yang berjalan di atasnya. Sekelompok anak-anak berlari-lari. Saling melempar gumpalan pasir ke arah teman-temannya. Mereka berputar meliuk-liuk di tengah kerumunan orang yang sedang berdarmawisata. Seorang gadis kecil melihat semua itu. Dengan hasrat. Dengan rindu. Tetapi larangan ayahnya untuk tidak berlarian membuatnya tetap terpaku di atas tikar ini. Sedang ayahnya sedang sibuk memancing. Sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Sambil memegang tongkat kailnya. Sedih? Adakah itu?

Kesedihan anak-anak kini semakin dilupakan dan terlupakan oleh kesedihan orang dewasa. Anak-anak hanya berarti jika dia mampu memuaskan hasrat dan keinginan orang tua. Sedang para ayah dan ibu merasakan bahwa kesusahan mereka adalah hal utama dalam hidup keluarga. Anak-anak tak pernah sedih. Anak tak perlu sedih. Anak-anak harus menerima segala hal tanpa perlu membantah. Tetapi tidakkah Yesus sendiri bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (Mat 18:3-5)

Maka selayaknya kita mampu menyadari kesedihan anak-anak kita semua. Bahwa hidup bukan hanya demi untuk memuaskan keinginan materi mereka saja. Atau bahwa hidup mereka hanya akan baik jika mengikuti kesenangan dan keamanan kita saja. Kita pertama-tama harus bertanggung-jawab terhadap keberadaan mereka, terhadap kegembiraan hidup mereka dan mereka pun akan memberikan kita kebahagiaan atas keberadaan mereka. Bukan sebaliknya, kebahagiaan dan keberadaan mereka tergantung pada kebahagiaan dan keberadaan kita sendiri. Karena itu, persoalan yang sedang menimpa generasi muda kita tergantung pada kesediaan kita untuk merubah cara pandang kita menghadapi anak-anak kita sendiri. Tanpa itu, kita cuma mampu memarahi. Atau mengutuk. Dan kita pun tetap lelap dalam kebiasaan kita sendiri. Dengan ambisi dan hasrat kita saja. Dan anak-anak pun kian terpinggirkan. Dan disia-siakan. Dan dilupakan.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...