Jalanan berdebu. Panas menyengat kulit. Kendaraan berseliweran. Seorang
gadis cilik berdiri di persimpangan jalan sambil membawa sebuah kaleng susu.
Dia menadahkan tangannya kepada para penumpang kendaraan yang lewat. Kulitnya
legam. Wajahnya yang manis terlapisi semacam tirai kesedihan. Di sisi lain dari
jalan raya itu, tergeletak seorang wanita tua, tanpa kaki. Dengan tubuh yang
tertutup sarung kusam, dia memandangi orang-orang yang sedang lalu lalang. Asap
mengepul dari knalpot mobil tepat di depannya. Kendaraan terus berseliweran.
Tidak peduli. Tidak memperhatikan. Tidak berhenti. Hidup berjalan terus.
Insan-insan yang lemah terpinggirkan tanpa rasa iba setitikpun. Sedih? Adakah
itu?
Rumah yang asri. Pepohonan rindang menyembul dari balik taman yang luas.
Dalam sebuah kamar yang sejuk, berpendingin udara, seorang gadis cilik sedang
duduk melamun. Dia sendirian. Dan kesepian. Di depannya tergeletak
boneka-boneka yang lucu. Tetapi pandangannya kosong. Ayahnya sibuk berbisnis.
Ibunya sibuk berkarir. Para pembantu berkeliaran sambil bercengkerama di ruang
tamu. Dia sendirian. Dan kesepian. Dia memandangi boneka-bonekanya. Letih
berbicara kepada dirinya sendiri. Letih memandangi dinding kamarnya yang bisu.
Letih pada keinginannya untuk bertutur. Letih pada keinginannya untuk bercanda
dengan sesamanya. Sedih? Adakah itu?
Aula itu luas. Puluhan orang sedang berkumpul. Mereka mendengarkan ceramah
seseorang yang berada di mimbar. Jauh tinggi di atas podium. Seseorang yang
bertutur tentang rencana-rencana besar dalam menghadapi kesesakan hidup. Dengan
mulut berbusa-busa. Dengan semangat bernyala-nyala. Seorang gadis cilik
tertidur di sudut aula itu. Tidak peduli pada kalimat-kalimat panjang yang
sedang dihamburkan. Dia tertidur sambil, mungkin, memimpikan keluarganya sedang
berkumpul bersama sambil bercerita lepas. Ayahnya yang mendongengkan kisah
Putri Duyung. Ibunya yang sedang membelai rambutnya. Dan saudara-saudaranya
yang terus mengusiknya. Dia tertidur. Dan tersenyum dalam tidurnya. Sedih?
Adakah itu?
Pantai membentang luas. Pasir putih lembut. Lidah ombak menjilat kaki-kaki
yang berjalan di atasnya. Sekelompok anak-anak berlari-lari. Saling melempar
gumpalan pasir ke arah teman-temannya. Mereka berputar meliuk-liuk di tengah
kerumunan orang yang sedang berdarmawisata. Seorang gadis kecil melihat semua
itu. Dengan hasrat. Dengan rindu. Tetapi larangan ayahnya untuk tidak berlarian
membuatnya tetap terpaku di atas tikar ini. Sedang ayahnya sedang sibuk
memancing. Sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Sambil memegang tongkat
kailnya. Sedih? Adakah itu?
Kesedihan anak-anak
kini semakin dilupakan dan terlupakan oleh kesedihan orang dewasa. Anak-anak
hanya berarti jika dia mampu memuaskan hasrat dan keinginan orang tua. Sedang
para ayah dan ibu merasakan bahwa kesusahan mereka adalah hal utama dalam hidup
keluarga. Anak-anak tak pernah sedih. Anak tak perlu sedih. Anak-anak harus
menerima segala hal tanpa perlu membantah. Tetapi tidakkah Yesus sendiri
bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi
seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan
diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan
Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia
menyambut Aku.” (Mat 18:3-5)
Maka
selayaknya kita mampu menyadari kesedihan anak-anak kita semua. Bahwa hidup
bukan hanya demi untuk memuaskan keinginan materi mereka saja. Atau bahwa hidup
mereka hanya akan baik jika mengikuti kesenangan dan keamanan kita saja. Kita
pertama-tama harus bertanggung-jawab terhadap keberadaan mereka, terhadap kegembiraan
hidup mereka dan mereka pun akan memberikan kita kebahagiaan atas keberadaan
mereka. Bukan sebaliknya, kebahagiaan dan keberadaan mereka tergantung pada
kebahagiaan dan keberadaan kita sendiri. Karena itu, persoalan yang sedang
menimpa generasi muda kita tergantung pada kesediaan kita untuk merubah cara
pandang kita menghadapi anak-anak kita sendiri. Tanpa itu, kita cuma mampu
memarahi. Atau mengutuk. Dan kita pun tetap lelap dalam kebiasaan kita sendiri.
Dengan ambisi dan hasrat kita saja. Dan anak-anak pun kian terpinggirkan. Dan
disia-siakan. Dan dilupakan.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar