Aku, kau dan
dia adalah insan yang berbeda satu sama lain. Ya, kita semua pasti memiliki
keunikan masing-masing. Adalah mustahil menyamakan semua orang menjadi satu.
Mustahil untuk memaksakan niat dan kehendak kita menjadi sama dan seragam. Seberapa
kerasnya pun usaha untuk melakukannya. Aku, kau dan dia tetap hidup dengan
pemikiran kita masing-masing. Dengan keyakinan kita masing-masing. Dengan apa
yang kita miliki sendiri. Tetapi, ah, kita sering kali alpa menyadarinya. Kita
senang bersikap menguasai orang lain. Senang jika apapun pemikiran kita diikuti
orang lain sebagai satu kesatuan yang membuat kita merasa bangga. Merasa
berkuasa. Bahkan mungkin merasa aman dalam kebersamaan itu. Walau pun
kebersamaan itu terasa semu.
Demikianlah,
akhir-akhir ini terasa begitu kerasnya upaya untuk memaksakan kesatuan dengan
tekanan kekuatan-kekuasaan-kekayaan itu sehingga kita lupa bahwa usaha itu
bagaikan menggantang angin saja. Bahkan terkadang sering terasa bahwa upaya itu
telah membuat kita menjadi manusia yang ingin bertindak sebagai Tuhan.
Memperlakukan mereka yang berbeda, mereka yang lain, sebagai lawan. Sebagai
musuh yang harus dihabisi. Bukannya sebagai pelengkap dari ketidak-sempurnaan
kita sebagai manusia satu sama lain. Kita lupa bahwa dunia ini tercipta menjadi
indah bukan karena keseragaman tetapi justru karena perbedaan itu. Bayangkanlah
jika semua hal sama. Jika semua hal seragam di dunia ini. Betapa membosankannya
hidup kita.
Maka setiap
upaya untuk menyamakan semua orang menjadi sama sesungguhnya bertentangan
dengan karya penciptaan semesta ini. Dan itu hanya dilakukan oleh mereka yang
ingin menjadi pemilik kebenaran mutlak. Dan akhirnya sebagai pemilik kekuasaan
mutlak. Niat dan ambisi manusia yang setua sejarah kehidupan kita. Dan sejarah
telah memperlihatkan betapa pun kerasnya upaya itu dilakukan, selalu akan
menghasilkan tragedi dan pada akhirnya berujung kegagalan. Tetapi kita tidak
pernah belajar. Tidak mau belajar dari sejarah kehidupan itu. Kita seakan
merasa bisa dan mampu, walau pada masa lalu, para pendahulu kita, telah gagal
melaksanakannya.
Entah
mengapa, kita menyukai keseragaman. Mungkin bukan karena keseragaman itu nampak
bagus, tetapi lebih pada keseragaman itu dapat membuat kita berkuasa dan akan
menyamankan hidup kita sendiri. Yang membuat kita memiliki
kekuatan-kekuasaan-kekayaan tak terbatas dan karena itu merasa bahwa kebenaran
kita adalah kebenaran mutlak. Yang tak terbantahkan. Yang tak terlawankan. Lalu
kita pun menjadi Tuhan, Sang Penguasa Kehidupan ini sendiri. Mungkin itulah
mimpi kita sebagai manusia yang berawal dari sejarah menara babylon dulu kala.
Mungkin. Sesungguhnya, kita sering gagal memahami sejarah. Kita enggan untuk
mengakui kelemahan kita sebagai manusia yang berbeda satu sama lain dan karena
itu hidup harus saling melengkapi satu sama lain dan bukannya saling meniadakan
sehingga menjadi satu dan seragam saja. Mungkin.......
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar