05 Mei 2017

SIBUK

I’m shining like a candle in the dark, when you tell me that you love me

Aku bersinar bagaikan lilin dalam kelam, saat kau katakan bahwa kau mencintaiku. Demikian alunan lembut Diana Ross mengisi ruang kafe yang dingin ber-AC saat kulihat dia memasuki pintu utama. Sendirian. Dengan wajah yang riang dia mendatangi mejaku. Kami lalu bersalaman. Dua puluh tahun lebih kami tidak bersua. Dan kini, jauh dari kota kelahiran, di sebuah kafe yang menghidangkan makanan dari negeri lain, kami kembali menuturkan masa silam. Tentang kenangan indah yang telah lelap dalam waktu. Sebuah reuni.

Lama setelah pertemuan itu, aku merenungkan suatu hal yang terasa ganjil. Hampir dua jam kami bersama, bertukar tutur. Tetapi antara kami terbentang keterasingan hati. Keakraban masa lalu telah menjadi fosil. Yang kami perbincangkan hanyalah kulit-kulit kehidupan. Dia dan aku. Dan istrinya yang tidak sempat hadir karena tertelan kesibukan pekerjaannya. Waktu nampak seperti raksasa bengis yang merobek-robek kehidupan. Kehiruk-pikukan mengasingkan kami satu sama lain. Inikah hakekat kemoderenan? Saat komunikasi semakin tidak mengenal tapal batas, saat itu pula hubungan muka dengan muka antar individu semakin menjauh.

Saya merasa bahwa kita sedemikian tenggelam dalam kesibukan, bahkan hingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan dan memberikan senyuman kepada satu sama lain” kata Ibu Teresa menyikapi situasi keterpencilan manusia-manusia modern. Hidup kian menegangkan. Tiap orang mencari kesejahteraannya dan menafikan keberadaan yang lainnya. Hidup menjadi sebuah perjalanan dalam labirin yang tidak lagi diketahui ujungnya. Pada akhirnya, kita hanya berputar-putar tanpa arah dan tanpa tujuan kecuali demi kesenangan hidup yang sesaat saja. Kita saling meninggalkan dan ditinggalkan. Sepi, sendiri dan terkucil. Kebersamaan mati. Tempat kediaman yang kita bangun kita kelilingi tembok tebal serta pagar berduri. Jiwa dan perasaan kita pun terpagari dengan topeng tebal, menolak siapapun yang mencoba masuk. Tak mengenal dan dikenal. Terasing satu sama lain.

Aku bersinar bagaikan lilin dalam kelam, saat kau katakan bahwa kau mencintaiku, desah Diana Ross. Tidakkah seharusnya kita menyatakan hal itu juga? Kita, satu sama lain, jika saling menyayangi dapat menerangi dunia yang gelap ini. Mengapa hal itu terasa demikian sulit? Mengapa kita selalu dikungkung oleh kesombongan, keengganan atau rasa takut ditolak hingga sudi mematikan cinta itu sendiri? Mengapa? Haruskah pengejaran terhadap materi semakin menjauhkan kita satu sama lain? Dan kalau begitu perlukah kebersamaan itu? Tidakkah lebih baik kita mengunci diri dan tenggelam dalam kebisuan kita masing-masing? Kebisuan dan kehampaan di dalam jiwa yang terkungkung oleh segala nafsu, ambisi dan keakuan kita?

Kian kita merasa menjadi modern kian terasing pula kita satu sama lain. Hanya kesuksesan dan keberhasilan dalam bentuk materi, kekuatan dan kekuasaan yang menguber hidup. Suara hati menjadi sayup dan menjauh. Cinta Kasih menjadi gaung masa lampau yang tak bermakna dan tidak lagi menyentuh kita. Maka aku dan dia, duduk bersama, saling bertukar kisah tetapi melulu tentang apa-apa yang terjadi di luar dari diri sendiri. Sedang nasib diri hanya tertinggal dalam tahanan yang tak ingin dikenal, tak ingin diketahui. Lelap dalam rahasia kegelapan hidup masing-masing. Maka tepat pada waktunya, dia pun meninggalkanku. Waktu menguber kami. Waktu dalam jadwal. Waktu untuk hidup. Waktu yang membuat hidup menjadi asing satu sama lain. Desahan Diana Ross hanya bergaung sepi sendiri. Lalu menghilang perlahan-lahan. Menghilang perlahan-lahan.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...