“I’m shining like a candle in the dark, when
you tell me that you love me”
Aku
bersinar bagaikan lilin dalam kelam, saat kau katakan bahwa kau mencintaiku.
Demikian alunan lembut Diana Ross
mengisi ruang kafe yang dingin ber-AC saat kulihat dia memasuki pintu utama.
Sendirian. Dengan wajah yang riang dia mendatangi mejaku. Kami lalu bersalaman.
Dua puluh tahun lebih kami tidak bersua. Dan kini, jauh dari kota kelahiran, di sebuah kafe yang
menghidangkan makanan dari negeri lain, kami kembali menuturkan masa silam.
Tentang kenangan indah yang telah lelap dalam waktu. Sebuah reuni.
Lama setelah pertemuan itu, aku merenungkan suatu hal yang terasa ganjil. Hampir dua jam kami bersama, bertukar tutur. Tetapi antara kami terbentang keterasingan hati. Keakraban masa lalu telah menjadi fosil. Yang kami perbincangkan hanyalah kulit-kulit kehidupan. Dia dan aku. Dan istrinya yang tidak sempat hadir karena tertelan kesibukan pekerjaannya. Waktu nampak seperti raksasa bengis yang merobek-robek kehidupan. Kehiruk-pikukan mengasingkan kami satu sama lain. Inikah hakekat kemoderenan? Saat komunikasi semakin tidak mengenal tapal batas, saat itu pula hubungan muka dengan muka antar individu semakin menjauh.
“Saya
merasa bahwa kita sedemikian tenggelam dalam kesibukan, bahkan hingga tidak ada
waktu lagi untuk memperhatikan dan memberikan senyuman kepada satu sama lain”
kata Ibu Teresa menyikapi situasi keterpencilan manusia-manusia modern. Hidup
kian menegangkan. Tiap orang mencari kesejahteraannya dan menafikan keberadaan
yang lainnya. Hidup menjadi sebuah perjalanan dalam labirin yang tidak lagi
diketahui ujungnya. Pada akhirnya, kita hanya berputar-putar tanpa arah dan
tanpa tujuan kecuali demi kesenangan hidup yang sesaat saja. Kita saling
meninggalkan dan ditinggalkan. Sepi, sendiri dan terkucil. Kebersamaan mati.
Tempat kediaman yang kita bangun kita kelilingi tembok tebal serta pagar
berduri. Jiwa dan perasaan kita pun terpagari dengan topeng tebal, menolak
siapapun yang mencoba masuk. Tak mengenal dan dikenal. Terasing satu sama lain.
Aku bersinar bagaikan lilin dalam
kelam, saat kau katakan bahwa kau mencintaiku, desah Diana Ross. Tidakkah
seharusnya kita menyatakan hal itu juga? Kita, satu sama lain, jika saling
menyayangi dapat menerangi dunia yang gelap ini. Mengapa hal itu terasa
demikian sulit? Mengapa kita selalu dikungkung oleh kesombongan, keengganan
atau rasa takut ditolak hingga sudi mematikan cinta itu sendiri? Mengapa?
Haruskah pengejaran terhadap materi semakin menjauhkan kita satu sama lain? Dan
kalau begitu perlukah kebersamaan itu? Tidakkah lebih baik kita mengunci diri
dan tenggelam dalam kebisuan kita masing-masing? Kebisuan dan kehampaan di
dalam jiwa yang terkungkung oleh segala nafsu, ambisi dan keakuan kita?
Kian kita merasa menjadi modern kian
terasing pula kita satu sama lain. Hanya kesuksesan dan keberhasilan dalam
bentuk materi, kekuatan dan kekuasaan yang menguber hidup. Suara hati menjadi
sayup dan menjauh. Cinta Kasih menjadi gaung masa lampau yang tak bermakna dan
tidak lagi menyentuh kita. Maka aku dan dia, duduk bersama, saling bertukar
kisah tetapi melulu tentang apa-apa yang terjadi di luar dari diri sendiri.
Sedang nasib diri hanya tertinggal dalam tahanan yang tak ingin dikenal, tak
ingin diketahui. Lelap dalam rahasia kegelapan hidup masing-masing. Maka tepat
pada waktunya, dia pun meninggalkanku. Waktu menguber kami. Waktu dalam jadwal.
Waktu untuk hidup. Waktu yang membuat hidup menjadi asing satu sama lain.
Desahan Diana Ross hanya bergaung sepi sendiri. Lalu menghilang perlahan-lahan.
Menghilang perlahan-lahan.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar