04 Mei 2017

BISA

Akhir-akhir ini, kita direcoki dengan kegaduhan pemilihan gubernur Jakarta. Baik mereka yang berkepentingan maupun yang tidak berkepentingan, saling melempar isu dan menyebarkan kabar yang kadang sulit untuk dipastikan kebenaran. Masing-masing pendukung saling berdebat, tak mau kalah dan yang memprihatinkan, bukannya mengolah program masing-masing calon, tetapi justru mengarah ke segi negatip: agama dan pribadi.

Dalam sebuah group, yang kebetulan saya menjadi salah seorang moderatornya, ada yang setiap saat membagikan berita-berita yang cenderung menyindir dan bahkan membuat saya merasa risih antara lain karena persoalan agama menjadi tema utama dalam tiap berita yang dibagikan itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk menolak dan langsung menghapus link-link itu sambil mengemukakan alasanku bahwa pertama, anggota group tidak hanya penduduk Jakarta saja (bahkan hanya sebagian kecil yang bermukim di Jakarta) dan kedua, isi dari berita yang dibagikan terlalu tendensius membela seorang calon dan tidak memperhitungkan pendapat lain yang berbeda sehingga bisa menimbulkan perdebatan yang tidak berguna terutama karena lebih menyangkut soal keyakinan seseorang daripada program yang diusung calon tersebut.

Setelah berita yang dimasukkan ke dalam group ditolak dan dihapus, ada yang marah dan tersinggung, kemudian memutuskan untuk keluar dari keanggotaan group. Saya bertanya-tanya, jika kita ini hanya ingin didengarkan (dibaca) tetapi tak ingin mendengarkan (membaca), dan jika masing-masing pihak punya pendapat dan kelakuan yang sama, bagaimana kita dapat menemukan kesepahaman dan saling menerima perbedaan satu sama lain? Jika kita selalu mengkritik mereka yang berbeda pendapat tetapi marah jika pendapat kita dikritik, bagaimana kita berkata bahwa kita memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan demokrasi? Bagaimana pun, jika sikap ‘pokoknya saya benar’ itu menjadi sikap kita, dan selalu menyalahkan pendapat yang berbeda, dapatkah kita berkata bahwa kita memperjuangkan demokrasi?

Maka jika kita senang berseru bahwa kita bisa (menang), jangan-jangan justru kita sendiri menjadi bisa yang mematikan calon yang dibela dan didukung habis-habisan itu. Sikap mau menang sendiri menjadi sikap yang tidak produktip dan membuat mereka yang diam menjadi muak dan akhirnya mungkin menolak untuk mendukung calon yang dibela habis-habisan dengan segala cara itu. Dan barangkali, itu menjadi salah satu sebab kekalahan calon tersebut. Bukan karena tidak meyakini kemampuan sang calon tetapi lebih karena sikap para pendukungnya yang sangat fanatik sehingga tak mau menerima pendapat lain yang berbeda dan karena itu kelihatan justru menjadi diktator yang menakutkan dan perlu ditolak. Sayang sekali....


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...