Akhir-akhir ini, kita direcoki dengan kegaduhan pemilihan
gubernur Jakarta. Baik mereka yang berkepentingan maupun yang tidak
berkepentingan, saling melempar isu dan menyebarkan kabar yang kadang sulit untuk
dipastikan kebenaran. Masing-masing pendukung saling berdebat, tak mau kalah
dan yang memprihatinkan, bukannya mengolah program masing-masing calon, tetapi
justru mengarah ke segi negatip: agama dan pribadi.
Dalam sebuah group, yang kebetulan saya menjadi salah
seorang moderatornya, ada yang setiap saat membagikan berita-berita yang
cenderung menyindir dan bahkan membuat saya merasa risih antara lain karena persoalan
agama menjadi tema utama dalam tiap berita yang dibagikan itu. Akhirnya, saya
memutuskan untuk menolak dan langsung menghapus link-link itu sambil
mengemukakan alasanku bahwa pertama, anggota group tidak hanya penduduk Jakarta
saja (bahkan hanya sebagian kecil yang bermukim di Jakarta) dan kedua, isi dari
berita yang dibagikan terlalu tendensius membela seorang calon dan tidak
memperhitungkan pendapat lain yang berbeda sehingga bisa menimbulkan perdebatan
yang tidak berguna terutama karena lebih menyangkut soal keyakinan seseorang
daripada program yang diusung calon tersebut.
Setelah berita yang dimasukkan ke dalam group ditolak dan
dihapus, ada yang marah dan tersinggung, kemudian memutuskan untuk keluar dari
keanggotaan group. Saya bertanya-tanya, jika kita ini hanya ingin didengarkan
(dibaca) tetapi tak ingin mendengarkan (membaca), dan jika masing-masing pihak
punya pendapat dan kelakuan yang sama, bagaimana kita dapat menemukan
kesepahaman dan saling menerima perbedaan satu sama lain? Jika kita selalu mengkritik
mereka yang berbeda pendapat tetapi marah jika pendapat kita dikritik,
bagaimana kita berkata bahwa kita memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan
demokrasi? Bagaimana pun, jika sikap ‘pokoknya saya benar’ itu menjadi sikap kita,
dan selalu menyalahkan pendapat yang berbeda, dapatkah kita berkata bahwa kita
memperjuangkan demokrasi?
Maka jika kita senang berseru bahwa kita bisa (menang),
jangan-jangan justru kita sendiri menjadi bisa yang mematikan calon yang dibela
dan didukung habis-habisan itu. Sikap mau menang sendiri menjadi sikap yang tidak
produktip dan membuat mereka yang diam menjadi muak dan akhirnya mungkin
menolak untuk mendukung calon yang dibela habis-habisan dengan segala cara itu.
Dan barangkali, itu menjadi salah satu sebab kekalahan calon tersebut. Bukan
karena tidak meyakini kemampuan sang calon tetapi lebih karena sikap para
pendukungnya yang sangat fanatik sehingga tak mau menerima pendapat lain yang berbeda
dan karena itu kelihatan justru menjadi diktator yang menakutkan dan perlu
ditolak. Sayang sekali....
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar