Air mata berlinang di pipinya saat oma itu menerima komuni kudus. Dia duduk
sambil menyandarkan tubuhya yang lumpuh di atas sebuah kursi tua, mungkin setua
dirinya sendiri. Sementara suaminya berdiri di sampingnya. Memegang bahunya. Tangannya
gemetar. Tetapi matanya lembut menatap istrinya dengan penuh kasih. Dan kami
memandang mereka diam-diam. Berdoa. Dan merasakan suatu perasaan lembut meresap
dalam hati. Opa dan oma yang hidup hanya berdua di sebuah rumah sederhana.
Tetapi dengan taman yang tertata rapi. Dan bebungaan yang indah tumbuh di taman
depan rumah mereka. Setiap kali kami datang membawa komuni, setiap kali pula
kejadian yang sama terulang. Suatu perasaan damai. Suatu keindahan cinta kasih
dari pasangan yang telah melalui sejarah hidup yang panjang. Suatu kekuatan
iman pada tubuh Kristus yang diterimanya.
Maka setiap kali mendengar kekisruhan dalam rumah tangga, pertengkaran,
perceraian dan perselingkuhan, setiap kali pula kukenang opa dan oma itu. Dan
setiap ada yang mempertanyakan keberadaan cinta kasih dan kekuatan iman dalam
menghadapi hidup ini, selalu pula kuingat mereka. Kapasitas kita dalam
menghadapi dan menerima tantangan hidup sesungguhnya terletak pada diri kita
sendiri. Mengapa harus mempersalahkan orang lain jika kitalah yang gagal untuk
menguasai diri? Mengapa terus mempersalahkan Tuhan jika sesungguhnya apa yang
kita alami berawal dari keputusan kita sendiri? Tak sadarkah kita bahwa jalan
yang kita tempuh sekarang merupakan hasil dari pilihan kita sendiri? Tuhan
tidak pernah memaksa kita untuk memilih jalan hidup yang kini kita tempuh.
Tuhan memberi kita kebebasan yang amat besar untuk menentukan nasib kita
sendiri. Maka kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas apa yang kini kita
alami. Kita sendiri.
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon
dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan
tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada
hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kej 2:16-17). Demikianlah
Tuhan memberi kita kebebasan penuh untuk berbuat dan mengalami. Tuhan hanya
membatasi kita dengan satu kewajiban sederhana, untuk tidak memakan buah
terlarang dari pohon pengetahuan. Tetapi kita toh tetap punya pilihan untuk
memakannya, jika kita mau. Dan ternyata kita pun mau. Apakah dengan demikian
Tuhan bersalah karena telah menciptakan pohon terlarang itu? Mengapa kita
sendiri sering merasa marah lalu mempersalahkan orang lain atas kemalangan yang
menimpa kita? Atau mempersalahkan lingkungan kita? Atau situasi? Bukankah
semuanya mutlak merupakan pilihan hidup yang telah kita ambil sendiri?
Indahnya pilihan hidup yang telah kita putuskan bukan hanya nampak dari
kebahagiaan yang kita nikmati. Tetapi terlebih-lebih terpancar saat kita
mengalami penderitaan. Cinta kasih bukan terletak dalam kesenangan semata.
Tetapi juga dalam kesengsaraan. Setiap kali kami datang mengunjungi opa-oma
itu, setiap kali pula kami merasakan sentuhan cinta kasih dalam setiap elusan
lembut opa tua itu pada bahu istrinya yang kini sama sekali tak mampu untuk
membalasnya. Dalam pandangan mata mereka. Maka ketika mata oma itu mulai
berkaca-kaca saat dia meresapi kehadiran tubuh Kristus yang diterimanya, saat
itu pula kami diberikan suatu kekuatan baru untuk tetap setia melayaniNya. Sebab,
bukankah kuk yang dipasangNya itu enak dan beban dariNya pun ringan, selama
kita tetap setia dan konsisten untuk belajar dariNya? Sungguh Indahlah tanggung
jawab yang telah diberikan Tuhan atas pilihan yang telah kita ambil sendiri. Dan
itulah hidup.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar