05 Mei 2017

HAI UMAT APA SALAHKU?

Semua manusia pernah mengenal cinta. Lebih-lebih cinta dari Tuhan. Dengan nada yang lembut, Edward Young, seorang penyair Inggris mengatakan: “Pada malam hari/Bahkan seorang atheis pun/Setengah percaya pada Tuhan” Yah, tak seorang pun lepas dari kondisi pengakuan pada sesuatu yang Maha, yang kerap kali menyentuh nuraninya.

Aku mengenal seorang pria paruh baya, yang lembut dan ramah tetapi amat jarang ke Gereja dan bisa dikata tidak pernah lagi. Kami sering terlibat dalam obrolan yang hangat dan dalam sehingga tak jarang amat menguras pikiranku. Suatu hari aku bertanya kepadanya:
“Pak, kenapa bapak tidak pernah ke Gereja? Apa Bapak tidak mencintai Tuhan?”
“Ya, bagaimana ya, bukannya tidak cinta. Tetapi mana aku sempat. Waktuku terkuras habis bahkan masih terasa kurang untuk mencari sesuap nasi agar keluargaku tetap jalan. Tiap waktu. Tiap detik aku selalu mengingat-Nya tetapi...... yah Bapak lihat sendiri bagaimana hidupku ini”

Memang, dengan kehidupan yang amat sederhana, dia mesti menghidupi istri dan enam orang anaknya. Aku toh mengaguminya walaupun kadang juga kesal melihat situasi yang demikian. Bagaimana tidak? Tahu kondisi ekonominya yang berat, anak-anak terus juga nonggol. Dan kini istrinya pun sedang hamil muda. Tetapi begitulah hidupnya.

Suatu hari lagi, sedikit penasaran, aku bertanya:
“Pak, apa memang hidup Bapak sedemikian sempitnya hingga biarpun hanya sejam dua jam buat mencari berkatNya Bapak tidak sempat?”
“Ya, Pak” katanya, “Aku tidak mau menemui Tuhan dalam situasi terburu-buru seperti yang sering kita lihat di Gereja. Coba, banyak orang yang lebih menghormati boss-nya dari pada Tuhan. Ke Gereja, terlambat tidak masalah tetapi kalau ke tempat kerja mana berani dia. Juga, Misa belum selesai orang-orang sudah pada bubar. Mana berani mereka pulang sebelum jam kerja usai. Bisa-bisa dipotong gajinya, he....he...”
“Ya, ya, tetapi tak bisakah Bapak usahakan?”
Dia menatapku dengan tajam dan kemudian tersenyum. Dengan lembut tetapi agak keras dia berkata:
“Pak. Aku ini orang melarat. SMA saja tidak tamat. Kalah terus menerus di segala persaingan, terutama dalam mencari kerja. Makan minum kami sekeluarga pun tak tentu. Bahkan rumah pun hanya kontrak terus menerus. Karena itu, bengkel kecil ini harus tetap terbuka agar ada kesempatan untuk mendapatkan sekedar pembeli beras. Tetapi aku pun sadar bahwa banyak, yah amat banyak pula sesamaku yang jauh lebih sengsara dariku. Aku masih memiliki keterampilan. Mereka tidak. Tetapi bagaimana pun kami harus hidup khan. Kami tetap akan hidup!”
“Ya” kataku. Saat itu aku masih ingin ngoceh tetapi tahu apa yang mesti dikatakan lagi. Dia masih saja menatapku, lalu sambungnya lagi:
“Aku tahu, pilihan hidupku ini mungkin salah. Mungkin. Tetapi seluruh tenaga dan waktuku telah terkuras habis untuk menghidupi diri dan keluargaku. Lalu apa lagi yang dapat kupersembahkan kepada Tuhan? Saat kami lapar, tak ada yang memberi kami makan. Saat kami haus, tak ada yang memberi kami minum. Saat kami sakit, tak ada yang menjenguk kami. Dan saat kami kesepian, datangkah kalian menghibur kami? Maka hanya cintalah yang masih kami miliki. Hanya cinta saja. Dan saat ini, itu sudah cukup”
Aku pun bungkam. Kalimat-kalimat itu, aku tahu asalnya.

Yah, apakah memang kita telah kehilangan cinta? Sebagai sesama anggota Tubuh Kristus, Tubuh Gereja, apakah kita saling memperhatikan? Saling menyayangi? Saling melindungi? Rasa-rasanya sering sebaliknya yang terjadi. Maka dengan murung, petang itu aku pulang sambil mencari cinta di sepanjang jalan yang kulalui. Siapa tahu cinta itu sedang tercecer hingga kita semua tidak lagi memilikinya. Yah, siapa tahu..................


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...