Semua manusia pernah
mengenal cinta. Lebih-lebih cinta dari Tuhan. Dengan nada yang lembut, Edward
Young, seorang penyair Inggris mengatakan: “Pada malam hari/Bahkan seorang
atheis pun/Setengah percaya pada Tuhan” Yah, tak seorang pun lepas dari kondisi
pengakuan pada sesuatu yang Maha, yang kerap kali menyentuh nuraninya.
Aku mengenal seorang pria paruh baya, yang lembut dan ramah tetapi amat jarang ke Gereja dan bisa dikata tidak pernah lagi. Kami sering terlibat dalam obrolan yang hangat dan dalam sehingga tak jarang amat menguras pikiranku. Suatu hari aku bertanya kepadanya:
“Pak, kenapa bapak
tidak pernah ke Gereja? Apa Bapak tidak mencintai Tuhan?”
“Ya, bagaimana ya,
bukannya tidak cinta. Tetapi mana aku sempat. Waktuku terkuras habis bahkan
masih terasa kurang untuk mencari sesuap nasi agar keluargaku tetap jalan. Tiap
waktu. Tiap detik aku selalu mengingat-Nya tetapi...... yah Bapak lihat sendiri
bagaimana hidupku ini”
Memang, dengan kehidupan yang amat
sederhana, dia mesti menghidupi istri dan enam orang anaknya. Aku toh
mengaguminya walaupun kadang juga kesal melihat situasi yang demikian.
Bagaimana tidak? Tahu kondisi ekonominya yang berat, anak-anak terus juga nonggol. Dan kini istrinya pun sedang
hamil muda. Tetapi begitulah hidupnya.
Suatu hari lagi, sedikit penasaran, aku bertanya:
“Pak, apa memang
hidup Bapak sedemikian sempitnya hingga biarpun hanya sejam dua jam buat mencari
berkatNya Bapak tidak sempat?”
“Ya, Pak” katanya,
“Aku tidak mau menemui Tuhan dalam situasi terburu-buru seperti yang sering
kita lihat di Gereja. Coba, banyak orang yang lebih menghormati boss-nya dari pada Tuhan. Ke Gereja,
terlambat tidak masalah tetapi kalau ke tempat kerja mana berani dia. Juga,
Misa belum selesai orang-orang sudah pada bubar. Mana berani mereka pulang
sebelum jam kerja usai. Bisa-bisa dipotong gajinya, he....he...”
“Ya, ya, tetapi
tak bisakah Bapak usahakan?”
Dia menatapku
dengan tajam dan kemudian tersenyum. Dengan lembut tetapi agak keras dia
berkata:
“Pak. Aku ini
orang melarat. SMA saja tidak tamat. Kalah terus menerus di segala persaingan,
terutama dalam mencari kerja. Makan minum kami sekeluarga pun tak tentu. Bahkan
rumah pun hanya kontrak terus menerus. Karena itu, bengkel kecil ini harus
tetap terbuka agar ada kesempatan untuk mendapatkan sekedar pembeli beras.
Tetapi aku pun sadar bahwa banyak, yah amat banyak pula sesamaku yang jauh
lebih sengsara dariku. Aku masih memiliki keterampilan. Mereka tidak. Tetapi
bagaimana pun kami harus hidup khan. Kami tetap akan hidup!”
“Ya” kataku. Saat
itu aku masih ingin ngoceh tetapi tahu apa yang mesti dikatakan lagi. Dia masih
saja menatapku, lalu sambungnya lagi:
“Aku tahu, pilihan
hidupku ini mungkin salah. Mungkin. Tetapi seluruh tenaga dan waktuku telah
terkuras habis untuk menghidupi diri dan keluargaku. Lalu apa lagi yang dapat
kupersembahkan kepada Tuhan? Saat kami lapar, tak ada yang memberi kami makan.
Saat kami haus, tak ada yang memberi kami minum. Saat kami sakit, tak ada yang
menjenguk kami. Dan saat kami kesepian, datangkah kalian menghibur kami? Maka
hanya cintalah yang masih kami miliki. Hanya cinta saja. Dan saat ini, itu
sudah cukup”
Aku pun bungkam.
Kalimat-kalimat itu, aku tahu asalnya.
Yah, apakah memang kita telah
kehilangan cinta? Sebagai sesama anggota Tubuh Kristus, Tubuh Gereja, apakah
kita saling memperhatikan? Saling menyayangi? Saling melindungi? Rasa-rasanya
sering sebaliknya yang terjadi. Maka dengan murung, petang itu aku pulang
sambil mencari cinta di sepanjang jalan yang kulalui. Siapa tahu cinta itu
sedang tercecer hingga kita semua tidak lagi memilikinya. Yah, siapa
tahu..................
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar