02 Mei 2017

RAPUH

Hidup ini rapuh. Sangat rapuh. Dan kita telah belajar dari sejarah, betapa tak berartinya kebenaran yang kita yakini. Ketika dulu ada yang berkata bahwa bumi bukan pusat alam semesta, karena bumilah yang mengitari matahari, yang bertentangan dengan ‘kebenaran’ yang dipercayai saat itu, mereka yang meyakini ‘kebenaran yang berbeda’ itu dilawan. Bahkan dengan kekerasan. Bahkan dengan pembunuhan. Tetapi kita tahu sekarang, bagaimana kenyataan sebenarnya.

Maka setiap kali mendengar dan membaca perdebatan tentang ‘kebenaran’ di antara kita, saya selalu bertanya dalam hati, apa gunanya semua itu? Bukankah ‘kebenaran’ yang saat ini kita yakini sesungguhnya sangat rapuh? ‘Kebenaran; yang kita yakini hanya ‘kebenaran’ yang ada dalam pikiran kita saja. Dan karena kita semua memiliki pikiran yang berbeda, haruskah itu menjadi penghalang kebersamaan kita sebagai manusia yang rapuh juga?

Sebab, sekuat apapun perasaan kita, ada waktunya kelak, kita kan usai juga. Saat waktunya tiba, bagaimanakah cara kita untuk memahami kebenaran itu? Sebab sesungguhnya kita , ya kita semua, hidup dengan tanda tanya besar tentang apakah yang akan kita hadapi kelak. Maka pada akhirnya, bukan pikiran tetapi perbuatan kita yang akan menentukan makna kebenaran dan keberadaan kita di dunia ini.

Maka apa gunanya kayakinan yang teguh jika tidak disertai dengan perbuatan yang baik? Apa gunanya segala perdebatan tentang benar dan salah jika dalam sikap dan perbuatan kita hanya mengorbankan orang lain? Apa artinya keyakinan kita jika sesama kita harus menderita karena keyakinan akan ‘kebenaran’ kita itu? Siapakah kita yang seakan ingin menjadi raja atas ‘kebenaran’ yang tidak tentu benar? Siapakah kita ini sebenarnya? Seorang manusia yang lemah atau seorang manusia yang ingin dianggap kuat dan mampu menguasai awal dan akhir kehidupan sesama?

Hidup ini rapuh. Sangat rapuh. Dalam waktu yang terduga, disadari atau tidak, kita akan kehilangan kehidupan ini. Pada saat itu tiba, apakah kesadaran kita akan tetap ada? Apakah ‘kebenaran’ kita akan tetap benar? Tetapi ah, sungguh banyak pertanyaan yang tidak dapat kita jawab sebelum waktunya tiba. Sungguh keyakinan kita pada kebenaran yang ingin kita tegakkan hanya menjadi bayang-bayang suram jika kita memaksakan kebenaran kita pada orang lain. Siapa tahu, kelak, kitalah yang salah. Ya, siapa tahu? Siapakah yang dapat memastikannya? Siapa?

Maka berdebat atau bahkan mempertahankan ‘kebenaran’ kita sendiri sungguh tak punya arti apa-apa. Yang menentukan keberadaan kita adalah kemanusiaan kita sendiri. Apa yang telah kita buat bagi sesama. Apa yang telah kita lakukan untuk menyentuh kehidupan ini sebagai insan yang percaya bahwa tidak ada yang kekal selain perubahan dalam situasi dan kondisi semesta luas ini. Sebab kita hanyalah setitik noktah dalam keluasan dunia secara keseluruhan. Kita cuma sebintik dalam perjalanan waktu sejarah kehidupan ini. Kita ini sungguh bukan siapa-siapa selalin dari rapuhnya nafas yang kita miliki. Dan jika waktunya tiba, kelak, kita hanya bisa berharap yang terbaik bagi kita. Hanya bisa berharap saja.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...