Hidup ini rapuh. Sangat rapuh. Dan kita telah belajar
dari sejarah, betapa tak berartinya kebenaran yang kita yakini. Ketika dulu ada
yang berkata bahwa bumi bukan pusat alam semesta, karena bumilah yang mengitari
matahari, yang bertentangan dengan ‘kebenaran’ yang dipercayai saat itu, mereka
yang meyakini ‘kebenaran yang berbeda’ itu dilawan. Bahkan dengan kekerasan.
Bahkan dengan pembunuhan. Tetapi kita tahu sekarang, bagaimana kenyataan
sebenarnya.
Maka setiap kali mendengar dan membaca perdebatan tentang
‘kebenaran’ di antara kita, saya selalu bertanya dalam hati, apa gunanya semua
itu? Bukankah ‘kebenaran’ yang saat ini kita yakini sesungguhnya sangat rapuh? ‘Kebenaran;
yang kita yakini hanya ‘kebenaran’ yang ada dalam pikiran kita saja. Dan karena
kita semua memiliki pikiran yang berbeda, haruskah itu menjadi penghalang
kebersamaan kita sebagai manusia yang rapuh juga?
Sebab, sekuat apapun perasaan kita, ada waktunya kelak,
kita kan usai juga. Saat waktunya tiba, bagaimanakah cara kita untuk memahami
kebenaran itu? Sebab sesungguhnya kita , ya kita semua, hidup dengan tanda
tanya besar tentang apakah yang akan kita hadapi kelak. Maka pada akhirnya,
bukan pikiran tetapi perbuatan kita yang akan menentukan makna kebenaran dan
keberadaan kita di dunia ini.
Maka apa gunanya kayakinan yang teguh jika tidak disertai
dengan perbuatan yang baik? Apa gunanya segala perdebatan tentang benar dan
salah jika dalam sikap dan perbuatan kita hanya mengorbankan orang lain? Apa
artinya keyakinan kita jika sesama kita harus menderita karena keyakinan akan ‘kebenaran’
kita itu? Siapakah kita yang seakan ingin menjadi raja atas ‘kebenaran’ yang
tidak tentu benar? Siapakah kita ini sebenarnya? Seorang manusia yang lemah
atau seorang manusia yang ingin dianggap kuat dan mampu menguasai awal dan
akhir kehidupan sesama?
Hidup ini rapuh. Sangat rapuh. Dalam waktu yang terduga,
disadari atau tidak, kita akan kehilangan kehidupan ini. Pada saat itu tiba,
apakah kesadaran kita akan tetap ada? Apakah ‘kebenaran’ kita akan tetap benar?
Tetapi ah, sungguh banyak pertanyaan yang tidak dapat kita jawab sebelum
waktunya tiba. Sungguh keyakinan kita pada kebenaran yang ingin kita tegakkan
hanya menjadi bayang-bayang suram jika kita memaksakan kebenaran kita pada
orang lain. Siapa tahu, kelak, kitalah yang salah. Ya, siapa tahu? Siapakah
yang dapat memastikannya? Siapa?
Maka berdebat atau bahkan mempertahankan ‘kebenaran’ kita
sendiri sungguh tak punya arti apa-apa. Yang menentukan keberadaan kita adalah
kemanusiaan kita sendiri. Apa yang telah kita buat bagi sesama. Apa yang telah
kita lakukan untuk menyentuh kehidupan ini sebagai insan yang percaya bahwa
tidak ada yang kekal selain perubahan dalam situasi dan kondisi semesta luas
ini. Sebab kita hanyalah setitik noktah dalam keluasan dunia secara
keseluruhan. Kita cuma sebintik dalam perjalanan waktu sejarah kehidupan ini.
Kita ini sungguh bukan siapa-siapa selalin dari rapuhnya nafas yang kita
miliki. Dan jika waktunya tiba, kelak, kita hanya bisa berharap yang terbaik
bagi kita. Hanya bisa berharap saja.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar