07 Mei 2017

PEMULUNG

Pukul empat subuh. Fajar belum menyingsing namun sang ibu telah terjaga dan mulai menjerang air. Percikan api meloncat dari anglo, sedikit menghangatkan udara yang masih terasa dingin. Ruangan dapur itu amat kecil, menyatu dengan ruang tidur dan sekaligus merangkap sebagai ruang tamu pula. Lantainya dari tanah liat. Dinding-dindingnya terbuat dari dua tiga lembar seng yang disusun berselang-seling dengan tripleks bekas. Atapnya, yang terbuat dari rumbia, nampak bolong di sana-sini sehingga di siang hari, dalam ruang yang sempit dan gelap itu, akan muncul titik-titik cahaya bagai bintang malam hari.

Beberapa saat kemudian sang ayah juga telah ikut membantu dengan mencuci pakaian anak-anaknya yang hanya dua tiga helai kain yang nampak rombeng. Keluarga itu memiliki dua orang anak, satu putra dan satu putri. Gubuk yang mereka tempati terletak di sisi Tempat Pembuangan Akhir sampah-sampah kota. Pekerjaan mereka adalah mengumpulkan karton, kaleng serta plastik-plastik bekas untuk dijual kepada seorang juragan di kota.

Anak-anak pun bangun. Sang putri berusia lima tahun dan sang putra tujuh tahun. Mereka berlarian menuju ke sumur yang dipergunakan bersama penduduk lainnya di sebelah utara gubuk mereka. Di sana mereka mandi dan buang hayat di sebuah WC umum dekat sumur itu. Lalu, tanpa sarapan anak-anak itu pergi berkeliaran di perumahan yang terletak dekat pemukiman mereka untuk memulung segala macam barang buangan penghuninya. Sementara itu kedua orang tuanya memulai kerja harian mereka, mengais-ngais tumpukan sampah untuk mencari botol, karton dan barang plastik bekas lain untuk dijadikan uang.

Siang harinya mereka berkumpul kembali di gubuk mereka sambil mengumpulkan jinjingan mereka masing-masing. Sang ibu menyiapkan santapan sekedarnya sementara sang ayah kemudian sibuk memilah-milah barang yang telah terkumpul untuk dijual kepada juragan. Sore hari, sementara sang ayah membawa buntelan barang-barang itu ke kota untuk diuangkan dan sang ibu sibuk menjahit pakaian yang sobek, kedua anak itu bermain di sekitar timbunan sampah sambil mata mereka awas untuk mendapatkan barang-barang yang masih dapat digunakan atau dijual. Dan pada malam hari, setelah mandi, mereka berkumpul bersama sambil menghitung penghasilan hari itu. Lumayan, hari itu mereka mengumpulkan Rp. 16.000. Sesudah makan malam, sang ayah memimpin mereka dalam doa: “Ya Bapa, terima kasih atas berkat yang telah Kau berikan pada kami hari ini…..” Lalu mereka pun tidur.

Begitulah hidup keseharian sebuah keluarga pemulung. Mereka semua bekerja dan anak-anak tidak sekolah sebab untuk hidup pun tidak pernah mencukupi. Seorang temanku yang meneliti kemiskinan di kota ini pernah berkata kepadaku: “Kadang-kadang jika anak-anak itu pulang dengan wajah babak belur dan berdarah-darah, setelah dihajar karena kedapatan mencoleng, saya bertanya-tanya dalam hati. Berdosakah mereka? Mereka mencoleng untuk menghidupi hidup sedang banyak pejabat yang mencoleng untuk menikmatkan hidup tidak diapa-apakan. Ah, saya tidak tahu jawabannya. Saya sungguh tidak tahu……..” Dan saya juga tidak tahu.
Maka menjelang hari raya kelahiran penyelamat kita ini, saya menghimbau kepada kita semua untuk ikut memikirkan nasib mereka, orang-orang yang terpinggirkan. Mari kita sisihkan sebagian kesenangan kita. Mari kita bagikan sebagian kegembiraan kita. Mari membantu mereka dengan menyumbangkan apa saja yang kita anggap layak untuk mereka semua. Jangan kita biarkan kejahatan menang hanya karena ketidakpedulian kita. Sebab, “Untuk apa kita hidup kalau bukan untuk saling memudahkan hidup kita satu sama lain? Itulah kata George Elliot. Dan semoga kita semua sadar untuk melakukannya.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

WAKTU

  Sering, saat malam kelam, aku menatap puluhan, ratusan bahkan ribuan bintang yang kelap-kelip di langit di atas kepalaku. Panorama yang ha...