Pukul
empat subuh. Fajar belum menyingsing namun sang ibu telah terjaga dan mulai
menjerang air. Percikan api meloncat dari anglo, sedikit menghangatkan udara
yang masih terasa dingin. Ruangan dapur itu amat kecil, menyatu dengan ruang
tidur dan sekaligus merangkap sebagai ruang tamu pula. Lantainya dari tanah
liat. Dinding-dindingnya terbuat dari dua tiga lembar seng yang disusun
berselang-seling dengan tripleks bekas. Atapnya, yang terbuat dari rumbia,
nampak bolong di sana-sini sehingga di siang hari, dalam ruang yang sempit dan
gelap itu, akan muncul titik-titik cahaya bagai bintang malam hari.
Beberapa
saat kemudian sang ayah juga telah ikut membantu dengan mencuci pakaian
anak-anaknya yang hanya dua tiga helai kain yang nampak rombeng. Keluarga itu
memiliki dua orang anak, satu putra dan satu putri. Gubuk yang mereka tempati
terletak di sisi Tempat Pembuangan Akhir sampah-sampah kota . Pekerjaan mereka adalah mengumpulkan
karton, kaleng serta plastik-plastik bekas untuk dijual kepada seorang juragan
di kota .
Anak-anak
pun bangun. Sang putri berusia lima
tahun dan sang putra tujuh tahun. Mereka berlarian menuju ke sumur yang
dipergunakan bersama penduduk lainnya di sebelah utara gubuk mereka. Di sana mereka mandi dan
buang hayat di sebuah WC umum dekat sumur itu. Lalu, tanpa sarapan anak-anak
itu pergi berkeliaran di perumahan yang terletak dekat pemukiman mereka untuk
memulung segala macam barang buangan penghuninya. Sementara itu kedua orang
tuanya memulai kerja harian mereka, mengais-ngais tumpukan sampah untuk mencari
botol, karton dan barang plastik bekas lain untuk dijadikan uang.
Siang
harinya mereka berkumpul kembali di gubuk mereka sambil mengumpulkan jinjingan
mereka masing-masing. Sang ibu menyiapkan santapan sekedarnya sementara sang
ayah kemudian sibuk memilah-milah barang yang telah terkumpul untuk dijual
kepada juragan. Sore hari, sementara sang ayah membawa buntelan barang-barang
itu ke kota untuk diuangkan dan sang ibu sibuk menjahit pakaian yang sobek,
kedua anak itu bermain di sekitar timbunan sampah sambil mata mereka awas untuk
mendapatkan barang-barang yang masih dapat digunakan atau dijual. Dan pada
malam hari, setelah mandi, mereka berkumpul bersama sambil menghitung
penghasilan hari itu. Lumayan, hari itu mereka mengumpulkan Rp. 16.000. Sesudah
makan malam, sang ayah memimpin mereka dalam doa: “Ya Bapa, terima kasih atas
berkat yang telah Kau berikan pada kami hari ini…..” Lalu mereka pun tidur.
Begitulah
hidup keseharian sebuah keluarga pemulung. Mereka semua bekerja dan anak-anak
tidak sekolah sebab untuk hidup pun tidak pernah mencukupi. Seorang temanku
yang meneliti kemiskinan di kota
ini pernah berkata kepadaku: “Kadang-kadang jika anak-anak itu pulang dengan
wajah babak belur dan berdarah-darah, setelah dihajar karena kedapatan
mencoleng, saya bertanya-tanya dalam hati. Berdosakah mereka? Mereka mencoleng
untuk menghidupi hidup sedang banyak pejabat yang mencoleng untuk menikmatkan
hidup tidak diapa-apakan. Ah, saya tidak tahu jawabannya. Saya sungguh tidak
tahu……..” Dan saya juga tidak tahu.
Maka
menjelang hari raya kelahiran penyelamat kita ini, saya menghimbau kepada kita
semua untuk ikut memikirkan nasib mereka, orang-orang yang terpinggirkan. Mari
kita sisihkan sebagian kesenangan kita. Mari kita bagikan sebagian kegembiraan
kita. Mari membantu mereka dengan menyumbangkan apa saja yang kita anggap layak
untuk mereka semua. Jangan
kita biarkan kejahatan menang hanya karena ketidakpedulian kita. Sebab, “Untuk apa kita hidup kalau bukan untuk saling memudahkan hidup
kita satu sama lain? Itulah kata George Elliot. Dan semoga kita semua sadar
untuk melakukannya.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar