Dingin. Kabut menyaput kanvas alam. Perlahan kami menembus ke dalam
sunyi. Bari san
bebukitan membentengi sisi-sisi jalan yang kulalui. Jejeran pepohonan
melambai-lambai. Tak terdengar suara namun terasa ada yang terus
memanggil-manggil. Suatu nyanyian hidup. Suatu keindahan yang tak terkatakan.
Hai, engkaukah itu yang datang melalui kabut? Engkaukah yang menyongsong sepi
sambil menenteng damai? Engkaukah yang menyerupai diriku sendiri? Engkaukah
aku?
Seringkali kita titi hidup, kita lewati pematang sejarah sambil
mengeluh. Seringkali pula keluhan kita menyangkut masa kini sambil membayangkan
masa lalu sebagai ind ah.
Masa lalu, suatu potret kenangan, yang dulu bahkan juga kerap kita keluhkan.
Adakah kesadaran kita akan waktu hanya serupa bias-bias semu semata?
Sebagaimana keindahan alam yang terasa menakjubkan saat kita jauh dari padanya.
Ya, tidakkah memandang suatu panorama gunung dari kejauhan jauh lebih menarik
daripada saat kita berada tepat di puncaknya? Dan lembah yang kita pijaki jauh
lebih menawan saat kita pandang dari atas puncak itu?
Kami menapak naik. Lembah yang baru kami lewati mulai menampakkan
keindahannya. Dan kami takjub. Takjub. Jalanan kian berliku-liku. Menanjak dan
menanjak. Maka, kian sulit medan
yang kulewati, kian indah pula panorama yang terhampar di depanku. Dan tepat di
bibir jurang Tinimbayo terbentanglah kemahabesaran Tuhan. Hamparan lembah
hijau. Jejeran bukit dan pegunungan. Panorama kota Rantepao di kejauhan hanya serupa
titik-titik tak berarti di luas bumi ini. Terasa betapa kita, terpencil jauh
dari segala keriuhan kumpulan massa ,
kian mendekati makna keberadaan sebagai manusia bebas. Manusia bebas namun tak
berarti di depan alam raya ini. Pada akhirnya, toh, kita hanya segumpal debu
belaka. Pada akhirnya, toh, kita akan kembali menyatu dengan keheningan dan
meninggalkan segala tetek bengek persoalan hidup.
Maka terasalah betapa sianya
kehidupan ini jika kita hanya bersungut-sungut saja. Jika kita hanya tenggelam
dalam hiruk pikuk permasalahan hidup, atau mencari pelarian dengan membenamkan
diri dalam obat lupa. Lupa yang sesaat karena permasalahan itu tak pernah akan
sirna. Di tebing curam Batutumonga ini, sekitar 22 km dari kota Rantepao, kutemukan bahwa sering kta
hidup dalam ilusi melulu. Kita hidup dalam suatu pengejaran kenikmatan yang tak
putus-putusnya. Suatu jalan panjang yang terentang tanpa ujung. Suatu
kesia-siaan.
“Marilah kepada-Ku semua yang letih
lesu dan berbeban berat…” ajak Yesus kepada kita semua. Dan kata-kataNya itu
berbisik dalam hatiku saat menyaksikan padang
keindahan bumi dari atas tebing Batutumonga ini. Berbisik dalam hening dan
dingin. Berbisik dalam sukma yang terperangah merasakan kekerdilan diri. Ala m. Hembusan angin.
Manusia. Siapakah kita? Mengapa hidup harus dipenuhi dengan keluhan maupun gela k tawa? Demi apakah
kita hidup dan terus bern afas?
Adak ah arti semua itu?
Pada akhirnya kita semua akan
menemukan arti saat tiba waktunya Dia memanggil kita. Kita dan segala
permasalahan kita akan lelap dalam alamNya yang sejati. Maka, “…Janganlah
kuatir akan hidupmu” bisikNya pula. Hidup kita mungkin getir. Hidup kita
mungkin terasa berat dan tak tertahankan. Tetapi percayalah kepadaNya.
Datanglah mengetuk pintuNya. Dan mintalah padaNya. Maka dia akan membebaskan
kita dari beban yang menhimpit jiwa dengan caraNya sendiri. Sebab kita hanyalah
titik kecil milikNya yang seharusnya sadar betapa terpencilnya kita dari
hamparan kehidupan di alam luas ini.
Satu jam setelah berdiri menikmati
keindahan itu, kami berlalu. Kami kembali memasuki jalan yang curam itu tetapi
kali ini dengan menurun. Hidup berbalik arah. Dengan tikungan yang sama tetapi
pun tak sama. Kami kembali memasuki kehidupan asali tetapi citra kenangan yang
telah tercetak di sanubari ini takkan pernah sirna lagi. Hidup ternyata ind ah. Hidup ternyata
menyimpan kepermaiannya, bukan hanya dalam gelak tawa tetapi pun dalam duka
lara. Dalam segala hal. Menembusi sunyi memasuki hiruk pikuk kota . Meninggalkan sapuan kabut dan dingin
angin. Tak ada yang perlu dikeluhkan. Tak ada.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar