05 Mei 2017

BATUTUMONGA

Dingin. Kabut menyaput kanvas alam. Perlahan kami menembus ke dalam sunyi. Barisan bebukitan membentengi sisi-sisi jalan yang kulalui. Jejeran pepohonan melambai-lambai. Tak terdengar suara namun terasa ada yang terus memanggil-manggil. Suatu nyanyian hidup. Suatu keindahan yang tak terkatakan. Hai, engkaukah itu yang datang melalui kabut? Engkaukah yang menyongsong sepi sambil menenteng damai? Engkaukah yang menyerupai diriku sendiri? Engkaukah aku?

Seringkali kita titi hidup, kita lewati pematang sejarah sambil mengeluh. Seringkali pula keluhan kita menyangkut masa kini sambil membayangkan masa lalu sebagai indah. Masa lalu, suatu potret kenangan, yang dulu bahkan juga kerap kita keluhkan. Adakah kesadaran kita akan waktu hanya serupa bias-bias semu semata? Sebagaimana keindahan alam yang terasa menakjubkan saat kita jauh dari padanya. Ya, tidakkah memandang suatu panorama gunung dari kejauhan jauh lebih menarik daripada saat kita berada tepat di puncaknya? Dan lembah yang kita pijaki jauh lebih menawan saat kita pandang dari atas puncak itu?

Kami menapak naik. Lembah yang baru kami lewati mulai menampakkan keindahannya. Dan kami takjub. Takjub. Jalanan kian berliku-liku. Menanjak dan menanjak. Maka, kian sulit medan yang kulewati, kian indah pula panorama yang terhampar di depanku. Dan tepat di bibir jurang Tinimbayo terbentanglah kemahabesaran Tuhan. Hamparan lembah hijau. Jejeran bukit dan pegunungan. Panorama kota Rantepao di kejauhan hanya serupa titik-titik tak berarti di luas bumi ini. Terasa betapa kita, terpencil jauh dari segala keriuhan kumpulan massa, kian mendekati makna keberadaan sebagai manusia bebas. Manusia bebas namun tak berarti di depan alam raya ini. Pada akhirnya, toh, kita hanya segumpal debu belaka. Pada akhirnya, toh, kita akan kembali menyatu dengan keheningan dan meninggalkan segala tetek bengek persoalan hidup.

        Maka terasalah betapa sianya kehidupan ini jika kita hanya bersungut-sungut saja. Jika kita hanya tenggelam dalam hiruk pikuk permasalahan hidup, atau mencari pelarian dengan membenamkan diri dalam obat lupa. Lupa yang sesaat karena permasalahan itu tak pernah akan sirna. Di tebing curam Batutumonga ini, sekitar 22 km dari kota Rantepao, kutemukan bahwa sering kta hidup dalam ilusi melulu. Kita hidup dalam suatu pengejaran kenikmatan yang tak putus-putusnya. Suatu jalan panjang yang terentang tanpa ujung. Suatu kesia-siaan.

     “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat…” ajak Yesus kepada kita semua. Dan kata-kataNya itu berbisik dalam hatiku saat menyaksikan padang keindahan bumi dari atas tebing Batutumonga ini. Berbisik dalam hening dan dingin. Berbisik dalam sukma yang terperangah merasakan kekerdilan diri. Alam. Hembusan angin. Manusia. Siapakah kita? Mengapa hidup harus dipenuhi dengan keluhan maupun gelak tawa? Demi apakah kita hidup dan terus bernafas? Adakah arti semua itu?

      Pada akhirnya kita semua akan menemukan arti saat tiba waktunya Dia memanggil kita. Kita dan segala permasalahan kita akan lelap dalam alamNya yang sejati. Maka, “…Janganlah kuatir akan hidupmu” bisikNya pula. Hidup kita mungkin getir. Hidup kita mungkin terasa berat dan tak tertahankan. Tetapi percayalah kepadaNya. Datanglah mengetuk pintuNya. Dan mintalah padaNya. Maka dia akan membebaskan kita dari beban yang menhimpit jiwa dengan caraNya sendiri. Sebab kita hanyalah titik kecil milikNya yang seharusnya sadar betapa terpencilnya kita dari hamparan kehidupan di alam luas ini.

      Satu jam setelah berdiri menikmati keindahan itu, kami berlalu. Kami kembali memasuki jalan yang curam itu tetapi kali ini dengan menurun. Hidup berbalik arah. Dengan tikungan yang sama tetapi pun tak sama. Kami kembali memasuki kehidupan asali tetapi citra kenangan yang telah tercetak di sanubari ini takkan pernah sirna lagi. Hidup ternyata indah. Hidup ternyata menyimpan kepermaiannya, bukan hanya dalam gelak tawa tetapi pun dalam duka lara. Dalam segala hal. Menembusi sunyi memasuki hiruk pikuk kota. Meninggalkan sapuan kabut dan dingin angin. Tak ada yang perlu dikeluhkan. Tak ada.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...