Jam
pada dinding tripleks biliknya baru menunjukkan pukul 03.30 subuh saat ia
bangkit dari pembaringannya untuk memulai kegiatan rutinnya sehari-hari. Tetapi
pagi itu badannya terasa meriang sebab semalam ia terlambat tidur setelah
menonton acara wayangan di TV milik pak lurah di balai desa. Dia memaksa
tubuhnya yang lunglai itu untuk bergerak membersihkan tilamnya. Setelah itu
ia pun membuka jendela biliknya. Udara subuh yang dingin langsung menerobos
masuk. Dengan tarikan nafas panjang dan dalam, dia menghirup harum melati dari
kebun ditentang jendelanya, melegakan paru-paru dan menyegarkan kelesuan
tubuhnya. Di luar, langit belum lagi terang dan satu dua cahaya bintang masih
nampak berkedap-kedip. Setelah keluar dari biliknya ia pun mengambil tempayan
di sudut dapur dan setelah mengetuk bilik ibunya ia lantas keluar menuju ke
perigi, sekitar 500 meter dari gubuknya untuk mengambil air. Perigi itu masih
sepi ketika ia tiba di sana
maka ia pun lantas membasuh wajahnya dengan serukan air dari batok kelapa.
Sentuhan air yang amat dingin secara tiba-tiba di wajahnya membuat dia
menggigil tetapi langsung menyibakkan rasa kantuknya yang tersisa. Setelah itu
ia lalu memikul tempayan yang kini terisi penuh dengan air dan kembali meniti
jalan pulang ke rumahnya, jalan tanah yang saat itu amat becek dan licin karena
musim hujan belum lagi usai.
Di gubuknya, ibunya telah bangun pula dan sedang menjerang air yang berisi belasan butir telur ayam. Mereka tinggal berdua saja setelah beberapa tahun lalu ayahnya pergi merantau ke
Maka ketika ayam mulai berkokok dan langit menampakkan warna jingga keemasan, saat fajar menyingsing, ia dan ibunya telah siap untuk berangkat. Sepanjang hari ibunya akan bekerja pada gudang PT Sb, menapis padi, merawat dan menjemur cengkeh serta kerja serabutan lainnya dan untuk itu ibunya diberi upah Rp. 3.000,- sehari ditambah makan sekali. Sedang ia sendiri akan menelusuri jalan ke terminal bus antar
Demikianlah dari
tengah-tengah keramaian terminal bus kota
Purworejo, terdengarlah suaranya yang nyaring: “Tahu goreng, telur rebus, tahu
goreng, telur rebus………….” Gadis cilik itu bernama Warsih yang kutemui saat bus
yang kutumpangi mampir di terminal kota
Purworejo, gadis cilik yang berteriak-teriak nyaring menjajakan tempe goreng dan telur
rebusnya, gadis cilik yang hanya memiliki impian sederhana tentang hidupnya.
Dan masih jutaan lagi Warsih-Warsih lain yang tersebar di seluruh tanah air
kita ini. Nah, masih dapatkah kita menyatakan bahwa diri kita sungguh-sungguh
tidak berarti? Yah, bagaimana dapat kita sesali hidup kita ini? Sesungguhnya
semua itu perlu kita renungkan saat menyambut Hari Anak Nasional ini. Marilah
kita ikut memberikan sedikit cahaya bagi mereka. Ingatlah bahwa: "Barangsiapa
menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut
Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu
sekalian, dialah yang terbesar." (Luk 9:48)
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar