04 Mei 2017

NAMANYA WARSIH

Jam pada dinding tripleks biliknya baru menunjukkan pukul 03.30 subuh saat ia bangkit dari pembaringannya untuk memulai kegiatan rutinnya sehari-hari. Tetapi pagi itu badannya terasa meriang sebab semalam ia terlambat tidur setelah menonton acara wayangan di TV milik pak lurah di balai desa. Dia memaksa tubuhnya yang lunglai itu untuk bergerak membersihkan tilamnya. Setelah itu ia pun membuka jendela biliknya. Udara subuh yang dingin langsung menerobos masuk. Dengan tarikan nafas panjang dan dalam, dia menghirup harum melati dari kebun ditentang jendelanya, melegakan paru-paru dan menyegarkan kelesuan tubuhnya. Di luar, langit belum lagi terang dan satu dua cahaya bintang masih nampak berkedap-kedip. Setelah keluar dari biliknya ia pun mengambil tempayan di sudut dapur dan setelah mengetuk bilik ibunya ia lantas keluar menuju ke perigi, sekitar 500 meter dari gubuknya untuk mengambil air. Perigi itu masih sepi ketika ia tiba di sana maka ia pun lantas membasuh wajahnya dengan serukan air dari batok kelapa. Sentuhan air yang amat dingin secara tiba-tiba di wajahnya membuat dia menggigil tetapi langsung menyibakkan rasa kantuknya yang tersisa. Setelah itu ia lalu memikul tempayan yang kini terisi penuh dengan air dan kembali meniti jalan pulang ke rumahnya, jalan tanah yang saat itu amat becek dan licin karena musim hujan belum lagi usai.

Di gubuknya, ibunya telah bangun pula dan sedang menjerang air yang berisi belasan butir telur ayam. Mereka tinggal berdua saja setelah beberapa tahun lalu ayahnya pergi merantau ke Jakarta (waktu itu usianya baru 2 tahun), dan hingga hari ini tak pernah lagi kembali untuk menjenguk mereka. Ada tetangganya yang mengatakan bahwa ayahnya kini telah menikah kembali di Jakarta dan karena itu mereka telah dilupakan, tetapi ia tidak mempercayai kabar itu dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya itu hanya kabar angin saja. Mungkin saat ini ayahnya sedang bekerja keras dan suatu hari nanti ayahnya akan pulang kepada mereka agar dia dapat disekolahkan seperti anak-anak lainnya. Tetapi bagaimana pun, waktu telah lewat 4 tahun dan kini dia telah berusia 6 tahun. Seharusnya ia telah memasuki usia sekolah tetapi tak pernah lagi ia memikirkan hal itu. Mengapa ia harus? Sedang untuk hidup dan makan sehari-hari saja ia dan ibunya mesti bekerja sepanjang hari, pagi hingga malam.

Maka ketika ayam mulai berkokok dan langit menampakkan warna jingga keemasan, saat fajar menyingsing, ia dan ibunya telah siap untuk berangkat. Sepanjang hari ibunya akan bekerja pada gudang PT Sb, menapis padi, merawat dan menjemur cengkeh serta kerja serabutan lainnya dan untuk itu ibunya diberi upah Rp. 3.000,- sehari ditambah makan sekali. Sedang ia sendiri akan menelusuri jalan ke terminal bus antar kota, membawa 30 potong tempe goreng dan 20 butir telur rebus. Di sana ia akan menjual tempe tersebut seharga Rp. 500 per potong dan Rp. 1000 untuk sebutir telur. Biasanya siang hari seluruh bawaannya akan terjual habis tetapi hari ini pembelinya amat sedikit. Dan saat ia mulai merasa lapar, dia pun berteduh di sudut kiri ruang tunggu stasiun itu, terlindung dari sinar matahari yang menyengat sambil membuka bungkusan dari daun pisang yang telah disediakan oleh ibunya: beberapa potong singkong goreng, dua potong tempe dan sedikit sambel tumis. Setelah selesai mengganjal perutnya kembali ia berkeliling sambil menjajakan dagangannya.

Demikianlah dari tengah-tengah keramaian terminal bus kota Purworejo, terdengarlah suaranya yang nyaring: “Tahu goreng, telur rebus, tahu goreng, telur rebus………….” Gadis cilik itu bernama Warsih yang kutemui saat bus yang kutumpangi mampir di terminal kota Purworejo, gadis cilik yang berteriak-teriak nyaring menjajakan tempe goreng dan telur rebusnya, gadis cilik yang hanya memiliki impian sederhana tentang hidupnya. Dan masih jutaan lagi Warsih-Warsih lain yang tersebar di seluruh tanah air kita ini. Nah, masih dapatkah kita menyatakan bahwa diri kita sungguh-sungguh tidak berarti? Yah, bagaimana dapat kita sesali hidup kita ini? Sesungguhnya semua itu perlu kita renungkan saat menyambut Hari Anak Nasional ini. Marilah kita ikut memberikan sedikit cahaya bagi mereka. Ingatlah bahwa: "Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." (Luk 9:48)

Tonny Sutedja


Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...