05 Mei 2017

HIDUP DENGAN PENYAKIT

Kita semua pernah menderita sakit. Bahkan saya percaya, saat ini, beberapa diantara kita sedang mengalami penyakit yang bahkan ilmu pengetahuan modern pun tak mampu mengobatinya. Beberapa dari kita yang nampak normal dan malah ceria sesungguhnya tahu bahwa hidupnya hampir usai. Penyakit tumbuh, berkembang dan terus menggerogoti organ-organ tubuhnya, cepat atau lambat, akan mengakhiri kehidupannya. Tetapi siapakah yang bisa hidup abadi? Saat kita lahir, sesungguhnya kita telah divonis untuk mati. Hanya saja saatnya yang tidak kita ketahui. Itulah hidup.

Saat seseorang mengetahui bahwa dia menderita penyakit yang sukar dan bahkan tidak tersembuhkan, secara umum dia akan mengalami perubahan kepribadian, sifat dan tingkah laku menghadapi kehidupan ini. Pernah saya mengenal seseorang yang menderita kanker usus (colon) yang terus menerus bertanya tentang “apa maunya Tuhan” (orang itu kini telah pergi). Kepahitan, putus asa, kemarahan, kekecewaan dan sikap apatis terus menerus mengusik jiwanya. Sulit sekali bagi orang yang sehat untuk menyelami perasaan orang sakit apalagi yang tidak pernah menghadapi penderitaan itu secara pribadi atau orang-orang dekatnya. Khususnya bagi para penderita terminal. Mereka butuh perhatian, pengertian dan sering kali bersikap merengek dan mengeluh tanpa alasan jelas. Bagaimanapun, hidup adalah proses mengalami. Dan pengalaman adalah perjuangan. Tanpa daya juang pada hakekatnya hidup sudah tak bermakna lagi. Sering saat hidup mesti berhadapan dengan kesadaran akan kenyataan bahwa waktu kian susut baginya maka pandangan penderita akan menyempit: dia hanya mampu meneropong dirinya sendiri terus menerus. Lingkungan harus melayani, memahami dan memperhatikan dia karena penderitaannya. Dia enggan melihat ke luar lagi, enggan mengenali derita orang lain karena terhalang oleh deritanya sendiri. Nyatanya penderitaan itu beragam coraknya. Pemahamannya terhadap dunia sekelilingnya akan memudar, dia menjadi amat peka dan subyektip dihempaskan oleh perasaan ketidakadilan yang menerpanya. Mempersalahkan orang lain bahkan Tuhan sendiri. Dia merasa terkucil atau malah mengucilkan diri. Tetapi haruskah demikian yang terjadi?

Marilah kita bercermin pada Yesus, Tuhan kita sendiri. Dia telah mengalami penderitaan. Dia tahu bahwa dia harus menderita, disalibkan dan wafat dalam kesakitan walaupun Dia tak bersalah. Dia tahu bahwa Dia harus mengalami hal itu semua walaupun jika mau, Dia dapat menghindari penderitaan itu “tetapi bukanlah kehendakKu melainkan kehendakMulah yang terjadi”(Luk 23:42). Dia menerima rasa sakit tanpa mengeluh maupun mengomel padahal “sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggungNya dan kesengsaraan kita yang dipikulNya” (Yes 53:4). Bukankah situasi penderitaan anda sendiri malah lebih ringan daripada situasi Tuhan sendiri saat itu. Tuhan tahu bahwa, jika mau, Dia dapat menyelamatkan diriNya sementara kita sendiri tidak. Tuhan menerima penderitaan itu, haruskah kita menolaknya? Maka marilah berdoa padaNya, mengharapkan pertolonganNya sambil menerima beban salib itu. Marilah berasumsi nahwa penderitaan itu bukan hanya untuk kita sendiri tetapi demi orang lain juga. Dengan demikian kita mampu berpikir positip. Penderitaan kita adalah nyala cinta kasih yang akan dan telah kita pijarkan bagi sesama. Memang tidak mudah untuk melakukan hal itu karena kita bukan Tuhan tetapi marilah, paling tidak, kita berjuang untuk itu. Kita memohon kesembuhan dariNya sambil menyiapkan diri untuk menerima panggilanNya dengan menorehkan kenangan indah bagi dunia. Saya berharap agar kita mendapat kecerahan dengan penderitaan tersebut.

Selama kurang lebih lima tahun, istriku yang kini telah berpulang, mengalami penderitaan dengan penyakitnya Systemic Lupus Erythematosus. Dalam perjuangan hidupnya melawan penyakit tak tersembuhkan itu dia telah bertarung dengan baik dan bagaimanapun saya telah belajar banyak mengenai hakekat kehidupan ini dari penderitaannya. Pada akhirnya kita semua toh harus mati. Pada saat jasad kita terbujur kaku maka dimanakah segala kemarahan dan ambisi kita? Kehidupan bagi penderita terminal tidaklah mudah dan selalu menimbulkan ironi: ada yang dalam kesakitannya hidup ini ingin segera diusaikan namun adapula yang bertarung dengan gigih untuk bertahan. Dan bagi kita yang merawat pun merasakan ironi itu: ada saatnya kita ingin agar dia bertahan tetapi kadang pula dalam merasakan deritanya telah memasrahkan hidupnya. Tak bisa dipungkiri itu. Kini bagi yang hidupnya disergap penyakit tak terobati, saya meneruskan satu kalimat dari Louise L. Hay (dalam bukunya You Can Heal Your Life): Bagi saya, kata ‘tak dapat disembuhkan’ bermakna bahwa jika penyakit itu sudah tak mungkin diobati dari luar tetapi hanya dari dalam diri kita sendiri’. Yah, hanya dengan cara pikir yang baik kita dapat mengobati diri sendiri, dengan berdoa dan mengharapkan pertolonganNya tetapi jika pada akhirnya kita harus mati maka saya kira, itu juga jalan kesembuhan atas karuniaNya.

Demikianlah hidup memang proses mengalami dan dari seluruh pengalaman tersebut kita belajar terus menerus menghadapi baik lingkungan kita maupun diri kita sendiri. Dan dalam proses pembelajaran itu, ingatlah akan penderitaan Kristus, Tuhan kita. Apapun yang terjadi, sabar dan terimalah semuanya sebagai kehendakNya karena memang bukan kehendak kita sendiri yang harus terwujud. Berpikir bahwa kita menderita bagi orang lain akan meringankan beban kita sendiri. Marilah menerima ajakan Kristus: “
Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan kamu akan mendapat kelegaan bagi jiwamu” (Mat 11:28-29). Dan untuk meringankan beban penyakit itu, berdoalah senantiasa kepadaNya agar segala harapan dapat terkabulkan. Percayalah selalu kepadaNya.

Tonny Sutedja


Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...