Kita semua pernah menderita sakit.
Bahkan saya percaya, saat ini, beberapa diantara kita sedang mengalami penyakit
yang bahkan ilmu pengetahuan modern pun tak mampu mengobatinya. Beberapa dari
kita yang nampak normal dan malah ceria sesungguhnya tahu bahwa hidupnya hampir
usai. Penyakit tumbuh, berkembang dan terus menggerogoti organ-organ tubuhnya,
cepat atau lambat, akan mengakhiri kehidupannya. Tetapi siapakah yang bisa
hidup abadi? Saat kita lahir, sesungguhnya kita telah divonis untuk mati. Hanya
saja saatnya yang tidak kita ketahui. Itulah hidup.
Saat seseorang mengetahui bahwa dia menderita penyakit yang sukar dan bahkan tidak tersembuhkan, secara umum dia akan mengalami perubahan kepribadian, sifat dan tingkah laku menghadapi kehidupan ini. Pernah saya mengenal seseorang yang menderita kanker usus (colon) yang terus menerus bertanya tentang “apa maunya Tuhan” (orang itu kini telah pergi). Kepahitan, putus asa, kemarahan, kekecewaan dan sikap apatis terus menerus mengusik jiwanya. Sulit sekali bagi orang yang sehat untuk menyelami perasaan orang sakit apalagi yang tidak pernah menghadapi penderitaan itu secara pribadi atau orang-orang dekatnya. Khususnya bagi para penderita terminal. Mereka butuh perhatian, pengertian dan sering kali bersikap merengek dan mengeluh tanpa alasan jelas. Bagaimanapun, hidup adalah proses mengalami. Dan pengalaman adalah perjuangan. Tanpa daya juang pada hakekatnya hidup sudah tak bermakna lagi. Sering saat hidup mesti berhadapan dengan kesadaran akan kenyataan bahwa waktu kian susut baginya maka pandangan penderita akan menyempit: dia hanya mampu meneropong dirinya sendiri terus menerus. Lingkungan harus melayani, memahami dan memperhatikan dia karena penderitaannya. Dia enggan melihat ke luar lagi, enggan mengenali derita orang lain karena terhalang oleh deritanya sendiri. Nyatanya penderitaan itu beragam coraknya. Pemahamannya terhadap dunia sekelilingnya akan memudar, dia menjadi amat peka dan subyektip dihempaskan oleh perasaan ketidakadilan yang menerpanya. Mempersalahkan orang lain bahkan Tuhan sendiri. Dia merasa terkucil atau malah mengucilkan diri. Tetapi haruskah demikian yang terjadi?
Marilah kita bercermin pada Yesus, Tuhan kita sendiri. Dia telah mengalami penderitaan. Dia tahu bahwa dia harus menderita, disalibkan dan wafat dalam kesakitan walaupun Dia tak bersalah. Dia tahu bahwa Dia harus mengalami hal itu semua walaupun jika mau, Dia dapat menghindari penderitaan itu “tetapi bukanlah kehendakKu melainkan kehendakMulah yang terjadi”(Luk
Selama kurang lebih
Demikianlah hidup memang proses mengalami dan dari seluruh pengalaman tersebut kita belajar terus menerus menghadapi baik lingkungan kita maupun diri kita sendiri. Dan dalam proses pembelajaran itu, ingatlah akan penderitaan Kristus, Tuhan kita. Apapun yang terjadi, sabar dan terimalah semuanya sebagai kehendakNya karena memang bukan kehendak kita sendiri yang harus terwujud. Berpikir bahwa kita menderita bagi orang lain akan meringankan beban kita sendiri. Marilah menerima ajakan Kristus: “Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan kamu akan mendapat kelegaan bagi jiwamu” (Mat
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar