Malam pekat. Hujan deras mendera
jendela bus yang kutumpangi. Saat itu saya dalam perjalanan dengan bus umum
menuju ke kota Watampone.
Di luar, lewat jendela bus, yang ada hanya kegelapan. Suara bus yang
menderu-deru memecahkan kesunyian malam. Maka tibalah kami pada suatu tikungan
yang menanjak dan bus kami merayap dengan susah payah. Di depan, saat jarak
pandang hanya sekitar lima
meter ke depan, nampaklah satu jembatan kayu yang kelihatannya sedang
direnovasi. Nampak lapuk dan bisa runtuh sewaktu-waktu. Dan tiba-tiba saja saya
merasa amat khawatir. Mampukah bus kami melintasi jembatan yang kelihatan amat rapuh
itu? Tetapi lalu muncul dua cahaya senter dengan tiga sosok tubuh yang
mengenakan mantel hujan kumal sedang berdiri di ujung lain dari jembatan
tersebut. Maka dengan beringsut pelan, bus kami melintasi jembatan tersebut
yang terus berkeriutan, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh cahaya senter
tersebut. Sejenak kemudian, kami pun berhasil melewati jembatan tersebut dengan
selamat. Hujan masih deras. Malam masih pekat. Sunyi masih menggigit. Tetapi
mendadak saya merasakan suatu kedamaian melingkupi perasaanku. Tidak bisakah
kita mempercayai orang lain? Apakah tiga sosok kehidupan yang menuntun kami
menuju ke keselamatan dan yang sama sekali asing bagi kami –bahkan mungkin
telah berjam-jam berdiri dalam dingin dan gelap– tak dapat kita percayai?
Apakah bukan kitalah sebenarnya yang sering merasa curiga tanpa dasar satu sama
lain?
Hidup memang tak dapat jalan tanpa
kepercayaan. Maka seharusnya kita yang mengaku umat Tuhan ini dapat saling
menuntun, saling mempercayai dan saling membantu dalam menghadapi segala
persoalan. Bukan hanya dalam suka kita tertawa bersama tetapi dalam duka pun
kita harus saling menghibur. Jangan salah meyalahkan. Jangan tuduh menuduh.
Karena itu semua tidak menyelesaikan masalah. Bahkan mungkin akan menimbulkan
masalah baru lagi. Jika orang-orang lain yang sama sekali tidak kita kenali mau
dan rela menuntun kita agar selamat maka mengapa kita sendiri yang telah saling
mengenal bahkan mau saling menjerumuskan? Demi apakah kita mengabdi? Demi
Kristus, Tuhan kita atau hanya demi diri kita melulu? Demi kasih kita pada
Tuhan atau demi kasih kita pada ambisi pribadi sendiri? Betapa mudahnya kita
menyatakan diri beragama tetapi betapa sulitnya kita beriman. Sebab itu saya
mengajak kita semua yang sedang terlibat dalam perseteruan untuk merenungkan
kembali kemarahan-kemarahan kita, kejengkelan-kejengkelan kita serta
kepahitan-kepahitan kita terutama terhadap orang lain dan juga terhadap diri
kita sendiri. Marilah kita saling mempercayai karena kepercayaan adalah
nyawa dari keselamatan kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar