07 Mei 2017

PERCAYA

Malam pekat. Hujan deras mendera jendela bus yang kutumpangi. Saat itu saya dalam perjalanan dengan bus umum menuju ke kota Watampone. Di luar, lewat jendela bus, yang ada hanya kegelapan. Suara bus yang menderu-deru memecahkan kesunyian malam. Maka tibalah kami pada suatu tikungan yang menanjak dan bus kami merayap dengan susah payah. Di depan, saat jarak pandang hanya sekitar lima meter ke depan, nampaklah satu jembatan kayu yang kelihatannya sedang direnovasi. Nampak lapuk dan bisa runtuh sewaktu-waktu. Dan tiba-tiba saja saya merasa amat khawatir. Mampukah bus kami melintasi jembatan yang kelihatan amat rapuh itu? Tetapi lalu muncul dua cahaya senter dengan tiga sosok tubuh yang mengenakan mantel hujan kumal sedang berdiri di ujung lain dari jembatan tersebut. Maka dengan beringsut pelan, bus kami melintasi jembatan tersebut yang terus berkeriutan, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh cahaya senter tersebut. Sejenak kemudian, kami pun berhasil melewati jembatan tersebut dengan selamat. Hujan masih deras. Malam masih pekat. Sunyi masih menggigit. Tetapi mendadak saya merasakan suatu kedamaian melingkupi perasaanku. Tidak bisakah kita mempercayai orang lain? Apakah tiga sosok kehidupan yang menuntun kami menuju ke keselamatan dan yang sama sekali asing bagi kami –bahkan mungkin telah berjam-jam berdiri dalam dingin dan gelap– tak dapat kita percayai? Apakah bukan kitalah sebenarnya yang sering merasa curiga tanpa dasar satu sama lain?

Hidup memang tak dapat jalan tanpa kepercayaan. Maka seharusnya kita yang mengaku umat Tuhan ini dapat saling menuntun, saling mempercayai dan saling membantu dalam menghadapi segala persoalan. Bukan hanya dalam suka kita tertawa bersama tetapi dalam duka pun kita harus saling menghibur. Jangan salah meyalahkan. Jangan tuduh menuduh. Karena itu semua tidak menyelesaikan masalah. Bahkan mungkin akan menimbulkan masalah baru lagi. Jika orang-orang lain yang sama sekali tidak kita kenali mau dan rela menuntun kita agar selamat maka mengapa kita sendiri yang telah saling mengenal bahkan mau saling menjerumuskan? Demi apakah kita mengabdi? Demi Kristus, Tuhan kita atau hanya demi diri kita melulu? Demi kasih kita pada Tuhan atau demi kasih kita pada ambisi pribadi sendiri? Betapa mudahnya kita menyatakan diri beragama tetapi betapa sulitnya kita beriman. Sebab itu saya mengajak kita semua yang sedang terlibat dalam perseteruan untuk merenungkan kembali kemarahan-kemarahan kita, kejengkelan-kejengkelan kita serta kepahitan-kepahitan kita terutama terhadap orang lain dan juga terhadap diri kita sendiri. Marilah kita saling mempercayai karena kepercayaan adalah nyawa dari keselamatan kita semua.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...